Sabtu, 04 Mei 2013

Con Panna


Hiruk pikuk keramaian kota selalu menjadi santapan yg membosankan di kota yg penuh dengan kesibukan-kesibukannya yang monoton. Gedung-gedung tinggi dan kemacetan menjadi pemandangan setiap harinya. Remaja-remaja yang tak memiliki kesibukan selalu menikmati asyiknya menongkrong bersama teman sebayanya.
Menikmati senja dipinggir pantai membuat empat sahabat melupakan segala beban.
“Aku ingin terbang ke awan.” Ucap Elika yang hanya mendapatkan senyum simpul Shifa.
“Aku juga mau ikut.” Aizha pun tak kalah menimpali yang hanya mendapatkan tatapan galak Elika.
Banyak hal lain juga yang menjadi kesamaan diantara mereka. Mungkin itulah yang membuat mereka kemudian bersahabat. Memang, tidak melulu mereka kompak, ada kalanya mereka pun berselisih paham. Bagi Elika dan Aizha, tiap kali ada saja yang membuat mereka bertengkar.
Shifa hanya tersenyum melihat tingkah Elika dan Aizha. Ia masih duduk menikmati senja lalu tenggelam dalam keemasan yang indah itu.
“Ayo makan. Macaroni Schottel-nya sudah jadi,” ujar Eliza tersenyum bangga mempertunjukan hasil masakannya.
Ketiga wanita yang sedang menikmati senja itu kemudian berlomba menyerbu makanan yang di berikan oleh Eliza. Senja, makanan dan tawa adalah kompisisi sempurna di penghujung hari.
Eliza adalah adik Aizha. Umurnya masih 17 tahun dan baru lulus SMA namun ia punya bakat memasak yang hebat. Itulah yang membuatnya disayang oleh kakak dan teman-teman kakaknya.
Langit sore kian merubah warnanya menjadi hitam pekat. Semilir angin menyentuh lembut tubuh keempat perempuan yang tiada henti melakukan setiap keanehan tingkahnya.
“Hompimpa alaihum gambreng!” Seru mereka bersamaan. Tiga penampakan telapak tangan berlatar sama kecuali telapak tangan Aizha. Pertanda kalah dalam permainan yg sedang berlangsung.
“Aizha kalaaaahhh,” sorak Elika girang.
“Itu berarti besok kamu harus jadi pelayan di kafe selama satu hari penuh sesuai perjanjian kita tadi” tambah Elika yg kian gembira.
“Aaarrgh, kalian curang ya?” Aizha menatap kedua sahabat dan adiknya dengan garang. Mereka bertiga kompak tertawa.
“Kalian emang curang! Tapi baiklah, perjanjian tetap perjanjian, aku akan menjalaninya. Namun tetap ya, meskipun sebagai pelayan statusku tetap bos kalian.”
Aizah memanyunkan bibirnya.
Aizha melayani dengan riang. Beberapa pesanan kopi favorit sudah disajikan, salah satu yang merupakan andalan kafe mereka adalah Granita di caffe Con Panna, yang merupakan kopi dingin dengan es salju dan whipped cream di atasnya. Memang kafe mereka ini terkenal dengan racikan kopinya yang sangat nikmat. Shifa memang ahli dalam meracik dan membuat para pelanggannya kecanduan.
Aizha menuju meja yang baru terisi seorang pria dengan langkah ringan yang sengaja membuat Elika jengkel. Langkah Aizha terhenti. Seorang pria duduk membelakanginya, namun saat pria itu berpaling Aizha melihatnya. Jantungnya berhenti berdetak. Aizha segera memutar langkahnya.
“El , gantiin aku sebentar ya. Aku mau ke kamar mandi.”
Elika memandang Aizha dengan bingung namun berdiri dan mengambil buku menu. Siapa sih pria itu? Kenapa Aizha langsung berlari begitu? Gerutunya.
Aizha sedikit berlari menuju ke bagian belakang kedai namun bukan ke toilet seperti yang dia katakan pada Elika. Di bagian belakang terdapat sebuah tempat seperti balkon yang sudah ada sejak mereka beli dari pemilik pertama. Cafe itu memang dulunya adalah bangunan yang pernah dimiliki oleh sepasang suami istri berkebangsaan Italia. Mereka sengaja membangun tempat itu untuk tempat tinggal ketika mereka datang ke Indonesia. Sebuah bangunan yang sangat sederhana namun begitu cantik.
Aizha terduduk di sebuah sofa berbentuk huruf L yang sangat nyaman. Aizha terdiam dan pikirannya seperti menerawang entah kemana. Dia seperti memikirkan sesuatu yang begitu berat.
Elika mencoba menyampingkan kebingungannya. Ia lalu memasang senyum andalannya sambil menyodorkan daftar menu pada sang pria berkemeja biru terang itu, pria yang tiba-tiba tak ingin Aizha layani.
Silahkan, ingin pesan apa?” Pria itu tersenyum pada Elika sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Aizha kerja disini ya?” Elika terperanjat. Ternyata pria ini mengenal Aizha. Ia hanya mengangguk pelan.
“Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan dia. Hmm. Aku pesan 1 double espresso plus pancake strawberry.”
Elika mencatat pesanan sang pria lalu memintanya untuk menanti. Semenjak berlalu dari sana, Elika masih saja sesekali melihat sang pria dengan potongan rambut pendek itu. Masih ada sejuta tanya yang menggantung di pikirannya.
“Ar… Kenapa kamu harus muncul lagi di kehidupanku? Kenapa kamu menampakan dirimu lagi setelah beberapa tahun kejadian yg cukup membuatku hampir gila karenamu? Kenapa Ar? Kenapa?”
Sesekali kali Aizha menyapu tumpahan air yg berasal dari matanya menggunakan telapak tangannya. Bahunya bergetar. Tangisnya tertahan. Aizha sengaja tak ingin mengeluarkan sedikit suara pun agar tak ada yg mengetahui ia sedang menangis.
“Aku ingin begini aku ingin begitu ini it-” Eliza menghentikan nyanyian dari salah satu soundtrack film kartun, juga tariannya yang seringkali mengundang tawa. Ia tertegun melihat muka kakak yg disayanginya dibanjari air mata. Ia sedikit menuruni badannya. Memfokuskan matanya pada wajah yg saat ini berada dihadapannya, memastikan apakah benar Aizha sedang menangis.
“Kak, lagi nangis ya? Kenapa kak?” 
Eliza bertanya membuat Aizha tertegun. Ia menggeleng dan memberikan senyum.
“Kamu masuk saja deh, banyak pesanan kan? Bentar lagi kakak masuk.” 
Eliza berlalu meninggalkan kakaknya. Namun dia tak kembali ke bilik pembuatan kue. Dia menuju arah Shifa. Eliza melihat kak Elika sedang melayani tamu menggantikan kak Aizha.
“Kak Shifa,” bisiknya yang membuat si gadis pendiam ini tersenyum.
“Ya dek?”
“Kak Aizha sepertinya menangis, memangnya tadi berantem sama kak Elika lagi ya?”
Kakak sih engga lihat mereka berantem. Lagian lagi rame begini kok. Tapi nanti kakak tanya deh.” 
Setelah memberi tahu tentang keberadaan Aizha, Eliza kembali membuat adonan kue. Resep terbarunya akan menjadi menu andalan kafenya.
Shifa yang sedari tadi sibuk meracik berbagai minuman terutama kopi mulai merasa terganggu dengan pertanyaan Eliza. Kesibukannya di belakang dapur membuatnya tak leluasa mengetahui apabila ada sesuatu yang terjadi dengan para sahabatnya atau pun dengan para pengunjung Kafe ini.
Rasa ingin tahu yang besar membuatnya meninggalkan pekerjaannya sesaat dan berjalan menuju balkon di bagian belakang Kafe. Tanpa harus berpikir kemana mencari Aizha, ia sudah hafal dimana sahabatnya itu berada. Dari depan pintu ia melihat Aizha yang masih berada di sana, sedang terisak berusaha menahan tangisnya agar tak menjadi kencang dan terdengar oleh sahabat-sahabatnya.
“Ai.., kamu kenapa?” Shifa berujar lembut sambil memegang pundak Aizha.
Aizha sontak kaget lalu menghapus butiran hangat yang menutupi wajahnya.
“Aku ndak kenapa-kenapa Fa. Agak capek aja mungkin.”
“Jangan simpan sendiri Aizha. Kamu tahu masih ada kami untuk berbagi. Jangan lama-lama disini. Kafe sudah mulai ramai di dalam.”
Shifa mengerlingkan mata sambil tersenyum kepada Aizha yang hanya memandangnya dengan mata sembab. Ia lalu meninggalkan Aizha sendiri dibalkon itu. Dia butuh waktu untuk sendiri, batin Shifa.
Gelap mulai membungkus hari. Aizha menyesap udara dalam-dalam. Ia mengusap wajahnya lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri lalu kemudian kembali ke dalam kafe. Orang sudah mulai banyak berdatangan. Ia menyapukan matanya sekeliling, tak lagi dijumpainya pria yang membuatnya mengasingkan diri sejenak di balkon sepanjang senja tadi.
“Ai,” Aizha sedikit melompatkan badannya. Ia terkejut akan kedatangan Elika yg menepuk pundaknya dari belakang.
“Cowok tadi siapa? Dia kenal kamu loh, Ai. Dia bilang sudah lama gak lihat kamu,” tutur Elika mencoba menjelaskan apa yg dialaminya sejak menggantikan Aizha melayani lelaki yg menjadi salah satu tamu di kafe mereka malam ini. Aizha tersenyum sesaat.
Ia menggelengkan kepalanya pelan.
“Arya. Dia Arya, mantanku dulu. Jauh sebelum dia meninggalkanku satu hari sebelum pernikahan kami dengan perempuan lain.”
Elika membelalakan matanya. Mulutnya sedikit terbuka ketika ia mendengar ucapan yg keluar dari mulut Aizha.
“Kak Ai, ini dibuatin teh sama kak Shifa. Minum dulu.” 
Tiba-tiba saja Eliza muncul ditengah percakapan Elika dan Aizha.
“Makasih ya dek. Bilang sama Kak Shifa nya.”
Eliza kembali berlari ke dalam.
“Eh beneran? Kapan itu? Kok kalian berdua gak pernah cerita?”
“Kejadiannya sudah lama kok. Dan tadi sepertinya El ga tau. Kalau tahu pasti dia sudah lemparkan panci ke mukanya.”
Aizha dan Elika tertawa bersama.
“Itulah kenapa aku sama Eliza sekarang tinggal bareng…. Eh eh,tumben kamu perhatian sama aku? Ada maunya? Jangan bilang mau minta gaji nambah ya. No way!” 
Mendengar kebawelan Aizha yang sudah kembali Elika tertawa dan menariknya berdiri.
“Hari ini hari hukuman kamu, jadi nanti kamu yang mesti beresin meja kursi sebelum tutup. Kan aku sudah gantiin kamu tadi.”
Kedua sahabat itu kembali masuk sambil tertawa.
“Shifa, makasih ya.” Aizha memeluk Shifa yang membuatnya tersenyum.
Shifa menyambut pelukan Aizha dengan hangat seolah dengan begitu Aizha akan merasa bahwa masih ada mereka yang akan selalu menyayanginya. Namun dibalik semua senyum dan pelukan hangat yang diberikannya, pikiran Shifa mengingat-ingat sebuah nama yang tak sengaja ia dengar ketika akan memberikan teh manis kepada Aizha yang dititipkan pada Eliza.
Arya, sepertinya nama itu sangat familiar di telinganya. Sebuah wajah sedikit demi sedikit tergambar di benak Shifa.
Sesosok yang enerjik dan selalu penuh kejutan. Yang selalu bisa menjadimoodboster Shifa selama masa kuliahnya di jenjang S1. Yang membuat Shifa uring-uringan lantaran kangen yang terlampau besar. Dan yang juga pergi menghilang tanpa kabar apapun. Tapi bukan Arya namanya, bukan. Nama Aryodia Pramseha, yang semua orang di kampus, kecuali Shifa memanggilnya Aryo. Shifa sendiri memanggilnya dengan sebutan Yodi. Entah kenapa ia suka saja memangilnya begitu.
Yodi adalah mahasiswa senior jurusan jurnalistik. Ia pertama kali bertemu Shifa dalam acara amal di fakultas Shifa. Mereka mulai dekat dan bersepakat untuk memadu kasih. Selang tahun berlalu, rasanya sebuah cinta menjadi tak lagi cukup untuk merekatkan dua keping hati yang terlanjur patah.
“Ah! Mikir apa aku ini. Kerjaan masih menumpuk,” sesegera mungkin Shifa menghancurkan lamunannya. Ia tak ingin hari ini menjadi runyam lantaran harus bertambah lagi orang yg menangis karena lelaki di kafe ini. Ia memutuskan untuk mencuci mukanya. Agar tiada lagi diingatnya ingatan beberapa tahun silam. Shifa berlari-lari kecil menuju dapur.
Bruuukkk! Pranggg! 
“Kak Shifa!”
Beberapa pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. Semua mata tertuju kesana. Shifa tak menyadari, bahwa ada Eliza yg berlawanan arah dengannya sedang membawa nampan pesanan pelanggan. Tubuh nya gemetar.
“E-el, ma-maaf aku gak sengaja. Maaf, El.”
Aizha melongok dari balik ruangannya. Setelah kembali bersama Elika dia kembali berkutat dengan tugasnya. Menghitung pengeluaran dan pemasukan untuk hari ini.
“Eh kalian ngapain?” Nada judesnya telah kembali.
Aizha melihat Shifa yang seperti kebingungan. Kenapa dia? Perasaan tadi baik baik saja ? Malah membuatkan aku minuman kesukaanku. Aizha menarik Shifa ke ruangannya.
“Gantikan kak Shifa dulu ya!”
Perintahnya kepada asisten Shifa.
“Kamu kenapa?” Aizha memang tidak bisa selembut Shifa dalam berucap.
“Aku tidak apa-apa, Ai,” jawab Shifa dengan tenang.
Iya dia memang sudah seharusnya tenang seperti itu, toh apapun yang terjadi antara dirinya dengan Yodi itu sudah menjadi bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Dan semestinya hal tersebut tidak sepatutnya diketahui oleh sahabat-sahabatnya itu, walaupun apa yang terjadi itu jauh sebelum mereka saling mengenal.
Namun Aizha sepertinya tidak merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh Shifa. Ada sebuah tanda tanya besar yang menghimpit pikirannya, ingin sekali ia mengetahui ada apa dengan Shifa.
“Kamu yakin, Shifa?” Aizha bertanya dan mencari-cari kejujuran di kedua mata Shifa. Shifa mengangguk pelan.
“Aku lapar. Ayo makan Ai.” Aizha mengekor Shifa menuju pantry. Disana sudah ada Elika yang duduk manis menghadap meja. Sesekali ia menjepret makanan dengan handphonenya lalu kemudian tersenyum sendiri menatap layar handphone.
“Eliza mana?” Aizha berujar sambil melayangkan mata keseluruh ruangan.
“Tuh, diluar. Lagi nerima telepon!”
Elika menunjuk dengan bibirnya ke arah luar. Aizha mengarahkan matanya keluar tepat dimana Eliza sedang duduk dengan muka yang tak kelihatan baik-baik saja dengan sebuah telpon genggam yang menempel di pipinya. Aizha tahu betul akan arti dari setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh muka adiknya. Terjadi sesuatu terhadap Eliza saat ini.
“Mari makaaaannnn!” Sorak Elika sembari mengangkat garpu dan sendok nya ke atas.
“Kalian duluan aja, aku mau ke Eliza dulu.”
Aizha memundurkan kursinya dan beranjak pergi dari meja makan menghampiri Eliza adiknya. Elika dan Shifa tetep melanjuti mengunyah makan yang telah dimasak Eliza sebelumnya.
“Iya, Yah..,” ucap Eliza lirih.
“Siapa?” Bisik Aizha yg penasaran akan seseorang dibalik telpon itu.
“Ayah,” hanya gerakan mulut yg ditunjukkan Eliza, tak bersuara.
Oh. Ayahnya sudah mulai menerror adiknya lagi. Selalu seperti itu. Semenjak kejadian yang dulu di altar, Ayahnya marah pada Aizha dan melarang keras adiknya itu mengikuti jekak kakaknya. Namun Eliza tak menggubris. Apalagi Alizha memberikan kegiatan yang sangat dia sukai. Memasak adalah hobi yang sungguh unik untuk anak seusia Eliza. Harusnya ayahnya itu bangga dengan anak bungsunya, bukannya malah menekan dan mengancam. Ah memang Ayahnya begitu keras. Aizha menepuk bahu adiknya.
“Kakak tunggu didalam.” Aizha menggerakkan bibirnya dan mendapatkan anggukan Eliza.
Masih didengarnya Eliza beradu argumen dengan Ayahnya. Aizha bangga kepada adiknya. Namun dia ingin tersenyum, karena dia dan adiknya itu sungguh sangat mirip Ayahnya. Berkemauan keras.
“Siapa yang telpon sih?” Elika bertanya disela-sela kunyahannya.
“Biasa Tuan Besar yang berkuasa.” Jawab Aizha cuek, meski hatinya sakit.
Shifa tersenyum saja melihat kejengkelan Aizha terhadap ayahnya. Ah, Ayah. Beruntung sekali Aizha dan Eliza, sekeras apapun laki-laki yang mereka panggil Ayah itu setidaknya beliau masih ada diantara mereka. Shifa menatap Aizha dengan perasaan yang bercampur aduk. Sudah terlalu lama memang Shifa tak merasakan bagaimana bercanda, tertawa bahkan bertengkar dengan seseorang yang disebut Ayah. Hampir satu dekade dia merindukan sosok Ayah yang menjadi panutannya. Selama ini hanya Ayah lah orang yang paling disayang olehnya sekaligus orang yang paling dekat dengan dirinya, bukan Ibu.
Shifa menarik nafas dalam. Dia tiba-tiba rindu masa kala sang ayah masih ada. Dan kala dia rindu ayah, dia rindu lagi pada Yodi. Sifat-sifat ayahnya seakan tertransfer seutuhnya pada Yodi dan kebersamaan mereka selama masa kuliah bukanlah sesuatu yang bisa cepat Shifa tepikan begitu saja dari ingatannya. Air mata sudah menggantung di sudut matanya hingga tiba-tiba Elika meneriakinya dengan keras dari belakang. Ia segera mengerjapkan mata dan bercermin memastikan ia terlihat baik-baik saja.
“Kenapa El, aku disini,” ujar Shifa menjawab teriakan Elika.
“Fa, kamu tahu gak di sini tempat jual baju pesta yang oke?”
“Tahu. Coba nanti aku hubungi teman aku ya. Dia punya butik, baru buka. Bajunya juga bagus-bagus. Kamu ada acara ya?”
Elika tersenyum lebar, pipinya memerah.
“Sepupunya Dave menikah minggu depan disini. Aku diajak dia ke sana. Aku harus tampil oke dong Fa. Hahaha.”
“Iya, nanti kita ke sana ya. Senin besok kamu bisa kan?”
“Boleh, thanks ya!”
“Cieee.. ada yang sudah mau dikenalin nih.”
Aizha menimpali dari belakang. Elika kaget dan mukanya memerah. Rupanya sedari tadi percakapannya terdengar oleh Aizha dan itu bahaya karena sepanjang hari dirinya bisa menjadi sasaran pembullyan paling empuk. Tapi tidak untuk kali ini.
“Biarin! Sudah seharusnya begitu sih Ai. Lah kamu kapan diajak? Udah punya calon belum?? Weeek!!!”
Aizha menatap Elika tajam. Sudah memasang kuda-kuda, bersiap mengejar Elika. Elika yang sudah hafal betul apa yang akan terjadi kemudian berlari cepat sambil tertawa penuh kemenangan.
“Elikaaaaaaa!!”
Shifa tersenyum simpul melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Bulir air mata tiba-tiba saja keluar dari pelupuk matanya. Ia sendiri disana. Tak akan ada yg tahu kalau dia sedang menangis saat ini.
Shifa tak ingin larut dalam duka serta luka dalam yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ia sesegera mungkin menyapu airmatanya.
Suara dentingan sendok yang beradu dengan cangkir saat mengaduk kopi memenuhi dapur. Dapur yg beberapa jam lalu dikuasai oleh Eliza kini telah diambil alih Shifa. Ia sangat mengetahui bahwa ketika disaat seperti ini, disaat senyum tawa dan tangis menjadi satu, duduk santai sembari menyeruput secangkir capucino hangat adalah suguhan yang sangat pas.
Elika berlari dan tertawa saat melihat Aizha berteriak memanggilnya. Elika tahu bahwa Aizha ada masalah bahkan dengan kehadiran pria yang membuat Aizha melarikan diri. Namun mulutnya tak berhenti untuk usil. Elika memandang langit dan bintang betebaran di langit yang luas. Ah aku ingin ke awan bisiknya. Elika terduduk di pasir pantai dan memandang ke sekeliling. Sudah larut malam untuk duduk sendirian. Namun hatinya sedang berbunga-bunga siap dihinggapi kupu-puku cantik. Bibirnya tersenyum tak hentinya. Hidupnya kini penuh warna.
***
Malam itu Elika benar-benar bahagia, akhirnya Dave mengajaknya untuk ikut dalam acara keluarga besarnya. Pernikahan sepupunya akan menjadi gerbang awal Elika mengenal seluruh keluarga besar Dave. Mama, Papa, kakak dan adik Dave sudah ia kenal sebelumnya. Dave sempat mengundangnya dua kali kesempatan makan malam bersama di kediamannya. Dan kali ini keluarga besarnya lah yang akan dikenalnya lebih dekat. Dia sangat bersemangat malam itu.
***
Hari minggu yang cerah. Matahari belum juga terlalu tinggi posisinya. Terlihat Shifa, Aizha, Elika dan Eliza sedang duduk di meja bundar persis menghadap ke laut, larut dalam cerita. Kafe hari ini sengaja mereka tutup karena ingin menikmati waktu bersama yang sudah lama tidak mereka lakoni. Aroma laut berhembus lembut membelai cerita setiap pribadi. Kafe yang sudah berdiri lima bulan ini pasti punya cerita tersendiri pagi mereka berempat dan semua yang pernah berkunjung. Semua kerja keras, tawa canda lalu air mata yang pernah mereka kecap bersama menjadi kenangan yang berhasil mereka rangkai dengan cantiknya. Kafe ini seolah menjadi saksi bisu bagi setiap kisah. Ada semburat merah dipipi karena bahagia, ada kesedihan yang mematung karena berjumpa masa lalu, ada kekerasan hati untuk mengejar masa depan, ada harapan dalam aroma kopi yang disesap, ada rindu yang tertahan dalam senja. Ada yang datang kemudian ada yang pergi.
Ya itulah hidup. Semua orang selalu punya kisah sendiri dan hanya mereka yang paling tahu bagaimana rasanya.
Matahari sudah mulai terik. Mereka berempat kemudian memutuskan untuk berteduh di dalam Kafe sambil melanjutkan obrolan yang seperti tiada habisnya. Perjalanan masih sangat panjang, tak ada yang tahu apa kejutan apa yang siap menghampiri.
Tulisan kolaborasi denga Aini W.K , Indah Lestari dan Masya Ruhulessin

0 komentar: