Lembar kata yang aku torehkan atas
nama cinta kini seakan memudar. Aku memandang ejaan kata seakan mengambang di
atas . Aku hanya bisa meratap merelakan semua akan terhapus oleh waktu. Rela?
Selalu menjadi pertanyaan hati. Relakah aku? Aku selalu ingin menjawab, aku
rela, tapi sering bibir dan hati tak
sejalan. Aku berusaha ikhlas, ikhlas melepas beban yang menggelayut menyiksa
jiwa. Ikhlas? Pertanyaan ini pun tak luput terucap. Ikhlaskah aku melupakan
segala cinta yang aku miliki tentangmu? Ikhlaskah aku? Aku hanya bisa merangkai
kata tanpa makna yang ada. Aku hanya bisa membisikkan betapa aku cinta padamu.
Seperti sebait lagu yang hanya bisa aku nyanyikan.
Betapa
kucinta padamu ..
Katakanlah,
kau cinta padaku ..
Sematkanlah
ku di hatiimu ..
Walau di
mana berada,
Ingat ku
dalam doamu..
Belum
puas ku menikmati,
Kesan
kasih sayang
Kau
terpaksa pergi..
[Betapa
Kucinta Padamu, dipopulerkan oleh SitiNurhaliza]
Semburat kenangan berkelebatan di
pikiran. Liar. Betapa guliran adegan seakan terpampang dengan jelas di depan
kepala. Ada aku dan kamu. Tatkala dua ini menjadi 'kita'. Kita yang menyamankan
satu sama lain. Pikirmu, akan dengan mudah melepas semua yang pernah terjadi.
Kamu lupa, bahwa harap dan angan pernah kamu bagikan saat masih ada kita di
antara hari-hari lalu? Kamu lupa, jika satu hari saja saat aku dan kamu masih
menjadi kita, adalah selaksa memori yang bertumpukan di kepalaku?
"Maaf."
Lalu satu kata itu kamu ucap, seolah
mampu memperbaiki segalanya. Lantas kamu berlalu, hingga aku sekarang sendiri tertatih
mencoba pergi. Atas nama sakit hati.
Kamu dan duniamu tak memberikan
kesempatan cintaku yang indah hadir. Aku hanya berharap kamu bahagia dengan
cintamu kini. Benarkah aku berharap kamu bahagia dengan cinta lain? Tidak, aku
tidak ingin seperti itu. Aku ingin berteriak dan menjerit dengan egois, aku hanya berharap kamu berbahagia
karena memiliki cintaku.
Aku lelah. Tiada kata lagi, tiada cinta lagi yang tersisa. Semua telah aku curahkan. Memandangmu, melihatmu merangkai kata indah yang tak pernah kau tujukan padaku membuatku menangis. Melihatmu bercanda dan tertawa tanpa diriku membuatku pedih. Pedih dan luka membuatku mendesah resah.
Aku lelah. Tiada kata lagi, tiada cinta lagi yang tersisa. Semua telah aku curahkan. Memandangmu, melihatmu merangkai kata indah yang tak pernah kau tujukan padaku membuatku menangis. Melihatmu bercanda dan tertawa tanpa diriku membuatku pedih. Pedih dan luka membuatku mendesah resah.
"Tapi aku kan tidak pernah
menjanjikan apa-apa padamu."
"Maksud kamu?"
Sore itu, aku terpaksa merendahkan
harga diriku demi mengucap semua yang selama ini aku gantungkan padamu. Dan
nada suaramu terdengar ringan saat meresponinya.
"Iya. Hubungan ini tak akan
berjalan ke mana walau kita coba. Maka dari itu aku tak pernah mengucap apa pun
yang sekiranya mengikat kita. Kamu dan aku hanyalah kita yang sama-sama saling
bebas. Tapi kini aku menemui hati lain yang ingin kuikat dengan jiwaku. Kamu
mengerti, ya."
Aku menggigit bibir, menatapmu
tajam. Berusaha keras menahan buliran air mata jatuh
menetesi pipi. Pengertian seperti apa yang kamu harapkan??
"Pengertian
apa lagi yang kurang? Apa? Berapa banyak pengorbanan aku berikan? Aku bahkan rela membangkang tradisi
keluargaku."
Aku semakin
terisak. Teringat tentang wajah papaku yang pasti akan sangat kecewa.
"Sudahlah, aku minta maaf dan aku
hanya bisa meminta maaf, tak
lebih. Kamu jangan terlalu bersedih, kita sama-sama mengerti dari
awal."
Aku ingin menjerit mendengar kelanjutan ucapanmu. Dengan wajah tanpa dosa kamu tetap memelukku erat. Aku luluh dan tak bisa menepis segala kenyamanan ini. Untuk beberapa saat, kita bergeming dalam kondisi hangat ini.
Aku ingin menjerit mendengar kelanjutan ucapanmu. Dengan wajah tanpa dosa kamu tetap memelukku erat. Aku luluh dan tak bisa menepis segala kenyamanan ini. Untuk beberapa saat, kita bergeming dalam kondisi hangat ini.
“Sudahlah.”
Aku mulai meregangkan kedua tangan yang tadi terkunci di balik
punggungmu, dan mengangkat kepalaku dari dadamu. Walau betapa nyamannya, toh
selalu ada ujung dari semua ini.
“Kamu sudah memilih, keputusan sudah kamu ambil. Tak ada yang bisa aku
buat, kan?”
Raga kita lalu benar-benar terpisah. Ada sedikit… sedikit saja perih di
hati ketika kamu membiarkan aku melepaskan diri dari pelukanmu, tak berusaha
menarikku lagi. Aku tahu, saat itulah perpisahan itu benar terjadi. Selesai.
Karam.
“Vira!”
Tepat di saat aku membalikkan badan dan hendak melangkah, kamu menyeru
namaku. Membuat secercah harap kembali bersemi. Akankah?
Aku
tersenyum, bukan
senyum kemenangan yang aku harapkan. Tapi sebersit harapan menggelembung di angan.
"Ya?"
Aku memandang kembali dirimu dan menunggu kelanjutan kata yang menjadi penentu segala rasa.
"Terimakasih telah menjadi bagian dari hidupku. Terimakasih untuk segala waktu dan segala cinta yang kamu beri. Aku menyesal harus kehilangan kamu seperti ini, karena bagiku, kamu adalah hal paling bermakna yang pernah aku terima selama ini."
"Ya?"
Aku memandang kembali dirimu dan menunggu kelanjutan kata yang menjadi penentu segala rasa.
"Terimakasih telah menjadi bagian dari hidupku. Terimakasih untuk segala waktu dan segala cinta yang kamu beri. Aku menyesal harus kehilangan kamu seperti ini, karena bagiku, kamu adalah hal paling bermakna yang pernah aku terima selama ini."
Ardiansyah Harfa. Nama yang pernah menjadi penting di hari-hariku, kini
berbalik pergi dan tak kembali.
Tulisan Kolaborasi dengan Dini Novita Sari
0 komentar:
Posting Komentar