Sabtu, 04 Mei 2013

Kisah Yang Terulang


Tak.tik.tuk.tak tik tuk..
Waktu terus berjalan.. Tak terasa sudah pukul 10 malam dan aku belum selesai mem-packing baju-bajuku. Kamarku sudah seperti kapal pecah. Disana-sini bergeletakan baju-baju yang ingin aku bawa. Namaku Gilang, Gilang Purnama, laki-laki berumur 27 tahun yang akan dipindah tugaskan kejakarta. Aku adalah seorang desainer grafis dari sebuah perusahaan periklanan besar yang berpusat dijakarta. Sekarang aku diangkat sebagai head division advertising di perusahaanku. Aku kemudian merebahkan tubuhku diatas tempat tidur.
“Ah,akhirnya selesai juga”. Aku kemudian melirik jam dinding di kamar. “Udah jam 11 aja, baiknya aku tidur aja ah, besok harus bangun pagi karena dapet penerbangan pertama”. Aku lalu pelan-pelan memejamkan mata dan tertidur.
Aku memasukan kedua tanganku kedalam kantong jaket, pertanda dinginnya pagi sangat menusuk. Pukul 5 pagi aku sudah berada di bandara. Setelah menyelesaikan segala urusan, pesawatku pun siap berangkat. Perjalanan dari kota Palembang menuju ke Jakarta tak memakan waktu yang lama. Perjalanan 45 menit akhirnya membawa aku telah sampai di Jakarta. Aku telah disambut oleh Pak Sony, atasanku dikantor yang baru.
” Selamat datang Gilang, apa kabar?” kami bersalaman.
“Terima kasih pak Sony, baik kok kabarku”.
” Ya sudah, kita langsung berangkat saja ke kantor ya”, kata pak Sony.
“Oke, ayo pak”, ucapku.
Perjalanan dari bandara ke kantor pun tak perlu waktu lama. Dengan kemacetan yang ada, 1 jam perjalanan membawa kami telah sampai di depan kantor yang megah ini. Pak Sony kemudian langsung mengajakku masuk. Kami langsung menuju lantai 2. Disana sudah berkumpul para karyawan yang lain. Mungkin kedatanganku bertepatan dengan jam masuk kantor ini, dan mungkin juga pak Sony sudah mengabarkan kedatanganku kepada karyawan-karyawan yang lain.
“Selamat pagi semuanya”, pak Sony memberi salam kepada karyawan-karyawannya. Serentak mereka pun membalas salam dari pak Sony secara bersamaan.
“Yok,semuanya merapat sebentar”, Tangan Pak Sony mengajak mereka untuk mendekat.
“Perkenalkan ini Pak Gilang, pak Gilang ini adalah advertising Head division kita yang baru,yang kemarin saya ceritakan”.
“Selamat datang pak Gilang”, Karyawan-karyawan itu berkata padaku.
“Selamat pagi semuanya, terima kasih atas sambutan teman-teman.hmm,kalo boleh jangan panggil Pak ya, panggil aja Gilang” ,kataku diiringi senyum mereka. Pak Sony kemudian melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba tanpa sadar mataku tertuju pada seorang wanita berambut panjang disebelah kiriku,tepat berada diarah jam 11. Sepertinya aku mengenalnya. Otaku kemudian bekerja untuk mengingat siapa dia. Aku terus melihatnya. “ah,Dinda”, aku menggerakan bibirku tanpa suara padanya sembari mengarahkan telunjuk padanya. Aku melihatnya tersenyum dan mengangguk.“Ah,,keajaiban apa ini. Tuhan mempertemukanku dengan Adinda”, kataku dalam hati.
“Ayo Gilang saya antar ke ruanganmu”. Aku terkejut, “eh..I.iya pak Sony“. Aku kemudian mengikuti langkah pak Sony dan seraya melihat Adinda yang masih melihatku.
***
Malam ini papa memberi kabar yang mengejutkan. Bukan hanya tidak lazim karena papa membawa urusan kantor ke meja makan. Aku memang baru beberapa minggu bergabung dengan perusahaan papa. Aku tidak tertarik menggeluti dunia bisnis seperti papa. Namun liburanku selama  sebulan dari kegiatan mengajar memaksaku untuk menerima tawaran papa. Aku hanya membantu-bantu papa yang kebetulan sekertarisnya cuti melahirkan.
“Din besok Gilang datang”. Aku cuma mengangguk dan terkejut saat papa menyebut nama . Mengingat siapa Gilang ini apakah dia orang yang aku kenal?  Namun aku tak bisa menahan penasaranku. “Siapa pa dia?”
“Oh… Bukannya papa sudah bilang? Dia head division advertising baru. Tolong jangan berulah ya. “
Detik itu juga aku langsung membenci sosok pria yang belum aku temuin . Belum apa-apa dia telah mencuri hati papa. Oke dia memang karyawan dari kantor cabang dari Palembang. Namun tidak seharusnya papa memujinya seperti ini.
“Yok,semuanya merapat sebentar”, Tangan papa mengajak kami untuk mendekat. “Perkenalkan ini Pak Gilang, pak Gilang ini adalah advertising Head division kita yang baru,yang kemarin saya ceritakan”. Aku tersentak. Sebuah senyum yang sungguh tidak asing. Gilang ! Kenapa aku tidak memperhatikan saat papa menyebut namanya semalam. Saat Gilang memandangku sepertinya dia kaget. Aku hanya bisa memberikan senyum sekilas. Aku meminta papa untuk tidak memamerkan diriku sebagai anaknya. Hanya sebagian kecil dari karyawan kantor yang menggetauhi hubunganku dengan papa. Mereka hanya tahu aku menggantikan posisi mba Santi sekertaris papa. Saat papa mengajak Gilang menuju ruangannya aku masih memandangnya. Dia kembali, seseorang pernah mengsi hariku. Sahabatku. Aku masih tetap memandangnya saat dia menengok dan mata kami bertatapan.
***
Aku mengisi waktu makan siangku  untuk berkeliling kantor ini,menyapa dan berkenalan dengan rekan-rekan kerja baruku. Tapi niatnya sih untuk bertemu Dinda. Dinda adalah sahabat baikku. Sudah 3 tahun kami berpisah, dan tanpa aku tau kabarnya. Sampai saat ini Tuhan mempertemukanku lagi dengannya. Walau telah lama berlalu, tapi semua kenangan masih jelas teringat dikepalaku. Ketika perasaan ini,tak pernah sempat terucap padanya.
Lama aku berkeliling,tapi aku tak melihat Adinda. Aku coba bertanya pada salah satu karyawan.“Mas lihat Adinda?” tanyaku. “Ohh,mbak Dinda,tadi aku lihat keluar sama pak Sony”.
“Oh gitu ya,Dinda udah lama kerja disini”, aku kembali bertanya.
“Kalo mbak Dinda sih,baru beberapa minggu kerja disni pak Gilang, dia gantiin sekretaris pak Sony yang sedang cuti melahirkan”.
“Ohh,jadi dia sekretaris disini ya?. Makasih ya buat infonya”.
“Sama-sama pak Gilang”.
Aku kembali ke ruanganku dengan tersenyum. “Ah,mimpi apa aku. Dapat posisi baru, lalu dapet mukjizat bisa ketemu lagi dengan Dinda, aku bersyukur banget”,dalam hatiku aku berkata.
Belum banyak pekerjaan yang aku dapat dihari pertamaku. Akupun belum bisa bertatap muka dengan Dinda hari ini. Dia tak pulang lagi kekantor saat pergi bersama pak Sony. Yah, mungkin tugas sekretaris yah seperti itu, harus selalu berada disamping atasannya. “Besok masih bisa ketemu kok, toh kita juga sekantor”, Aku bersemangat dan melangkahkan kakiku pulang dengan tersenyum bahagia.
Masih pagi saat tiba-tiba papa menuju keruanganku. Ralat ruangan mba Santi yang kini ku tempati. Aku sedang asik didepan komputer.
“Din, papa mau ketemu klien. Kamu temanin Gilang ya. Ajak keliling Jakrata kalau perlu.” Mendengar kata papa yang seperti itu aku mengerutkan dahi. Ini papa engga lagi menjodohkan aku kan? Sejak semalam menyuruhku tak ber-ulah. Dan ngotot pagi ini aku harus masuk dan berkenalan dengan Gilang. Batinku sebelum aku memberikan senyum yang merekah.
” Dih papa lupa ya? Hari ini Dinda kan harusnya di rumah. Secara mau nemenin mama ke rumah cucu tersayangnya.” Aku menekankan kata cucu tersayang dengan wajah yang berseri-seri. Semenjak mempunyai cucu inginnya aku juga segera memberikan satu untuknya. Aneh-aneh saja ulah mama.
” Oalah iya, bisa ngamuk mamamu kalau kamu ndak ikut.” Trus Gilang gimana?”
“Ya elah pak. Ya engga gimana-gimana, wong dia disini mau kerja kok.” Logat jawaku saat aku beragumen dengan papa. Maklum mengajar di Jogja membuatku mengerti bahasa Jawa.
” Dinda ikut papa saja deh ya.” Aku membereskan tas dan beranjak menyusul papa yang sudah terburu-buru menuju mobil.
Perjalanan sudah seperepat jalan saat papa berseru hingga membuat pak Pardi terlonjak kaget. Untunglah dia sopir yang berpengalaman hingga tidak salah injak gas ataupun rem secara mendadak. “Papa lupa pamit sama Gilang, Din!” Astaga papa kirain apaan.
“Kamu kabari ya Din. Papa lupa gitu ya!” Buset bener si papa ini , aku mana punya nomernya dia. Ke kantor? Ah malas juga. Saat papa sibuk dengan telponnya aku mulai memperhatikan jalan. 3 tahun lalu saat semua berakhir menjadi awal kisahku. Kisahku tanpa nama Gilang. Bahkan aku telah melupakan nama itu. Kisah indah namun menyakitkan buat hatiku. Menyakitkan? Ah entahlah mungkin aku yang terlalu terbawa perasaan. Senyum Gilang belum berubah. Masih senyum menawan dan menggoda seperti biasanya. Hampir menghambur kepelukannya ,untunglah aku tersadar. Waktu 3 tahun tentu telah memberikan jarak antara kami.
***
Aku melangkahkan kakiku dengan pasti menuju keruanganku pagi ini. aku pusatkan mataku seluruh arah,melihat ke kiri,kemudian ke kanan,tapi aku belum melihat sosok cantik Dinda.“Dimana ya dia,udah dateng blm ya, masa pagi-pagi gini udah nanya dia ke orang. Ah,mungkin ada diruangannya Pak Sony”, batinku.
Aku kemudian masuk keruanganku. Bergegas menyelesaikan desain untuk sebuah perusahaan minuman. 45 menit fokus pada pekerjaanku,aku dikejutkan dengan bunyi handphoneku. Aku melihat kelayar handphoneku,”Pak Sony”, dengan cepat aku menjawab panggilan tersebut. “Halo pak Sony”, kataku.
“Halo Gilang,kamu udah dikantor ya? tanya pak Sony.
“Iah pak,saya sudah ada dikantor, ada apa ya pak?” tanya ku balik.
“Oh,nggak ada apa-apa, saya lupa ngasih tau,kalo saya sedang keluar,untuk bertemu klien kita kemarin,jadi kamu tolong handle dulu kantor ya selagi nggak ada saya“, pintanya.
” Oh,siap pak. Eh,pak Sony sendirian ya?” aku bertanya kembali.
“Nggak kok,saya  bareng Dinda. Dia nemenin saya. Yawdah kalo gitu ya, kamu lanjutin aja kerjaan kamu.”
“Oke pak Sony”, kemudian telepon tertutup.
Ah,pantas saja aku belum ngeliat Dinda,dia lagi sama pak Sony“, Aku berbicara dengan nada pelan seraya menyenderkan punggungku pada kursi kerjaku. “Kalo pak Sony selalu sibuk keluar kantor bareng Dinda,kapan aku bisa ngobrol sama dia ya”, aku menghela nafasku dan meneruskan pekerjaanku.
Sudah pukul 1 siang, tapi aku masih berada diruang kerjaku. Aku malas keluar untuk makan,lagipula aku belum terlalu lapar. Yah,kebiasaan buruk yang selalu saja aku lakukan,selalu telat makan.
Tok.tok.tok..
Aku mendengar suara pintu ruanganku diketuk..
“Ya masuk“, ucapku. Aku terkejut melihat sesorang yang masuk keruanganku. Adinda,wanita yang ingin kutemui,akhirnya masuk keruanganku dengan sendirinya.
“Permisi pak Gilang, apa saya menganggu”, katanya.
“Yah,sangat menganggu ketika kamu memanggilku Pak”, dalam hatiku berkata. “Oh,nggak kok,silahkan du..duk Din.” Aku terbata-bata mengeja namanya. “Hmm.. Ada apa?”,tanyaku.
“Saya nggak lama kok pak”.
“Jangan panggil-panggil gitu Din, aneh banget dengernya, Biasa aja ya”, aku memotong pembicaraanya. Dia terdiam bentar,dan menghela nafasnya.
Yawdah kalo gitu,GILANG” ,dia menyebut namaku dengan intonasi yang cukup keras. “Aku kesini cuma mau nganterin berkas-berkas klien kita 2 minggu yang lalu,dan ini materi-materi buat periklanan klien kita yang baru saja pak Sony temuin. Dibaca-baca dan pelajari ya GILANG”. Lagi lagi dia mengeja namaku dengan penekanan.
“Iya nanti aku pelajarin dirumah ya“, aku tersenyum padanya.
“Ngapain kamu senyum-senyum gitu“,tanya nya.
“Nggak papa kok,nggak boleh ya?” ucapku.
“Ah,yawdah aku mau balik lagi keruangan,cuma itu kok yang mau aku kasih”, Dinda memutarkan badannya dan membelakangiku.
“Din,tunggu dulu”.
“Ada apa lagi,Pak Gilang?“,katanya
Aku mengerutkan dahiku, “hmm,anu.hmm.masalah 3 tah..”
“Udah udah,,aku udah lupa itu,udah nggak inget lagi”, Dina memotong perkataanku. Kayaknya dia marah,aku ngomong masalah itu. “Yawdah,aku balik keruangan dulu”, Dina keluar dari ruanganku. Ada perasaan senang dan juga ada perasaan menyesal aku membicarakan hal itu.
***
Pagi ini seperti biasa aku berangkat kerja bareng papa. Tapi papa ternyata tidak langsung ke kantor karena langsung ketemu kliennya di hotel. Papa sengaja ketemu lagi hari ini sebelum kliennya pulang ke kotanya.
Aku mendengar papa menelpon Gilang dan kudengar namaku disebut. Aku tersenyum namun hatiku pedih. Rupanya Gilang tidak berani meminta nomer hapeku ke papa.
Setelah makan siang papa bukannya kembali ke kantor tapi asik nemani mama ke rumah eyang. Begini lah kalau kerja kantor sendiri tidak mendidik karyawannya sekali. Aku cuma bisa komplain ke papa dan malah mendapatkan jawaban yang telak.
“Tenang Din, sudah ada Gilang di kantor, papa yakin dia bisa menggantikan papa.”
Aduh mimpi apa aku semalam sampai harus mendengar dan berhubungan dengan pria bernama Gilang. Kenapa oh kenapaa? Aku mengangguk saja bahkan saat papa menyerahkan beberapa lembar kertas yang harus aku sampaikan langsung ke Gilang. Aku menuju kantor dengan taxi yang membuatku merajuk ke papa.
Tok.tok.tok..
Aku mengetuk pintu ruangan Gilang.
“Ya masuk”, ucap Gilang. Aku melangkah dan melihatmu terbelalak kaget namun cepat kamu tutupi denga senyuman.
“Permisi pak Gilang, apa saya menganggu” sengaja aku memanggil menggunakan kata resmi.
Aku menyerahkan beberapa dokumen yang tadi papa titipkan. Bahkan aku tidak bergeming saat Gilang menyuruhku duduk.
“Jangan panggil-panggil gitu Din, aneh banget dengernya.”
Gilang memotong ucapanku.
“Ya sudah kalo gitu, GILANG”
Aku menyebut namanya dengan intonasi yang cukup keras.
“Aku kesini cuma mau nganterin berkas-berkas klien kita 2 minggu yang lalu,dan ini materi-materi buat periklanan klien kita yang baru saja pak Sony temuin. Dibaca-baca dan pelajari ya GILANG”, aku mengakiri dengan nada penekanan yang sangat menyebalkan baginya.
“Ngapain senyum-senyum?” Aku menegur Gilang dan aku memotong segala ucapannya yang menyangkut tiga tahun lalu.
Aku segera pamit meninggalkan ruangan Gilang dan menuju ruanganku dengan hati yang berkecamuk. Aku sudah tidak ingin mengingat semuanya.
Aku terduduk dan merenung. Kembali bertemu dengan Gilang memang membuatku sedikit gundah. Aku tidak menyangka dia bekerja sama papa.
Aku dan Gilang sahabat baik,sangat baik. Aku dan Gilang tak pernah sekalipun ingin terpisah. Namun semua dia nodai dengan kebohongan. Aku merasa tersakiti bukan karena dia bersama wanita lain. Berbohong dan membuatku seolah aku orang ketiga antara mereka membuatku meradang.
Gilang selalu menceritakan tentang beberapa teman wanitanya. Aku selalu berdebat andai aku tak menyukainya. Aku dan Gilang bisa semalaman ribut karena aku tidak suka dia teman kencannya.
Namun selalu Gilang tak pernah sekalipun menyembunyikan sosok wanita-wanita itu.
Tapi 3 tahun lalu seseorang,seseorang wanita menemuiku dan berkata dia tak ingin aku bersama Gilang lagi.
Bahkan wanita itu,menyuruh gilang memilih dihadapanku antara diriku dan diri wanita itu. Sungguh Gilang tidak pernah mengatakan tentang kekasihnya ini. Dan aku terluka saat Gilang mengatakan sengaja berbohong karena tak ingin aku menghalangi kencannya lagi. Sakit dan menangis saat Gilang berlalu dan meninggalkan seuntai kalimat. ” Aku capek tiap hari mendengar rengekan yang manja itu.”
Satu kalimat semua membuat hancur. Persahabatanku dan Gilang hancur detik itu juga. Aku melihat kekasih Gilang tersenyum dengan angkuhnya saat menggandeng Gilang menjauh.
Bib.. bib..
Telpon dari  papa membuatku kembali ke alam nyata. “Kamu nanti pulang bareng Gilang. Tadi papa sudah telpon dia. Papa butuh diskusi sama dia tentang klien.” Aku melotot,sebelum aku menjawab papa sudah menutup telponnya. Papa ga salah nih. Arrr
***
Aku melihat jam tanganku,”ah, bentar lagi pulang, 30 menit ini aku pake aja untuk beres-beres ruangan”. Aku melihat meja kerjaku yang sangat berantakan. Entah kertas apa saja yang ada di atas mejaku. Aku sibuk merapikan kertas -kertas yang berada dimejaku,tak lama kemudian handphoneku berbunyi. Aku melihat kelayar handphoneku, Pak Sony, ada apa pak sony menelepon udah mau pulang gini. Aku dengan cepat menjawab telepon tersebut.
“Halo pak Sony”, kataku.
” Lang,kamu udah pulang belom dari kantor”, tanya pak Sony.
“Hmm, belum pak ini lagi beres-beres,mungkin bentar lagi pulang, ada apa ya pak?” Tanyaku balik.
“Gini, kamu pulang bareng dinda ya, dia masih dikantor. Soalnya aku mau ngomong sama kamu tentang klien kita kemarin. Jadi kalian pulang langsung kerumah saya aja ya.”
“Siap pak”, jawabku pendek.
” Yawdah,saya tunggu ya.” Telepon terputus sebelum aku membalas ucapan pak Sony.
Aku terdiam ketika pak Sony memutuskan teleponya. Perlahan-lahan senyum semakin merona.”Ah,mimpi apa aku semalam,dapet kesempatan pulang bareng Dinda”,aku menepuk-nepuk mukaku tanda aku masih tak percaya. Aku semakin girang bahagia,seperti anak SMA yang lulus sekolah. Aku segera keluar ruangan dia menunggu didepan ruangan Dinda.
Tak lama menunggu,5 menit kemudian Dinda keluar dari ruangannya. Dengan raut muka datar dia berjalan kearahku.
“Din,aku baru dapet tel..”,belum sempat aku mengakhiri perkataanku, Dinda sudah memotongnya.“Ia aku tau,sudah ayo pulang,pak Sony sudah menunggu”. Aku hanya diam dan mengikutinya dari belakang. Aku tersenyum dan berkata “ah,Dinda kamu nggak berubah, jutek kamu masih tetep sama”. “Brakk!!”
“Apaan itu?” Dinda terkejut dan memutarkan badannya kearahku. “Kamu kenapa Gilang?”.
“Nggak papa kok”. kataku menahan sakit. Gara-gara melamun,kaki ku menabrak kursi yang ada didepanku. Otakku sibuk memikirkan Dinda sampai-sampai tidak melihat sekitar. Aku tersenyum pada Dinda sambil menahan sakit.
Perjalanan pulang terasa lama. Bukan karena kemacetan,tapi keheningan terjadi didalam mobil. Aku tak tau harus ngomong apa,sementara Dinda hanya berkata saat menunjukan arah jalan pulang. “Masih jauh ya Din?, tanyaku.
“Nggak kok,bentar lagi sampe. Didepan itu ada perumahan dikiri jalan,masuk aja”.
Sekitar 10menit kemudian kami sampai dirumah Pak Sony. Aku melihat Pak Sony sedang duduk santai diteras rumahnya.Aku dan Dinda kemudian turun dari mobil.
“Ayo kalian berdua,silahkan masuk kedalam”, sambut pak Sony mempersilahkan kami masuk.
Aku dan pak Sony kemudian duduk diruang tamu.
“Din,kamu buatin minum dulu ya” kata pak Sony.
“Iah pak”, jawab Dinda singkat seraya berjalan meninggalkan kami berdua.
“Langsung aja ya Lang. Jadi, perusahaan yang dari Malaysia itu setuju bekerja sama dengan kita”.
Aku berdiskusi dengan pak Sony selama 10 menit. Kemudian Dinda datang mengantarkan minuman. Aku tersenyum saat Dinda menaruh gelas didepanku.
“Din,ambilin berkas-berkas yang dari perusahaan kemaren ya ditempat kerja saya dikamar”.
“Oke pak”,jawab dinda.
“Buset, Dinda hapal betul ya isi rumah ini,kayak rumah sendiri. Pak Sony kayak nyuruh anak sendiri aja”, kataku dalam hati.
“Ehm..permisi pak,saya boleh ke toilet sebentar?” pintaku.
“Ohya,silahkan Lang. Kamu lewatin aja Ruang keluarga nanti toilet disebelah kanan.”
Aku kemudian meninggalkan sendiri diruang tamu. Dalam perjalanan menuju toilet, aku melewati ruang keluarga. Aku melihat Foto besar terpajang di dinding ruang keluarga. Aku melihat sosok tak asing difoto tersebut,seperti Dinda. Aku mendekatkan diri ke foto tersebut. Yah,tak salah lagi perempuan yang berdiri disebelah pak sony itu Dinda. Aku terkejut, aku mulai berpikir yang aneh tentang pak Sony dan Dinda.
“Apa perempuan itu cuma mirip sama Dinda ya”,kataku dalam hati. Tanpa memikirkan hal itu lebih jauh,aku kemudian menuju toilet. Dalam perjalanan kembali ke ruang tamu, aku masih memikirkan foto tersebut. Aku berencana menanyakan foto tersebut pada pak Sony. Aku lalu duduk kembali ke ruang tamu, dan menyiapkan nyali untuk bertanya.
Hmm,permisi pak Sony, boleh nanya sesuatu nggak“,kataku.
“Iya boleh,nanya apa?”.
“Maaf ya pak,sebelumnya.mau nanya masalah foto yang ada diruang tamu nih, perempuan yang berdiri disebelah pak sony itu,kayak Dinda pak“, tanyaku.
“Lah itu kan memang Dinda,Dinda itu kan anak Saya Lang”.
Seperti ada halilintar yang menyambar kepalaku. Aku terkejut dan terdiam. “Emang kamu nggak tau ya Lang? Tanya pak Sony.
“Sa.sa saya nggak tau pak”,aku tersenyum kecil. Lalu aku melihat Dinda dengan tumpukan berkas-berkas berjalan kearah kami. Aku melihatnya dengan raut muka yang penuh dengan perasaan bingung.
***
Aku terpaksa pulang dengan Gilang. Papa tak memberi pilihan. Baiklah toh cuma pulang bareng.
Sepanjang perjalanan aku dan Gilang tak banyak obrolan. Aku sengaja mengunci bibirku. Rasa sakit atas penghianatan dan penghinaan dulu masih membekas dihatiku. Aku dan dia memang tidak pernah menjadi sepasang kekasih. Aku hanya bisa mencintai dia dan rela menjadi sahabat baiknya.
Beberapa kali gilang menanyakan arah mana yang kita tuju. Aku hanya seperlunya menjawab. Sesampai dirumah aku melihat papa telah santai di teras. Mama tak terlihat .
Papa mempersilahkan Gilang masuk dan menyuruhku membuat minuman. Hampir saja aku berbuat iseng. Teh yang aku bikin khusus buat Gilang ingin aku bubuhi garam satu sendok. Namun aku mengurungkan niatku. Aku tak mau bertindak seperti anak-anak.
Setelah menghidangkan minum,papa menyuruhku mengambil berkas di kamar. Aku tak tahu obrolan mereka. Namaun saat aku kembali papa dan Gilang tertawa bersama. Dan Gilang tersenyum manis kepadaku. Senyuman yang tak pernah aku lupakan dalam tiga tahun ini. Bagaimana pun melihat Gilang duduk di ruang tamu rumahku membuat hatiku menghangat.
***
Kami bertiga larut dalam diskusi kerja kami. Sesekali aku melirik Dinda,dan dia mengetahuinya. Aku tersenyum kecil dan Dinda pun membalasnya.
“Oke,jadi fix kayak ini ya, udah dicatet kan Dinda. Mungkin nanti kamu ya Gilang sama Dinda yang bakal bertemu sama pak Alex untuk bahas kerjasamanya. Yawdah,kalian ngobrol aja dulu,saya mau keatas,mau istirahat”. Pak Sony kemudian meninggalkan kami berdua. Pak Sony kayaknya bisa membaca isi hatiku, aku ingin sekali bisa berdua sama Dinda.
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu”, Dinda mengagetkanku.
“Nggak papa kok“, kataku. “Kok kamu nggak ngasih tau kalo anaknya pak Sony”,ucapku.
Emang kenapa,penting gitu aku ngasih tau kamu?“,Dinda menjawab jutek.
“Ya,nggak juga sih. Aku cuma kaget aja tadi”,aku tertawa
Idih,malah ketawa. Yawdah minum tuh,aku udah capek buatinnya
“Iya.iya,tapi nggak ada racunnya kan?”
Udah,minum aja sih”. Aku kemudian tersenyum lagi.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 8 malam. Sudah lama kami tak melakukan hal ini, ngobrol sampai lupa waktu, yah walaupun kadang ada kekosongan diantara obrolan kami. Maklum sudah 3 tahun kami terpisah.
Aku menarik nafasku,aku mencoba memberanikan diri untuk memberikan sedikit penjelasan tentang perpisahan kami. “Din,aku minta maaf ya atas kejadian 3 tahun lalu”,kataku. Aku melihat raut muka dinda sedikit berubah. ” Aku minta maaf, aku nggak ada hubunga apa-apa sama cewek itu,aku hanya ingin buat kamu cemburu. Tapi kayaknya aku salah,mungkin kamu marah sampai kamu pergi menghilang entah kemana. Aku nyari-nyari kamu,nanya orang,tapi nggak ada yang tau”. Aku kembali menghela nafasku kemudian melanjutkan kata-kataku. “Aku sayang kamu,tapi mungkin caraku salah waktu itu,aku minta maaf din”.
Dinda terdiam. “Yawdah,itu masalah lama. Makasih udah mau jelasin walau terlambat. Lupain aja”.
Aku juga ikut terdiam. 
“Hmm.aku pulang dulu ya,udah malem. Besok kan kita harus pergi pagi kan. Besok aku jemput ya Din”. Aku kemudian pulang dengan perasaan lega dan juga perasaan bahagia,sangat bahagia.
Aku kembali fokus pada apa dan gilang diskusikan. Masih jengkel dengan statusku yang sebagai sekertaris ini. Emangnya sekertaris harus mencatat segala hal. Gerutuku dalam hati.
Setelah basa basi sebentar papa pamit masuk. Aku dan Gilang melanjutkan obrolan. Kisah yang pernah ku tutup rapat kini terbuka. Gilang menjelaskan segalanya. Ada rasa marah,kecewa namun juga lega. Sahabat baikku telah kembali. Untaian tawa yang dulu seakan tercipta lagi. Aku tersenyum saat Gilang berjanji menjemputku besok pagi. Bekerja di kantor papa membuatku menemukan cintaku yang hilang.
Canda,tawa bahagia. Itulah perasaan yang ada dikehidupanku sekarang. Perasaan yang selama ini telah hilang akhirnya tumbuh kembali. Dinda,dialah orang yang menumbuhkan kembali rasa itu. Perempuan yang masih membuatku jatuh cinta sampai saat ini.
Aku melihatnya selalu tersenyum. Aku memberhentikan mobilku tepat didepan rumahnya. “Sampai akhirnya”,kataku. Dia kembali tersenyum. “Din”,panggilku.
“Iah Lang ada apa?” tanya nya.
“Aku sangat bersyukur dan bahagia akhirnya bisa bertemu denganmu lagi. Hidup aku kembali berwarna. Kali ini aku janji, nggak akan biarkan kamu pergi lagi dari hidup aku. Aku bakal berusaha agar kita selalu bisa sama-sama. Aku sayang kamu Din”
Dinda mengenggam tanganku. “Janji ya Lang”.
Aku kemudian meng-eratkan genggamanya,“Aku janji”.

Tulisan Kolaborasi Dyaz Afryanto (@dyazafryan) dan Aini W.K (@baelovesee)

0 komentar: