Tak.tik.tuk.tak
tik tuk..
Waktu terus berjalan.. Tak terasa
sudah pukul 10 malam dan aku belum selesai mem-packing baju-bajuku. Kamarku
sudah seperti kapal pecah. Disana-sini bergeletakan baju-baju yang ingin aku
bawa. Namaku Gilang, Gilang Purnama, laki-laki berumur 27 tahun yang akan
dipindah tugaskan kejakarta. Aku adalah seorang desainer grafis dari sebuah
perusahaan periklanan besar yang berpusat dijakarta. Sekarang aku diangkat
sebagai head division advertising di perusahaanku. Aku kemudian merebahkan
tubuhku diatas tempat tidur.
“Ah,akhirnya selesai juga”. Aku
kemudian melirik jam dinding di kamar. “Udah jam 11 aja, baiknya aku tidur aja ah, besok harus bangun
pagi karena dapet penerbangan pertama”. Aku lalu pelan-pelan memejamkan
mata dan tertidur.
Aku memasukan kedua tanganku
kedalam kantong jaket, pertanda dinginnya pagi sangat menusuk. Pukul 5 pagi aku
sudah berada di bandara. Setelah menyelesaikan segala urusan, pesawatku pun
siap berangkat. Perjalanan dari kota Palembang menuju ke Jakarta tak memakan
waktu yang lama. Perjalanan 45 menit akhirnya membawa aku telah sampai di
Jakarta. Aku telah disambut oleh Pak Sony, atasanku dikantor yang baru.
” Selamat datang Gilang, apa
kabar?” kami
bersalaman.
“Terima kasih pak Sony, baik
kok kabarku”.
” Ya sudah, kita langsung
berangkat saja ke kantor ya”, kata pak Sony.
“Oke, ayo pak”, ucapku.
Perjalanan dari bandara ke kantor
pun tak perlu waktu lama. Dengan kemacetan yang ada, 1 jam perjalanan membawa
kami telah sampai di depan kantor yang megah ini. Pak Sony kemudian langsung
mengajakku masuk. Kami langsung menuju lantai 2. Disana sudah berkumpul para
karyawan yang lain. Mungkin kedatanganku bertepatan dengan jam masuk kantor
ini, dan mungkin juga pak Sony sudah mengabarkan kedatanganku kepada
karyawan-karyawan yang lain.
“Selamat pagi semuanya”, pak Sony
memberi salam kepada karyawan-karyawannya. Serentak mereka pun membalas salam
dari pak Sony secara bersamaan.
“Yok,semuanya merapat
sebentar”, Tangan Pak
Sony mengajak mereka untuk mendekat.
“Perkenalkan ini Pak Gilang,
pak Gilang ini adalah advertising Head division kita yang baru,yang kemarin
saya ceritakan”.
“Selamat datang pak Gilang”,
Karyawan-karyawan itu berkata padaku.
“Selamat pagi semuanya, terima
kasih atas sambutan teman-teman.hmm,kalo boleh jangan panggil Pak ya, panggil
aja Gilang” ,kataku diiringi senyum mereka. Pak Sony kemudian melanjutkan
kalimatnya. Tiba-tiba tanpa sadar mataku tertuju pada seorang wanita berambut
panjang disebelah kiriku,tepat berada diarah jam 11. Sepertinya aku mengenalnya.
Otaku kemudian bekerja untuk mengingat siapa dia. Aku terus melihatnya. “ah,Dinda”, aku
menggerakan bibirku tanpa suara padanya sembari mengarahkan telunjuk padanya.
Aku melihatnya tersenyum dan mengangguk.“Ah,,keajaiban apa ini. Tuhan mempertemukanku dengan Adinda”, kataku
dalam hati.
“Ayo Gilang saya antar ke
ruanganmu”. Aku terkejut, “eh..I.iya pak Sony“. Aku
kemudian mengikuti langkah pak Sony dan seraya melihat Adinda yang masih
melihatku.
***
Malam ini papa memberi kabar yang
mengejutkan. Bukan hanya tidak lazim karena papa membawa urusan kantor ke meja
makan. Aku memang baru beberapa minggu bergabung dengan perusahaan papa. Aku
tidak tertarik menggeluti dunia bisnis seperti papa. Namun liburanku
selama sebulan dari kegiatan mengajar memaksaku untuk menerima tawaran
papa. Aku hanya membantu-bantu papa yang kebetulan sekertarisnya cuti
melahirkan.
“Din besok Gilang datang”. Aku cuma
mengangguk dan terkejut saat papa menyebut nama . Mengingat siapa Gilang ini
apakah dia orang yang aku kenal? Namun aku tak bisa menahan penasaranku. “Siapa pa dia?”
“Oh… Bukannya papa sudah
bilang? Dia head division advertising baru. Tolong jangan berulah ya. “
Detik itu juga aku langsung
membenci sosok pria yang belum aku temuin . Belum apa-apa dia telah mencuri
hati papa. Oke dia memang karyawan dari kantor cabang dari Palembang. Namun
tidak seharusnya papa memujinya seperti ini.
“Yok,semuanya merapat sebentar”, Tangan
papa mengajak kami untuk mendekat. “Perkenalkan ini Pak Gilang,
pak Gilang ini adalah advertising Head division kita yang baru,yang kemarin
saya ceritakan”. Aku tersentak. Sebuah senyum yang sungguh tidak asing. Gilang
! Kenapa aku tidak memperhatikan saat papa menyebut namanya semalam. Saat
Gilang memandangku sepertinya dia kaget. Aku hanya bisa memberikan senyum
sekilas. Aku meminta papa untuk tidak memamerkan diriku sebagai anaknya. Hanya
sebagian kecil dari karyawan kantor yang menggetauhi hubunganku dengan papa.
Mereka hanya tahu aku menggantikan posisi mba Santi sekertaris papa. Saat papa
mengajak Gilang menuju ruangannya aku masih memandangnya. Dia kembali,
seseorang pernah mengsi hariku. Sahabatku. Aku masih tetap memandangnya saat
dia menengok dan mata kami bertatapan.
***
Aku mengisi waktu makan
siangku untuk berkeliling kantor ini,menyapa dan berkenalan dengan
rekan-rekan kerja baruku. Tapi niatnya sih untuk bertemu Dinda. Dinda adalah
sahabat baikku. Sudah 3 tahun kami berpisah, dan tanpa aku tau kabarnya. Sampai
saat ini Tuhan mempertemukanku lagi dengannya. Walau telah lama berlalu, tapi
semua kenangan masih jelas teringat dikepalaku. Ketika perasaan ini,tak pernah
sempat terucap padanya.
Lama aku berkeliling,tapi aku tak melihat Adinda. Aku coba
bertanya pada salah satu karyawan.“Mas lihat Adinda?” tanyaku. “Ohh,mbak Dinda,tadi aku lihat keluar sama pak Sony”.
“Oh gitu ya,Dinda udah lama
kerja disini”, aku kembali bertanya.
“Kalo mbak Dinda sih,baru
beberapa minggu kerja disni pak Gilang, dia gantiin sekretaris pak Sony yang
sedang cuti melahirkan”.
“Ohh,jadi dia sekretaris disini
ya?. Makasih ya buat infonya”.
“Sama-sama pak Gilang”.
Aku kembali ke ruanganku dengan
tersenyum. “Ah,mimpi apa aku. Dapat posisi baru, lalu dapet mukjizat bisa
ketemu lagi dengan Dinda, aku bersyukur banget”,dalam hatiku aku berkata.
Belum banyak pekerjaan yang aku dapat dihari pertamaku. Akupun
belum bisa bertatap muka dengan Dinda hari ini. Dia tak pulang lagi kekantor
saat pergi bersama pak Sony. Yah, mungkin tugas sekretaris yah seperti itu,
harus selalu berada disamping atasannya. “Besok masih bisa ketemu kok,
toh kita juga sekantor”, Aku
bersemangat dan melangkahkan kakiku pulang dengan tersenyum bahagia.
Masih pagi saat tiba-tiba papa
menuju keruanganku. Ralat ruangan mba Santi yang kini ku tempati. Aku sedang
asik didepan komputer.
“Din, papa mau ketemu klien.
Kamu temanin Gilang ya. Ajak keliling Jakrata kalau perlu.” Mendengar
kata papa yang seperti itu aku mengerutkan dahi. Ini papa engga lagi
menjodohkan aku kan? Sejak semalam menyuruhku tak ber-ulah. Dan ngotot pagi ini
aku harus masuk dan berkenalan dengan Gilang. Batinku sebelum aku memberikan
senyum yang merekah.
” Dih papa lupa ya? Hari ini
Dinda kan harusnya di rumah. Secara mau nemenin mama ke rumah cucu
tersayangnya.” Aku
menekankan kata cucu tersayang dengan wajah yang berseri-seri. Semenjak
mempunyai cucu inginnya aku juga segera memberikan satu untuknya. Aneh-aneh
saja ulah mama.
” Oalah iya, bisa ngamuk mamamu
kalau kamu ndak ikut.” Trus Gilang gimana?”
“Ya elah pak. Ya engga
gimana-gimana, wong dia disini mau kerja kok.” Logat jawaku saat aku beragumen dengan papa.
Maklum mengajar di Jogja membuatku mengerti bahasa Jawa.
” Dinda ikut papa saja deh ya.” Aku membereskan tas dan beranjak menyusul
papa yang sudah terburu-buru menuju mobil.
Perjalanan sudah seperepat jalan saat papa berseru hingga
membuat pak Pardi terlonjak kaget. Untunglah dia sopir yang berpengalaman
hingga tidak salah injak gas ataupun rem secara mendadak. “Papa lupa pamit sama Gilang, Din!” Astaga
papa kirain apaan.
“Kamu kabari ya Din. Papa lupa
gitu ya!” Buset bener si papa ini , aku mana punya nomernya dia. Ke
kantor? Ah malas juga. Saat papa sibuk dengan telponnya aku mulai memperhatikan
jalan. 3 tahun lalu saat semua berakhir menjadi awal kisahku. Kisahku tanpa
nama Gilang. Bahkan aku telah melupakan nama itu. Kisah indah namun menyakitkan
buat hatiku. Menyakitkan? Ah entahlah mungkin aku yang terlalu terbawa
perasaan. Senyum Gilang belum berubah. Masih senyum menawan dan menggoda seperti
biasanya. Hampir menghambur kepelukannya ,untunglah aku tersadar. Waktu 3 tahun
tentu telah memberikan jarak antara kami.
***
Aku melangkahkan kakiku dengan pasti menuju keruanganku pagi
ini. aku pusatkan mataku seluruh arah,melihat ke kiri,kemudian ke kanan,tapi
aku belum melihat sosok cantik Dinda.“Dimana ya dia,udah dateng blm ya, masa pagi-pagi gini udah nanya
dia ke orang. Ah,mungkin ada diruangannya Pak Sony”, batinku.
Aku kemudian masuk keruanganku. Bergegas menyelesaikan desain
untuk sebuah perusahaan minuman. 45 menit fokus pada pekerjaanku,aku dikejutkan
dengan bunyi handphoneku. Aku melihat kelayar handphoneku,”Pak Sony”, dengan
cepat aku menjawab panggilan tersebut. “Halo pak Sony”, kataku.
“Halo Gilang,kamu udah dikantor
ya? tanya pak
Sony.
“Iah pak,saya sudah ada
dikantor, ada apa ya pak?” tanya ku
balik.
“Oh,nggak ada apa-apa, saya
lupa ngasih tau,kalo saya sedang keluar,untuk bertemu klien kita kemarin,jadi
kamu tolong handle dulu kantor ya selagi nggak ada saya“,
pintanya.
” Oh,siap pak. Eh,pak Sony
sendirian ya?” aku
bertanya kembali.
“Nggak kok,saya bareng
Dinda. Dia nemenin saya. Yawdah kalo gitu ya, kamu lanjutin aja kerjaan kamu.”
“Oke pak Sony”, kemudian
telepon tertutup.
“Ah,pantas saja aku belum
ngeliat Dinda,dia lagi sama pak Sony“, Aku berbicara dengan nada
pelan seraya menyenderkan punggungku pada kursi kerjaku. “Kalo pak Sony selalu sibuk
keluar kantor bareng Dinda,kapan aku bisa ngobrol sama dia ya”, aku
menghela nafasku dan meneruskan pekerjaanku.
Sudah pukul 1 siang, tapi aku
masih berada diruang kerjaku. Aku malas keluar untuk makan,lagipula aku belum
terlalu lapar. Yah,kebiasaan buruk yang selalu saja aku lakukan,selalu telat
makan.
Tok.tok.tok..
Aku mendengar suara pintu
ruanganku diketuk..
“Ya masuk“, ucapku.
Aku terkejut melihat sesorang yang masuk keruanganku. Adinda,wanita yang ingin
kutemui,akhirnya masuk keruanganku dengan sendirinya.
“Permisi pak Gilang, apa saya
menganggu”, katanya.
“Yah,sangat menganggu ketika
kamu memanggilku Pak”, dalam hatiku berkata. “Oh,nggak kok,silahkan du..duk
Din.” Aku
terbata-bata mengeja namanya. “Hmm.. Ada apa?”,tanyaku.
“Saya nggak lama kok pak”.
“Jangan panggil-panggil gitu
Din, aneh banget dengernya, Biasa aja ya”, aku memotong
pembicaraanya. Dia terdiam bentar,dan menghela nafasnya.
“Yawdah kalo gitu,GILANG” ,dia
menyebut namaku dengan intonasi yang cukup keras. “Aku kesini cuma mau nganterin berkas-berkas klien kita 2 minggu
yang lalu,dan ini materi-materi buat periklanan klien kita yang baru saja pak
Sony temuin. Dibaca-baca dan pelajari ya GILANG”. Lagi lagi
dia mengeja namaku dengan penekanan.
“Iya nanti aku pelajarin
dirumah ya“, aku tersenyum padanya.
“Ngapain kamu senyum-senyum
gitu“,tanya nya.
“Nggak papa kok,nggak boleh
ya?” ucapku.
“Ah,yawdah aku mau balik lagi
keruangan,cuma itu kok yang mau aku kasih”, Dinda memutarkan badannya
dan membelakangiku.
“Din,tunggu dulu”.
“Ada apa lagi,Pak Gilang?“,katanya
Aku mengerutkan dahiku, “hmm,anu.hmm.masalah 3 tah..”
“Udah udah,,aku udah lupa
itu,udah nggak inget lagi”, Dina memotong perkataanku.
Kayaknya dia marah,aku ngomong masalah itu. “Yawdah,aku balik keruangan
dulu”, Dina keluar dari ruanganku. Ada perasaan senang dan juga ada
perasaan menyesal aku membicarakan hal itu.
***
Pagi ini seperti biasa aku
berangkat kerja bareng papa. Tapi papa ternyata tidak langsung ke kantor karena
langsung ketemu kliennya di hotel. Papa sengaja ketemu lagi hari ini sebelum
kliennya pulang ke kotanya.
Aku mendengar papa menelpon Gilang
dan kudengar namaku disebut. Aku tersenyum namun hatiku pedih. Rupanya Gilang
tidak berani meminta nomer hapeku ke papa.
Setelah makan siang papa bukannya
kembali ke kantor tapi asik nemani mama ke rumah eyang. Begini lah kalau kerja
kantor sendiri tidak mendidik karyawannya sekali. Aku cuma bisa komplain ke
papa dan malah mendapatkan jawaban yang telak.
“Tenang Din, sudah ada Gilang
di kantor, papa yakin dia bisa menggantikan papa.”
Aduh mimpi apa aku semalam sampai
harus mendengar dan berhubungan dengan pria bernama Gilang. Kenapa oh kenapaa?
Aku mengangguk saja bahkan saat papa menyerahkan beberapa lembar kertas yang
harus aku sampaikan langsung ke Gilang. Aku menuju kantor dengan taxi yang
membuatku merajuk ke papa.
Tok.tok.tok..
Aku mengetuk pintu ruangan
Gilang.
“Ya masuk”, ucap
Gilang. Aku melangkah dan melihatmu terbelalak kaget namun cepat kamu tutupi
denga senyuman.
“Permisi pak Gilang, apa saya
menganggu” sengaja aku memanggil menggunakan kata resmi.
Aku menyerahkan beberapa dokumen
yang tadi papa titipkan. Bahkan aku tidak bergeming saat Gilang menyuruhku
duduk.
“Jangan panggil-panggil gitu
Din, aneh banget dengernya.”
Gilang memotong ucapanku.
“Ya sudah kalo gitu, GILANG”
Aku menyebut namanya dengan intonasi
yang cukup keras.
“Aku kesini cuma mau nganterin
berkas-berkas klien kita 2 minggu yang lalu,dan ini materi-materi buat
periklanan klien kita yang baru saja pak Sony temuin. Dibaca-baca dan pelajari
ya GILANG”, aku
mengakiri dengan nada penekanan yang sangat menyebalkan baginya.
“Ngapain senyum-senyum?” Aku menegur Gilang dan aku memotong segala
ucapannya yang menyangkut tiga tahun lalu.
Aku segera pamit meninggalkan
ruangan Gilang dan menuju ruanganku dengan hati yang berkecamuk. Aku sudah
tidak ingin mengingat semuanya.
Aku terduduk dan merenung.
Kembali bertemu dengan Gilang memang membuatku sedikit gundah. Aku tidak
menyangka dia bekerja sama papa.
Aku dan Gilang sahabat
baik,sangat baik. Aku dan Gilang tak pernah sekalipun ingin terpisah. Namun
semua dia nodai dengan kebohongan. Aku merasa tersakiti bukan karena dia
bersama wanita lain. Berbohong dan membuatku seolah aku orang ketiga antara
mereka membuatku meradang.
Gilang selalu menceritakan
tentang beberapa teman wanitanya. Aku selalu berdebat andai aku tak
menyukainya. Aku dan Gilang bisa semalaman ribut karena aku tidak suka dia
teman kencannya.
Namun selalu Gilang tak pernah
sekalipun menyembunyikan sosok wanita-wanita itu.
Tapi 3 tahun lalu
seseorang,seseorang wanita menemuiku dan berkata dia tak ingin aku bersama
Gilang lagi.
Bahkan wanita itu,menyuruh gilang memilih dihadapanku antara
diriku dan diri wanita itu. Sungguh Gilang tidak pernah mengatakan tentang
kekasihnya ini. Dan aku terluka saat Gilang mengatakan sengaja berbohong karena
tak ingin aku menghalangi kencannya lagi. Sakit dan menangis saat Gilang
berlalu dan meninggalkan seuntai kalimat. ” Aku capek tiap hari mendengar
rengekan yang manja itu.”
Satu kalimat semua membuat
hancur. Persahabatanku dan Gilang hancur detik itu juga. Aku melihat kekasih
Gilang tersenyum dengan angkuhnya saat menggandeng Gilang menjauh.
Bib.. bib..
Telpon dari papa membuatku kembali ke alam nyata. “Kamu nanti pulang bareng Gilang. Tadi papa sudah telpon dia. Papa
butuh diskusi sama dia tentang klien.” Aku melotot,sebelum aku menjawab papa sudah
menutup telponnya. Papa ga salah nih. Arrr
***
Aku melihat jam tanganku,”ah, bentar lagi pulang, 30 menit ini aku pake aja untuk
beres-beres ruangan”. Aku melihat meja kerjaku yang sangat berantakan. Entah kertas
apa saja yang ada di atas mejaku. Aku sibuk merapikan kertas -kertas yang
berada dimejaku,tak lama kemudian handphoneku berbunyi. Aku melihat kelayar
handphoneku, Pak Sony, ada apa pak sony menelepon udah mau pulang gini. Aku
dengan cepat menjawab telepon tersebut.
“Halo pak Sony”, kataku.
” Lang,kamu udah pulang belom
dari kantor”, tanya pak Sony.
“Hmm, belum pak ini lagi
beres-beres,mungkin bentar lagi pulang, ada apa ya pak?” Tanyaku balik.
“Gini, kamu pulang bareng dinda
ya, dia masih dikantor. Soalnya aku mau ngomong sama kamu tentang klien kita
kemarin. Jadi kalian pulang langsung kerumah saya aja ya.”
“Siap pak”, jawabku
pendek.
” Yawdah,saya tunggu ya.” Telepon
terputus sebelum aku membalas ucapan pak Sony.
Aku terdiam ketika pak Sony memutuskan teleponya. Perlahan-lahan
senyum semakin merona.”Ah,mimpi apa aku
semalam,dapet kesempatan pulang bareng Dinda”,aku
menepuk-nepuk mukaku tanda aku masih tak percaya. Aku semakin girang
bahagia,seperti anak SMA yang lulus sekolah. Aku segera keluar ruangan dia
menunggu didepan ruangan Dinda.
Tak lama menunggu,5 menit
kemudian Dinda keluar dari ruangannya. Dengan raut muka datar dia berjalan
kearahku.
“Din,aku baru dapet tel..”,belum
sempat aku mengakhiri perkataanku, Dinda sudah memotongnya.“Ia aku tau,sudah ayo
pulang,pak Sony sudah menunggu”. Aku hanya diam dan mengikutinya
dari belakang. Aku tersenyum dan berkata “ah,Dinda kamu nggak berubah, jutek
kamu masih tetep sama”. “Brakk!!”
“Apaan itu?” Dinda terkejut dan memutarkan badannya
kearahku. “Kamu kenapa Gilang?”.
“Nggak papa kok”. kataku
menahan sakit. Gara-gara melamun,kaki ku menabrak kursi yang ada didepanku.
Otakku sibuk memikirkan Dinda sampai-sampai tidak melihat sekitar. Aku
tersenyum pada Dinda sambil menahan sakit.
Perjalanan pulang terasa lama. Bukan karena kemacetan,tapi
keheningan terjadi didalam mobil. Aku tak tau harus ngomong apa,sementara Dinda
hanya berkata saat menunjukan arah jalan pulang. “Masih jauh ya Din?, tanyaku.
“Nggak kok,bentar lagi sampe. Didepan itu ada perumahan dikiri jalan,masuk aja”.
“Nggak kok,bentar lagi sampe. Didepan itu ada perumahan dikiri jalan,masuk aja”.
Sekitar 10menit kemudian kami
sampai dirumah Pak Sony. Aku melihat Pak Sony sedang duduk santai diteras
rumahnya.Aku dan Dinda kemudian turun dari mobil.
“Ayo kalian berdua,silahkan masuk
kedalam”, sambut pak Sony mempersilahkan kami masuk.
Aku dan pak Sony kemudian duduk
diruang tamu.
“Din,kamu buatin minum dulu ya” kata pak Sony.
“Iah pak”, jawab
Dinda singkat seraya berjalan meninggalkan kami berdua.
“Langsung aja ya Lang. Jadi, perusahaan
yang dari Malaysia itu setuju bekerja sama dengan kita”.
Aku berdiskusi dengan pak Sony
selama 10 menit. Kemudian Dinda datang mengantarkan minuman. Aku tersenyum saat
Dinda menaruh gelas didepanku.
“Din,ambilin berkas-berkas yang
dari perusahaan kemaren ya ditempat kerja saya dikamar”.
“Oke pak”,jawab
dinda.
“Buset, Dinda hapal betul ya
isi rumah ini,kayak rumah sendiri. Pak Sony kayak nyuruh anak sendiri aja”, kataku
dalam hati.
“Ehm..permisi pak,saya boleh ke
toilet sebentar?” pintaku.
“Ohya,silahkan Lang. Kamu
lewatin aja Ruang keluarga nanti toilet disebelah kanan.”
Aku kemudian meninggalkan sendiri diruang tamu. Dalam perjalanan menuju toilet, aku melewati ruang keluarga. Aku melihat Foto besar terpajang di dinding ruang keluarga. Aku melihat sosok tak asing difoto tersebut,seperti Dinda. Aku mendekatkan diri ke foto tersebut. Yah,tak salah lagi perempuan yang berdiri disebelah pak sony itu Dinda. Aku terkejut, aku mulai berpikir yang aneh tentang pak Sony dan Dinda.
Aku kemudian meninggalkan sendiri diruang tamu. Dalam perjalanan menuju toilet, aku melewati ruang keluarga. Aku melihat Foto besar terpajang di dinding ruang keluarga. Aku melihat sosok tak asing difoto tersebut,seperti Dinda. Aku mendekatkan diri ke foto tersebut. Yah,tak salah lagi perempuan yang berdiri disebelah pak sony itu Dinda. Aku terkejut, aku mulai berpikir yang aneh tentang pak Sony dan Dinda.
“Apa perempuan itu cuma mirip
sama Dinda ya”,kataku dalam hati. Tanpa memikirkan hal itu lebih jauh,aku
kemudian menuju toilet. Dalam perjalanan kembali ke ruang tamu, aku masih
memikirkan foto tersebut. Aku berencana menanyakan foto tersebut pada pak Sony.
Aku lalu duduk kembali ke ruang tamu, dan menyiapkan nyali untuk bertanya.
“Hmm,permisi pak Sony, boleh
nanya sesuatu nggak“,kataku.
“Iya boleh,nanya apa?”.
“Maaf ya pak,sebelumnya.mau
nanya masalah foto yang ada diruang tamu nih, perempuan yang berdiri disebelah
pak sony itu,kayak Dinda pak“, tanyaku.
“Lah itu kan memang Dinda,Dinda
itu kan anak Saya Lang”.
Seperti ada halilintar yang menyambar kepalaku. Aku terkejut dan
terdiam. “Emang kamu nggak tau ya Lang? Tanya pak Sony.
“Sa.sa saya nggak tau pak”,aku tersenyum kecil. Lalu aku melihat Dinda dengan tumpukan berkas-berkas berjalan kearah kami. Aku melihatnya dengan raut muka yang penuh dengan perasaan bingung.
***
Aku terpaksa pulang dengan Gilang. Papa tak memberi pilihan. Baiklah toh cuma pulang bareng.
Sepanjang perjalanan aku dan Gilang tak banyak obrolan. Aku sengaja mengunci bibirku. Rasa sakit atas penghianatan dan penghinaan dulu masih membekas dihatiku. Aku dan dia memang tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Aku hanya bisa mencintai dia dan rela menjadi sahabat baiknya.
“Sa.sa saya nggak tau pak”,aku tersenyum kecil. Lalu aku melihat Dinda dengan tumpukan berkas-berkas berjalan kearah kami. Aku melihatnya dengan raut muka yang penuh dengan perasaan bingung.
***
Aku terpaksa pulang dengan Gilang. Papa tak memberi pilihan. Baiklah toh cuma pulang bareng.
Sepanjang perjalanan aku dan Gilang tak banyak obrolan. Aku sengaja mengunci bibirku. Rasa sakit atas penghianatan dan penghinaan dulu masih membekas dihatiku. Aku dan dia memang tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Aku hanya bisa mencintai dia dan rela menjadi sahabat baiknya.
Beberapa kali gilang menanyakan
arah mana yang kita tuju. Aku hanya seperlunya menjawab. Sesampai dirumah aku
melihat papa telah santai di teras. Mama tak terlihat .
Papa mempersilahkan Gilang masuk dan menyuruhku membuat minuman. Hampir saja aku berbuat iseng. Teh yang aku bikin khusus buat Gilang ingin aku bubuhi garam satu sendok. Namun aku mengurungkan niatku. Aku tak mau bertindak seperti anak-anak.
Papa mempersilahkan Gilang masuk dan menyuruhku membuat minuman. Hampir saja aku berbuat iseng. Teh yang aku bikin khusus buat Gilang ingin aku bubuhi garam satu sendok. Namun aku mengurungkan niatku. Aku tak mau bertindak seperti anak-anak.
Setelah menghidangkan minum,papa
menyuruhku mengambil berkas di kamar. Aku tak tahu obrolan mereka. Namaun saat
aku kembali papa dan Gilang tertawa bersama. Dan Gilang tersenyum manis
kepadaku. Senyuman yang tak pernah aku lupakan dalam tiga tahun ini. Bagaimana
pun melihat Gilang duduk di ruang tamu rumahku membuat hatiku menghangat.
***
Kami bertiga larut dalam diskusi kerja kami. Sesekali aku melirik Dinda,dan dia mengetahuinya. Aku tersenyum kecil dan Dinda pun membalasnya.
Kami bertiga larut dalam diskusi kerja kami. Sesekali aku melirik Dinda,dan dia mengetahuinya. Aku tersenyum kecil dan Dinda pun membalasnya.
“Oke,jadi fix kayak ini ya,
udah dicatet kan Dinda. Mungkin nanti kamu ya Gilang sama Dinda yang bakal
bertemu sama pak Alex untuk bahas kerjasamanya. Yawdah,kalian ngobrol aja
dulu,saya mau keatas,mau istirahat”. Pak Sony kemudian meninggalkan
kami berdua. Pak Sony kayaknya bisa membaca isi hatiku, aku ingin sekali bisa
berdua sama Dinda.
“Kenapa kamu senyum-senyum
gitu”, Dinda mengagetkanku.
“Nggak papa kok“, kataku. “Kok kamu nggak ngasih tau kalo anaknya pak Sony”,ucapku.
“Emang kenapa,penting gitu aku
ngasih tau kamu?“,Dinda menjawab jutek.
“Ya,nggak juga sih. Aku cuma
kaget aja tadi”,aku tertawa
“Idih,malah ketawa. Yawdah minum
tuh,aku udah capek buatinnya“
“Iya.iya,tapi nggak ada
racunnya kan?”
“Udah,minum aja sih”. Aku
kemudian tersenyum lagi.
Tak terasa waktu menunjukkan
pukul 8 malam. Sudah lama kami tak melakukan hal ini, ngobrol sampai lupa
waktu, yah walaupun kadang ada kekosongan diantara obrolan kami. Maklum sudah 3
tahun kami terpisah.
Aku menarik nafasku,aku mencoba memberanikan diri untuk
memberikan sedikit penjelasan tentang perpisahan kami. “Din,aku minta maaf ya atas kejadian 3 tahun lalu”,kataku.
Aku melihat raut muka dinda sedikit berubah. ” Aku minta maaf, aku nggak ada
hubunga apa-apa sama cewek itu,aku hanya ingin buat kamu cemburu. Tapi kayaknya
aku salah,mungkin kamu marah sampai kamu pergi menghilang entah kemana. Aku
nyari-nyari kamu,nanya orang,tapi nggak ada yang tau”. Aku
kembali menghela nafasku kemudian melanjutkan kata-kataku. “Aku sayang kamu,tapi mungkin caraku salah waktu itu,aku minta
maaf din”.
Dinda terdiam. “Yawdah,itu masalah lama.
Makasih udah mau jelasin walau terlambat. Lupain aja”.
Aku juga ikut terdiam. “Hmm.aku pulang dulu ya,udah malem. Besok kan kita harus pergi pagi kan. Besok aku jemput ya Din”. Aku kemudian pulang dengan perasaan lega dan juga perasaan bahagia,sangat bahagia.
Aku juga ikut terdiam. “Hmm.aku pulang dulu ya,udah malem. Besok kan kita harus pergi pagi kan. Besok aku jemput ya Din”. Aku kemudian pulang dengan perasaan lega dan juga perasaan bahagia,sangat bahagia.
Aku kembali fokus pada apa dan
gilang diskusikan. Masih jengkel dengan statusku yang sebagai sekertaris ini.
Emangnya sekertaris harus mencatat segala hal. Gerutuku dalam hati.
Setelah basa basi sebentar papa
pamit masuk. Aku dan Gilang melanjutkan obrolan. Kisah yang pernah ku tutup
rapat kini terbuka. Gilang menjelaskan segalanya. Ada rasa marah,kecewa namun
juga lega. Sahabat baikku telah kembali. Untaian tawa yang dulu seakan tercipta
lagi. Aku tersenyum saat Gilang berjanji menjemputku besok pagi. Bekerja di
kantor papa membuatku menemukan cintaku yang hilang.
Canda,tawa bahagia. Itulah perasaan
yang ada dikehidupanku sekarang. Perasaan yang selama ini telah hilang akhirnya
tumbuh kembali. Dinda,dialah orang yang menumbuhkan kembali rasa itu. Perempuan
yang masih membuatku jatuh cinta sampai saat ini.
Aku melihatnya selalu tersenyum. Aku memberhentikan mobilku
tepat didepan rumahnya. “Sampai akhirnya”,kataku.
Dia kembali tersenyum. “Din”,panggilku.
“Iah Lang ada apa?” tanya nya.
“Aku sangat bersyukur dan
bahagia akhirnya bisa bertemu denganmu lagi. Hidup aku kembali berwarna. Kali
ini aku janji, nggak akan biarkan kamu pergi lagi dari hidup aku. Aku bakal
berusaha agar kita selalu bisa sama-sama. Aku sayang kamu Din”
Dinda mengenggam tanganku. “Janji ya Lang”.
Aku kemudian meng-eratkan genggamanya,“Aku janji”.
Tulisan Kolaborasi Dyaz Afryanto (@dyazafryan) dan Aini W.K (@baelovesee)
0 komentar:
Posting Komentar