Sabtu, 23 Maret 2013

Demam "Warm Bodies"

Ada temenku namanya Vanessa dia lagi demam Warm Bodies, atau lebih tepatnya dia lagi demam sama aktornya. Siapa yah namanya? Hmmm, hmmm.. Aha, Nicholas Hoult! Habis vampir Edward Cullen, sekarang dia sukanya sama zombi R.. Ckckck..

Rabu, 20 Maret 2013

Pulang


Pagi ini dingin menyergapnya dengan begitu hebat. Berlapis-lapis baju yang Yana kenakan tidak lagi mempan. Entah mengapa bisa jadi seperti itu. Padahal tanah ini adalah tanah ia dilahirkan, tanah ia dibesarkan. Hingga suatu hari Ia harus pergi untuk menyembuhkan hatinya yang telah terluka begitu dalam. Ia tak pernah menyangka takdir akan membawanya kembali ke kota yang sudah tak ingin lagi di kunjunginya ; Salatiga.
Ia memandang kebun jati dibelakang rumah dengan pandangan nanar. Bayangan yang tidak ingin ia ingat pun seakan meyeruak menembus dinding tebal yang ia bangun dulu. Kesedihan yang membuatnya berlari kini seakan hadir untuk dikenang. Hawa dingin menambah suasana hati seakan membuatnya beku. Ia terduduk dibahah bohon yang sedikit basah terkena embun.
Hawa dingin membuat badannya menggil namun memberikan kesejukan yang ia butuhkan kini. Masih ada waktu untuk menghadapai segalanya.
Tante…
Yana terkejut mendengar teriakan keponakan semata wayang nya ~ David, yang kini telah menghambur ke pelukannya.
Kamu sudah tinggi ya dek” ujar Yana sambil mengusap lembut rambut David.
Iya donk tante, masa mau kecil terus? ” Ujar David manja.
“Akhirnya kamu pulang Yana.” Yana berbalik mencari sang empunya suara. Mereka berdua saling melempar senyum lalu kemudian larut dalam sebuah pelukan.
Iya mbak. Ini mungkin telah waktunya utuk kembali.” Rani, kakak semata wayang Yana hanya mengangguk pelan.
David sudah gede ya mbak. Tambah pinter saja nih anak.” Yana memuji keponakannya lagi.
Rani hanya tersenyum bangga.
Bagaimana perasaanmu? Sudah enakkan toh? Sudah siap ?” Yana mengangguk membenarkan,meskipun hatinya tetap belumlah tenang. Rani menggandeng Yana dengan mesra.
Kamu kedinginan,memangnya disana panas ya?” Rani melihat Yana menggigil untuk kesekian kalinya.
Mbak..kalau boleh aku ingin sendirian dulu,sepuluh menit saja mbak.”
Rani mengangguk dan menggandeng tangan David untuk berlalu.
“Jangan lama-lama ya, semua menunggu kamu.”
Yana mendengus napas panjang. Menginjakan kaki di kota ini berhasil membangkitkan memory yang tak ingin dia ingat.
Terlihat dalam angannya, Stevan lelaki yang pernah dipacarinya. Selama dua tahun melempar senyum sendu.
Stevan berlalu begitu saja meninggalkan Yana di atas altar dengan sejuta tanda tanya di kepalanya.
Bahkan hingga saat ini dia terlalu khawatir untuk tahu apa alasan Stevan pergi. Ada yang mengatakan Stevan sudah punya kekasih baru. Ada yang bilang dia masih belum siap. Tak ada yang benar-benar tahu. Stevan tak punya keluarga .
Ia telah hidup sebatang kara sejak berusia 8 tahun. Bahkan teman-temannya hanya bisa menduga.
Semenjak hari itu Stevan hilang, tak meninggalkan jejak
Yana yang merasa dipermalukan memilih menutup diri. Tapi sampai saat ini tidak ada kebencian dihatinya, hanya ada duka,kemarahan dan kekecewaan.
Stevan tidak akan melalukan hal seperti ini kalau tidak mempunyai alasan yang sangat kuat. Yana mengenalnya betul.
Bapak memaki Yana yang dianggap ikut andil dalam kepergian Stevan ,bapak hanya bisa menyalahkan Yana bahkan menganggap Yana tidak bisa menjaga Stevan.
Yana meninggalkan rumah untuk menyembuhkan luka dan melupakan semua noda yang tercoreng dimuka dan keluarganya. Sakit rasanya mendengar bisik bisik para tetangga yang selalu lolos terdengar ditelinganya bahkan saat pendeta memberi ceramah di mimbar pun Yana tetap mendengar nama dia disebut orang disebelahnya.
Yana menarik napas lagi untuk kesekian kalinya. Sudah sepuluh menit waktu yang diminta dari kakaknya. Yana bangkit dan berjalan menuju rumahnya . Dirinya sudah siap menerima apapun kejutan yang akan dihadapi. Tidak akan ada hal yang mengejutkan lagi setelah apa yang terjadi padanya .
“Ini anak saya, yang saya ceritakan itu. Yana namanya“.
Yana  bangkit dari kursi dengan malas. Ternyata ini adalah kejutan yang tak menyenangkan di pagi yang dingin ini. Sebuah usaha yang menggelikan.
Aku menyambut tangan lelaki berhidung bangir itu dengan enggan.
Ferdy“. Terdengar pria itu berujar
Yana menarik tangan tanpa menyebut nama lagi, toh ia pikir tadi sudah dengan jelas nama disebutkan dengan lantang dan bangganya.
Ia kembali duduk dan Ferdy tak berhenti menatapnya.
Ada ketertarikan yang tidak disembunyikan dan membuat Yana muak.
Bukan tatapan kekurangajaran,hanya saja aku merasa jengah dan merasa seperti barang dagangan yang akan ditawar.
Apa Ferdy tidak mendengar kisahku?” Pertanyaan yang hanya bisa Yana pendam dalam hati.
Ini anak saya ,sudah sukses, kalian pasti akan cocok dan bla bla bla .” Yana muak mendengar kata-kata bapak yang membangga banggakan diriku.
Ferdy mengangguk dan tersenyum simpul. Senyum yang menurutku senyum angkuh karena keinginannya tercapai. Yna memandangya dan membuat Yana penasaran dengan apa yang sedang dipikirkan.
Yana membandingkan wajah Ferdy dengan Stevan yang mulai memudar.
Apa sebenarnya yang bapak inginkan dariku? Apakah bapak tidak memikirkan perasaanku yang terluka? Bapak menyuruhku pulang dengan membawa bawa ibu yang sakit. Ah rupanya bapak tidak pernah berubah. Kepergianku tidak membuat bapak menyesali semuanya” Yana lagi-lagi hanya  membatin.
Kala menunduk dan Ia mendapati tangan mbak Rani menggemnya erat.
***
Yana membetulkan letak kalungnya. Sesekali dia melirik ke cermin lalu tersenyum.
Hari seperti ini terulang lagi. Hari yang pernah dia jalani beberapa tahun lalu dan diakhiri dengan rasa malu dan bekas dihati yang begitu mendalam.
Namun kali ini entah kenapa Yana begitu yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja. Meski banyak orang berkasak-kusuk dibelakang, Yana tetap tak peduli! Toh ini hidup nya Dia.
Yana sesekali menengok keluar. Disana bisa dia lihat ayah, ibu, mbak Rani dan David begitu ceria. Itu semua karena hari ini.
Ibu yang semenjak kejadian dulu menjadi murung sekarang kelihatan sangat bahagia.
Yana mengenang surat mbak Rani yang membuatnya kembali kerumah. Surat,iya mbak nya itu mengirim surat,bukan email atau sms ataupun bbm seperti biasanya.
Mbak Rani menjelaskan semuanya,semua yang terjadi bukan kesalahan bapak.
Mbak Rani mengerti bahwa dalam hati kecil Yana terselip kekecewaan kepada bapak,hanya saja Yana tidak ingin mengungkapkan.
Meskipun mbak Rani meminta Yana kembali karena ibu sakit dan bapak pun meminta Yana kembali.
Bapak memang melunak,tapi bapak masih tetaplah bapak yang otorier terhadap anaknya.
Yana tersenyum untuk kesekian kalinya dan memandang kecermin.
Yana tak pernah tahu mengapa Stevan meninggalkannya dialtar dan buat Yana biarlah itu terus menjadi sebuah rahasia yang tak usah dipecahkan.
Yana berjalan di altar, semua mata memandangnya. Entah harapan apa yang mereka panjatkan.
Dikejauhan Yana melihat Ferdy menunggunya, menunggu dengan gagahnya, tidak tergoyahkan, tidak ada tanda tanda kegelisahan seperti Stevan dulu.
Perkenalan dengan Ferdy yang singkat membuat Yana belum mengenal Ferdy secara utuh. Hanya saja dia menyerah memberontak. Biarkan saja air mengalir seperti aliran sungai,Yana hanya mengikuti arus saja, biarkan sang waktu yang menentukan.
Didepan altar, Yana dan Ferdy saling mengikat janji dihadapan ratusan pasang mata dan Sang empunya hidup.
Mereka saling memandang. Ada sinar bahagia meledak diwajah semua orang.
Yana tersenyum begitu lebar. Perasaan hangat itu kembali merajai hatinya kini saat menatap ferdy. Hangat dan menenangkan. Namun ini semua bukan akhir dari perjalanan. Ini adalah awal dari segalanya. Awal dari kecupan mentari yang pernah tertahan di sudut pagi. Hidup memang penuh sejuta kejutan.
Yana bahkan tak pernah menyangka akan kembali lagi berdiri di hadapan altar mengucap janji sehidup semati dengan lelaki yang baru saja dikenalnya. Memang cinta saja tidak pernah cukup.
Kepercayaanlah yang membuat Yana berkata “iya” saat diajak menikah.
Menikah memang gampang, berumah tangga yang sulit. Dan Yana berharap disudut hatinya, Ferdy adalah pilihan yang tepat untuk membantunya menghadapi tiap kesulitan yang akan datang.
Tulisan kolaborasi Masya Ruhulessin dengan Aini

Minggu, 17 Maret 2013

Nyamuk Galau

Aku benciiiii jadi nyamuk, benci! Apa bedanya kami dengan Edward Cullen? Apa? Kenapa kami diperlakukan berbeda? Sedangkan kami hanya meminta sumbangan tidak lebih dari setetes dari darah mereka. Huff... Harusnya kaum manusia itu tidak perlu membenci kami dong! Okelah kami memang pembawa penyakit, tapi kalau mereka bisa menjaga lingkungan dan menjaga diri mereka tidak akan terkena penyakit yang kami bawa. Ishh.. Mereka bilang penyakit kami menular segala.

Aku nyamuk yang tak berdaya tapi aku tidak rela kalau mereka menyamaratakan dong. Tidak semua nyamuk itu pembawa penyakit. Kalau menuruti kata hatiku, aku pasti akan balas dendam. Untunglah akal sehatku menyadarkan, aku tidak mungkin balas dendam. 

Dasar manusia tidak seperti yang mereka katakan. Katanya nereka suka berbagi? Katanya baik hati? Ih pembohong. Kami memang mencuri, tapi jangan salahkan kami dong, bernegosiasi pasti bukan jalan keluar. Melihat kami berkeliaran saja para manusia sudah gemas dan mengayunkan raket raksasa pembunuh. Apakah mereka akan membiarkan kami bicara?

Aku mencari keberuntungan, aku mendekati seorang anak gadis kecil yang sedang asik bermain. Mungkin dia tidak akan membunuhku, aku hanya ingin meminta setetes darah yang ada di lengan montoknya itu. Ah aku tidak jahat kan? Pertanyaan yang mungkin tidak akan ada  yang menjawabnya karena aku sendirian bersama si gadis kecil itu.

Aku tersenyum saat menaruh monyongku, aroma manis darah segar telah tercium sebelum aku menancapkan jarum tajam. Aku menghitung sampai tiga dan mendengar jeritan gadis itu. Dasar cengeng, cuma begini saja menjerit. Aku menghisap dan menghisap sampai perutku menggelembung, tak sanggup terbang tinggi. Aku hanya terduduk dibantal sebelah anak itu, yang sudah asyik bermain lagi. Aku hanya ingin beristirahat menikmati kemenangan yang jarang teman-temanku alami.
Mungkin aku tertidur nyenyak hingga aku terkaget saat seseorang menarik bantal. Aku ingin terbang, tapi sayapku tak sanggup aku kepakkan. Aku menatap ngeri menyaksikan sesosok tangan raksasa mengayun kearahku. Aku menjerit tapi jeritanku hanya bisa terdengar ditelingaku sendiri. Aku hanya bisa meratap dan berdoa, semoga sahabat-sahabatku tidak mengikuti jejakku.

Jumat, 15 Maret 2013

Setelah Senja


Sudah tiga puluh menit berlalu, bis yang sedari tadi kutunggu satu pun belum juga terlihat. Seluruh tubuhku sudah letih rasanya. Hari ini aku banyak bertemu klien dan masing-masing dari mereka berlokasi berjauhan. Seharian menyetir dari ujung timur kota menuju utara kota lalu berputar kembali ke kantor yang letaknya di timur untuk mengambil keperluan pemotretan yang tertinggal dan terakhir harus ke bagian selatan kota yang sangat macet. Beruntung aku memiliki stamina yang baik sehingga tak terlalu kelelahan saat siang tadi. Hanya saja kemudian aku tak sanggup lagi ketika mobilku mengalami mogok dan menyebabkanku harus mencari bis yang tercepat.
Halte tempatku menunggu bis mulai agak sepi karena memang hari sudah begitu malam, taksi pun tak ada yang kosong di jam seperti ini. Ah, Tuhan sedang mencandaiku sepertinya. Kumainkan kamera pribadiku untuk menghilangkan kejenuhan. Mencoba mencari objek menarik yang mungkin saja dapat aku abadikan. Di ujung halte di bawah tangga jembatan penyebrangan kameraku menangkap objek yang sangat menarik. Seorang perempuan dengan rambut terikat dan tas ransel di punggungnya yang kurus. Dia tak memperhatikan sekelilingnya karena ia terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di smartphone yang berwarna sangat mencolok.
Aku melangkah dalam kesendirian. Mencari alamat sepupu jauhku yang sudah lama tak pernah kunjungi adalah tujuan utamaku saat ini.  Perjalanan yang seharusnya aku lakukan dengan temanku terpaksa harus aku lakukan sendiri. Temanku membatalkan pada detik-detik terakhir keberangkatan. Aku yang sudah terlanjur membeli tiket dan semua kebutuhan traveling pertamaku tak mungkin membatalkan. Seperti gadis pada umumnya, ketakutan merasukiku. Apalagi malam sudah sedari tadi menampakkan wajahnya. Aku tetap tak berhenti menghubungi temanku, tapi sepertinya dia sedang melarikan diri atau sedang tak ingin kuganggu. Memang sesiangan tadi aku mencerca karena membatalkan janji. Namun saat ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk menjelaskan arah mana yang terdekat. Aku tersesat di kota orang. Aku masih menunduk sambil berjalan ke halte terdekat.

Ransel berat dipunggungku sudah tak kurasakan lagi. Euphoria perjalanan pertama pun sudah menguap sejak tadi. Harusnya dari bandara tadi aku naik taksi dan langsung menuju rumah sepupuku saja. Rutukku menyesali kecerobohanku yang dengan santainya menaiki bis damri. Dan terdamparlah aku disini, di kota besar yang begitu ramai. Semestinya aku tak perlu merasa khawatir tersesat karena banyak orang-orang di sekitar yang mungkin dapat ku tanya tentang alamat yang kucari. Namun tetap saja aku merasa cemas jika mereka tak sebaik yang kuduga.

Aku melangkah dan mataku silau oleh kilatan. Aku sempat mematung dan ingin berteriak. Mana mungkin langit malam yang sangat bersih seperti ini ada kilat. Mataku bertemu dengan mata seseorang. Salah, bukan mata seseorang, tapi lensa kamera. Aku termenung sebelum kupercepat langkahku. Enak saja mengambil foto orang tanpa ijin. Aku berlari mendekati sesosok pria yang masih mengintipku lewat kamera.

Perempuan yang ternyata berwajah sangat manis itu tiba-tiba saja menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat terkejut dan kebingungan. Dia baru saja menyadari kalau aku sedang mengambil gambar dirinya tanpa ijin. Kuturunkan kamera dari depan wajahku dan melihat dia berjalan dengan sedikit berlari ke arahku. Pasti ia akan mendamprat kekurangajaranku memotretnya secara diam-diam. Aku tertawa dalam hati memperhatikannya yang setengah berlari dengan tas ransel besar itu. Tubuhnya yang kurus kecil itu ternyata kuat memanggul beban yang berat itu.
Aku masih ingin berlari secepatnya kearah pria itu sebelum dia berlari meninggalkan tempatnya. Tapi kemudian lariku mulai melambat, langkahku yang sedikit kuseret karena beban yang kugendong sedikit menghambat. Aku melihat seorang pria yang kini sudah menurunkan kamera dan menahan senyum. Aku mengibaskan kepalaku dan mengusir senyum menawan itu. Niat awal untuk menegur dan mengomel menguap. Otakku langsung bekerja sembari kakiku melangkah. Ini mungkin pertolongan Tuhan yang dikirim saat ini.

Beberapa langkah lagi tubuhku menggapai sosok pria itu, namun aku menghentikan langkah dan memandang sosoknya yang bisa dikatakan sangat tampan dengan senyum menggoda yang membuatku susah berkonsentrasi. Kukibaskan kepalaku lagi dengan kekuatan penuh hingga ekor kudaku mengayun dan mengenai pipiku. Aku melangkah mendekatinya.

Aku memang ingin meminta bantuannya dan mengharapkan dia bukan salah satu penjahat yang berkeliaran di kota ini. Setelah kupikir-pikir mana ada penjahat dengan penampilan keren dan berwajah tampan. Aku berharap dia malaikat penjaga yang Tuhan kirimkan untuk menolongku. Tapi aku tidak mungkin bersifat manis kan? Meskipun dia sangat aku butuhkan tapi aku tetap harus menegur kekurangajarannya. Aku berdebat dengan hati kecilku sebelum keputusan kuambil. Aku berdiri dihadapannya dan menantang dengan berani. Senyum masih tersungging di bibirnya. Uh…senyum sejuta pesona. Batinku menyoraki keindahan yang terpampang dihatadapnku.

Apa yang lebih indah dari memperhatikan perempuan berwajah manis yang kini sudah berdiri di depanku dan menantang senyum yang masih menggantung di bibirku? Dia bahkan tak dapat menutupi manis wajahnya dengan sikapnya yang dibuat seolah marah padaku. Kamu terlalu cantik dan manis untuk cemberut seperti itu, sayang.
“Hai,” sapaku dengan wajah tetap tersenyum.
“Siapa yang memberimu ijin untuk memotretku?” jawabnya dengan suara yang dibuat seperti marah namun terdengar sangat merdu dan indah.
“Tidak ada. Aku hanya ingin mengabadikan ciptaan Tuhan yang begitu indah.” aku tersenyum dan menatap matanya yang tidak bulat itu.
Ada gestur malu-malu dan salah tingkah dari bahasa tubuhnya. Sepertinya ia telah melupakan rasa marahnya.
Aku memang gadis yang naïf, mendengar ucapan pria yang tidak kukenal sama sekali itu bukannya marah malah membuat pipiku merona. Dasar diriku tidak bisa di ajak kompromi. Lagi-lagi aku memaki diri sendiri. Mendengar sapaannya yang penuh keramahan dan senyum yang tersungging itu sungguh membuat aku luluh dan lupa untuk memakinya. Bahkan aku menjadi gelagapan.

“Mas, eh Kak.” Kataku dengan kebingungan yang tak bisa aku tutupi lagi. Sebagai gadis jawa memanggil seorang pria dengan kata ‘Mas’ sudah biasa, tapi aku merasa dia tidak cocok jika aku panggil dengan sebutan itu bahkan sepertinya aneh dilidahku. Setelah kemarahan itu hilang aku menjadi gadis dungu dihadapannya. Tapi tunggu! Bukan berarti aku harus begini kan? Sudah berapa kali aku berdialog dengan hatiku dalam diam tentang pria yang tak kukenal itu.

“Kak,” kuberanikan lagi memanggil dirinya. Aku sudah tidak merasa takut lagi kalau dia penjahat. Aku sudah kelelahan dan ingin menemukan alamat sepupuku  karena  malam begitu cepat berlari sedang aku sudah benar-benar butuh beristirahat. Sial, pria ini bukannya langsung menjawab pertanyaanku dan membiarkan aku berlalu, dia malah seperti sengaja mengulur waktu. Sial sial sial! Jeritku dalam hati. Bukan tidak suka,tapi aku mulai gentar dan takut terpesona melihat senyumannya itu. Gila saja! Ini bukan kisah dalam sebuah novel ya! Aku merutuki dan mengomel lagi. Aku selalu berdialog dengan diriku sendiri, semoga dia tidak menggapku aneh karena sering mengibaskan kepala.

“Kak?” aku terperangah dengan sapaannya padaku. Di kota seperti ini masih ada orang yang memanggil dengan sebutan ‘Kak’. Entah sudah berapa abad tak ada yang memanggilku seperti itu.
“Kenapa?” dengan mimik wajah yang sangat lucu ia balik bertanya padaku.
“Kamu tahu, cantik, kamu itu lucu dan antik,”
Hampir saja aku tertawa terbahak-bahak jika saja aku tak mencuri lihat wajahnya yang berubah menjadi merah muda.
“Antik?!” si kuncir kuda yang imut itu nampak kesal sekali padaku. Wajahnya yang putih dan halus itu sudah benar-benar berubah warna menjadi merah muda dan itu sungguh membuatku tak dapat menahan tawa yang sedari tadi sudah kutahan.
“Kenapa sih Kak kok tertawa sendiri?” Aku berkata sambil memanyunkan mulutku. Kesal rasanya pria itu mentertawakanku. Apanya yang lucu coba? Tadi memotretku lalu tersenyum, sekarang malah menyebutku antik. Dia pikir aku sebuah barang tua yang aneh dan berdebu? Dasar otak udang.

“Mau menjawab tidak?” Aku bertanya lagi kepadanya.
Sudah terlanjur, kalau aku pergi pun belum tentu akan menemukan orang baik yang bersedia membantuku. Dia masih tertawa dan membungkuk tapi suaranya tetap pecah. Aku ingin menimpuknya dengan barangku yang super berat ini andai dia tidak segera menghentikan tawanya. Dia menatapku lagi dan membuatku merona. Kutepuk pipiku dengan tangan dan membuat dia tersenyum lagi.

“Sekali lagi tertawa dan tersenyum saya akan teriak kalau kakak pencuri!” Ancamku yang membuat dia menyerngit sebelum menjawab pertanyaanku tentang alamat yang kucari.

“Oke, oke. Semalam ini kamu bertanya pada orang asing mengenai sebuah alamat di kota yang sama sekali kamu tahu. Kalau aku orang jahat bagaimana?”
Dia tampak terkejut. Aku menahan senyum. “Aku terlihat jahat tidak?”
Ia menggelengkan kepalanya, sekali lagi kuncir rambutnya ikut bergoyang.
Aku hentikan sebuah taksi kosong berwarna biru dengan logo burung sebagai ciri khasnya. Tanpa berbicara langsung saja kutarik tangannya dan mendorongnya pelan masuk ke dalam taksi. Dia sedikit memberontak dengan tindakanku ini, pasti yang ada di pikirannya sekarang adalah aku orang jahat yang akan menculiknya.
Tiba-tiba saja sebelum aku menyadari apa yang terjadi, dia menarik tanganku dan mendorongku masuk ke dalam sebuah taksi. Aku memberontak dan berusaha untuk keluar lagi. Dia menahan tubuhku dengan tangannya dan tertawa.

Ah, gila! Apa-apaan ini maksudnya? Apakah dia sedang berusaha menculikku dan akan membawaku kabur entah kemana yang aku tak tahu tempatnya? Oh, Tuhan, harusnya aku tadi tidak begitu saja menemui dan bertanya padanya. Dia pasti akan berbuat jahat padaku dan sekarang aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Segala pikiran buruk berkecamuk di kepalaku dan berbagai scenario kejahatan mulai bermunculan dengan sangat derasnya. Aku diserang oleh ketakutan pikiranku sendiri. Dan lagi-lagi tanpa kusadari, aku berteriak kencang di dalam taksi yang sedang melaju di sebuah jalan tol yang sudah mulai sepi. “TIDAAK!”

Tiba-tiba perempuan kecil itu berteriak sangat kencang. Taksi yang kami tumpangi mendadak berhenti ke pinggir jalan tol, untung saja sopir taksi tidak terlalu cepat mengendarai taksi tersebut sehingga tidak membuat kami mengalami kecelakaan.
“Hey, kenapa kamu berteriak seperti itu sih?”
Ya ampun, ternyata tadi itu aku sungguh-sungguh berteriak, aku pikir teriakan itu hanya ada di pikiranku saja. Malu yang teramat sangat langsung menghinggapiku dan aku merasa wajahku ini entah sudah berwarna seperti apa. Aku langsung terdiam dan memeluk tas ranselku yang kutaruh di pahaku. Samar kudengar sopir taksi berbicara dengan pria itu yang kemudian membuatnya melanjutkan laju mobil taksinya. Pria itu menoleh ke arahku yang terduduk tepat di sebelahnya. Aku masih saja terdiam dan merasa sangat bodoh sekali.
“Aku tidak akan menculikmu, kalau kamu ingin tahu,” aku menoleh padanya dan melihatnya terdiam sambil memeluk tas ransel birunya itu. “Aku ingin mengantarmu ke alamat yang kamu tanyakan tadi. Kebetulan aku hapal daerah itu,” lanjutku.
“Maaf, aku hanya merasa takut,” dengan suara yang lemah aku meminta maaf padanya
“Takut? Memang wajah gantengku ini mirip penjahat yah?” aku mencandainya, dia memperhatikanku, lalu kemudian tawa kami berdua pecah di dalam taksi yang mulai melaju cepat.
Perempuan  kurus itu kemudian mengoceh tidak jelas panjang lebar, meminta maaf lagi, berbicara tentang suara-suara di pikirannya dan teriakan yang sangat tidak ia sangka akan keluar dari mulutnya. Aku baru menyadari kalau ternyata dia begitu cerewetnya. Perempuan yang sangat unik namun begitu cantik. Dari obrolan kami, aku mengetahui kalau namanya adalah Diva Prameswari. Nama yang cantik secantik wajahnya. Aku tersenyum setiap kali menyebut namanya dalam hati. Tuhan ternyata begitu baik menghapuskan lelahku hari ini dengan pertemuan tak sengaja dengan Diva. Semoga setelah ini dia tidak akan memarahiku lagi jika aku tiba-tiba mendatanginya di rumah sepupunya itu.
Ternyata dia pria yang baik. Maksudku pria tampan dengan senyum mematikan yang sangat baik. Namanya pun terdengar tampan dan gagah, Aryo Dava Wiguna. Aku baru menyadari ternyata nama kami terdengar mirip Dava- Diva. Ah, kebetulan sekali, suatu kebetulan yang menyenangkan. Entah mengapa setelah pembicaraan kami -oke, maksudku pembicaraan yang didominasi olehku- aku merasakan kenyamanan yang tidak bisa aku jelaskan. Tuhan mungkin sedang mencandaiku dengan teramat manis melalui pertemuanku dengannya, dan semoga pertemuan ini tak akan berakhir setelah aku turun dari taksi ini saja.
Tulisan Kolaborasi dengan Shafira

( Bukan ) Mimpi


Wow...itu adalah kata pertama yang saya lontarkan saat partner saya meminta data diri saya. Partner saya Indah Lestari memberi kabar kalau duet yang kita buat akan dibukukan.
Sumpah, bermimpi pun tidak, tulisan saya dan partner menjadi salah satu yang terpilih masuk ke dalam Buku Kolaborasi ini. Maklum saja saya bahkan tidak mengikuti  #AWeekofCollaboration dari awal. Kalau nama saya masuk dalam daftar terbit buku, orang pertama yang saya harus ucapkan terimakasih selain penyelenggara  ( Mas Teguh, Mba Wulan, Mba Juzzyoke ) tentu adalah patner saya, tanpa kamu mungkin saya tidak ketiban hoki.
Dan kedua, dia adalah pria baik hati yang selama 3 tahun menjadi teman saya. Suka ataupun tidak dia telah saya paksa menjadi teman. Iya Ijul,°\(^^)/° akhirnya nama kita di satu buku Jul, tidak kamu sangka kan? Iya kan? Pagi pagi di mention Ijul dan diajak ikutan #AWeekofCollaboration. Ketika jujur saja saya tidak tahu apa maksudnya tapi saya pun menanggapi dengan candaan. Saya tanya, sama kamu? Dan dijawab iya. Saya pikir Ijul serius mengajak saya nulis duet, ah ternyata Ijul melarikan diri. Calon patner saya melarikan diri *emote senderan tembok.* bercanda Jul... Jadi yang benar Ijul masih sibuk dan berjanji nanti akan duet ( Aku tetap berharap bisa duet loh ).

Saya melewatkan tema pertama itu dan hari kedua pun saya melewatkannya lagi. Untuk meminta teman jadi partner saya sungguh tidak berani, saya tahu saya tidak bisa menulis bagus jadilah saya hanya menunggu yang akan mengajak saya.
Ketika Indah Lestari sedang mencari patner, saya pun membalasnya ternyata dia serius dan kami menjadi partner. Saya sadar tulisan saya kalah dibandingkan dengan Indah, tapi saya percaya dia tulus membantu saya bahkan mengedit tulisan saya yang sering tidak konsisten itu. Indah menjadi partner saya menulis di beberapa cerita dan tema bahkan sesudah #AWeekofCollaboration selesai. Saya mendapat sahabat baru yang setiap hari saya recoki dengan celotehan saya yang menyebalkan ini.

Saya juga duet dengan Diediet. Ah, Diediet mengajak nulis horror. Bisa dibayangkan ketakutan saya pada saat itu, saya yang penakut dan tidak pernah tertarik untuk membaca cerita horror malah diajak menuliskannya. Tapi Diediet seperti memberikan tantangan kepada saya, saya iyakan saja, kapan lagi saya nulis horror kalau tidak sekarang. Hasilnya bisa anda baca di Pesta Untuk Rahmat.

Teman duet saya yang ke-3 adalah Pagita. Biarkan saya tertawa sebentar. Kalau mengingat proses penulisan Sepuluh Purnama ini mau tidak mau angan melayang. Disaat semangat sekali menulis, saya ditinggal begitu saja sama Pagita. Sedih, berfikir apa saya partner yang buruk? Hari berikutnya tulisan kami akhirnya selesai juga tapi Pagita menghilang kembali. Saya edit sebisanya dan saya kirim ke emailnya, bahkan saya pasrahkan ke Pagita terserah mau disertakan atau tidak ternyata ah malah masuk ke dalam salah satu buku kolaborasi. Senang *cubitcubit Pagita*.

Teman duet saya yang terakir Beni. Beni ini menjadi teman duet saya pertama yang cowok. Kesannya seru sama Beni. Ben katanya mau nulis duet lagi? Kapan? Aku nungguin loh.

Begitulah, meskipun even #AWeekofCollaboration  ini hanya seminggu membuat saya tersenyum dan bahagia. Selain mimpi nama di cetak di buku saya mendapatkan beberapa teman, bahkan Indah menjadi sahabat baru. Di tunggu kiriman mas Jong Kook nya partnerku sayaaaaang.

Kamis, 14 Maret 2013

Cicik itu Aku


Cicik Ai,ci Ai,cicik cicik...tidak diragukan lagi pasti aku akan menyahut dan membalas sapaan itu. Iya sebutan itu melekat padaku hampir setahun ini. Apakah aku memang keturunan Cina? Oh tentu tidak,aku hanya pernah pacaran dengan cowok Taiwan,sebut saja dia Ken Zhu,kenal Ken Zhu kan? Semoga kalian kenal,karena mas Cull,Ojie dan siapa lah itu tidak mengenal Ken ( Terlalu ),sepuluh tahun masa bersama membuatku mempelajari bahasa Chinese di awal awal kita bersama (sekarang sih sudah lupa ). Setelah pisahan aku pun tetap menyukai negara itu,buktinya aku suka nonton film dan denger lagu lagunya kok. Ah andai aku masih bersama Ken,pasti dia bangga sama aku ( kumat e ora uwes uwes ) .

 Sebutan cicik itu dilontarkan member Travel Troopers ,kalau aku tidak salah ingat adalah dokter Husni,iyaaa ! dokter yang sering jadi tokoh cerita fiksi hayal nan gila bikinanku itu. Waktu itu dokter Husni masih galak dan memanggil aku nomer pin. Dan mas Cull pun selalu memanggil begitu juga bahkan beberapa member pun ikut ikutan memanggil nomer pin. Nah pada suatu waktu lagi boming VN ( voice note ), tau dong suaraku itu kalau nyanyi semut saja sampai lari lari berhamburan,sakit telinga mereka,dan kalau sudah marah mereka main kroyok saja ga gentleman banget tuh semut,beraninya keroyokan.

Nah karena semua member,ah ga semua pokoknya sebagian besar member sudah mengirim VN jadilah diriku harus wajib membuat juga. Malu iya,maluuuu banget,aku tidak mengingat lagu satupun seperti mereka suara yang merdu. Achid,Chibi F,Dini,Emil,Mas Harry,Ojie,Antho ,Sony sura mereka bikin merinding.
Achid yang lembut,Dini yang ceria,mas Harry yang nembang menentramkan jiwa,Sony yang menggelegar membuatku tambah mencari alasan untuk alfa dari kirim VN. Tapi cowok yang namanya Husni benar benar meneror ku,memaksa aku dan mengancam ku untuk menyanyi,bahkan Dini tidak mengirimi aku VN kalau aku tidak nyanyi dulu.
Terpaksa demi menjadi teman mereka selamanya aku menyanyikan lagu Tong Hua,sebenarnya karena kalau lagu itu pasti aku enjoy secara hampir hapal.liriknya. Tidak ada alasan khusus selain,kalau nyanyi lagu mandarin meskipun suara lari lari ga jelas nadanya, mereka tidak akan tahu,jadi aku terhindar dari hinaan dan cercaan karena keder.
Nah aku kirim lagu itu,deg-dengan,sumpah ! Mirip kontes idol aja deg-degannya,aku kirim dan...ah ah,langsung heboh,memanggil aku cici Aini. Setelah itu beberapa kali VN nyanyi lagu mandarin.
Pernah bilang,aku orang jawa ,kulit coklat lo, dan aku pikir panggilan itu akan hilang dariku setelah ketemu member TrTr,ternyata tidak. Tidak peduli bentukku seperti apa ,mereka tetap setia memanggil cicik. Itu mengapa panggilan cicik melekat pada diriku dan beberapa member yang tidak tau kisah awal pun akhirnya ikut memanggil cicik. Senengnya mempunyai panggilan kesayangan dari mereka. Peluk peluk semua. Terima kasih  akhirnya panggilan cicik ini permanen melekat dan terimakasih ,persahabatan ini sungguh indah teman ,sungguh membuatku menikmati hari hari,semoga selalu bersama dan semoga aku bisa ikut travelling kalian semua.
Aku sayaaaaang kaliaaaan .

Selasa, 12 Maret 2013

Kenanganmu


“Kenapa kamu sayang aku?”
“Kamu kenapa sayang aku?”
Pertanyaan itu, aku mengingatnya selalu. Ketika aku dengan segala perasaan sayangku mencemburuimu dan ketika kecemburuanku sedikit meragukanmu. Padahal jelas-jelas aku tahu, kau tak pernah sedikitpun ingin menyakitiku. Memang aku saja yang mungkin terlalu takut kau membagi perhatian kepada hati yang lain. Kau terlalu baik padaku. Menyayangiku tanpa peduli siapa aku. Kau tak pernah mencemburuiku. Kau juga tak pernah sedikitpun meragukanku. Kau bahkan terlalu percaya padaku. Kau menyayangiku tanpa mengeluh. Harusnya aku pun begitu.
Tapi sifatmu itu membuatku sedikit jengkel. Aku takut akan banyak hati yang menyalahkan arti kebaikanmu. Senyummu itu kadang membuat hati bergetar tak menentu. Aku tak ingin berbagi itu semua. Tak ingin. Aku sungguh egois dan keegoisanku membuatmu sedikit menjauh. Tak bisa disalahkan bila kini kau merasa tak nyaman lagi. Kemanjaanku tak sama lagi seperti dulu. Adakalanya kecemburuanku membuatmu hanya mematung.
Aku selalu ingin pergi menjauh darimu. Melupakan segala perasaanku padamu. Bukan karena aku tak menyayangimu lagi tapi karena aku takut kau takut dengan semua rasa sayangku.
Dan pagi ini pun kini tak sama lagi. Aku dan diriku disini bersembunyi bersama sunyinya hati mencoba menjadi waras dalam kenyataan. Hal yang tak biasa aku lakukan pun kini kujejali pada hatiku. Secangkir teh sereh kesukaanmu yang selalu ingin kau sajikan padaku kini menyesap masuk diantara kecap lidahku. Rasa tawar dan pahit seperti menggambarkan perasaanku. Seperti inikah perasaan yang melesat pergi dan berubah? Kau begitu tulus menyayangiku dan aku berlari menghilang darimu.
Aku sengaja meninggalkan kota meninggalkan kenangan bersamamu yang aku tahu pasti tak mungkin dapat kuhilangkan. Kenangan yang pernah kita rajut menjadi kisah cinta yang bahkan Adam dan Hawa pun akan berdetak kagum. Membuat Romie dan Juliet akan menatap iri karena kisah yang kita rajut sungguh indah. Tapi semua itu menguap dan lenyap. Aku berlari dan meninggalkan kepedihan buhan hanya pada hatimu, tapi hatiku pun tak luput. Teh sereh dan sepotong cakwe membuatku mengenang kisah ini kembali.
Kulangkahkan kaki menyusuri jalan setapak. Tak ingin semua bayanganmu membuatku terluka. Aku masih mencintaimu. Itu selalu kau ucapkan dan kau teriakkan ditelingaku. Aku mendengarnya jelas hingga kini. Mengapa rasa ini begitu sulit untuk dilupakan, padahal diantara kita tak pernah benar-benar ada tali pengikat. Kamu dan rasamu, aku dan rasaku. Pun ketika peluk melingkari dan bibir menjejaki garis sabit yang kau beri.
Aku dan kamu pernah saling cinta. Dulu. Walau tanpa ikrar dan kata-kata pengikat. Bahkan tanpa manisnya kalimat-kalimat yang kau ramu dan olah.
Andai kau tahu aku tak sesempurna harapmu. Andai juga kau tahu hanya engkau yang mampu menyempurnakanku. Andai aku bisa diberi satu kali waktu untuk menarik kembali apa yang terjadi akan kulakukan lagi semua mimpi ini denganmu lagi. Namun realita selalu tak mau kalah, dia tak menggunakan rasa, hanya ada logika yang nyata.
Aku dan kamu dipertemukan takdir dan dipisahkan pula oleh takdir. Aku dan kamu bertemu tanpa pernah berpikir, semua semu. Dunia tanpa nama dan rupa hanya ada maya. Tapi aku selalu mempercayai kau nyata. Cinta tumbuh tanpa pernah aku sadari dan tanpa kamu sangka. Aku mencintaimu dengan keegoisanku yang tak lagi bisa kuingkari.
Pertemuan pertama yang kini kukenang lagi. Aku tersenyum saat kau memperkenalkan dirimu. Aku tersenyum malu dan tertunduk meskipun bibirku bergetar dan pipiku bersemu. Ah pertemuan pertama kita di sebuah halte Transjakarta. Aku jatuh cinta dan aku merasa cinta pun tumbuh dihatimu.
Kumainkan penjepit di rambutku yang sebahu. Dengan tergesa-gesa aku dan kamu melangkah. Bedesak-desakan diantara lautan manusia. Aku tidak melihat, tidak juga mendengar. Hanya kau seorang yang berada di hadapku. Aku terhenyak. Ini hanya khayalku semata, tentangmu.
Apa yang kau lakukan kini? Apakah kau masih merinduiku? Apakah kau masih merasakan marah kepada dirimu? Aku baik saja disini, menghukum diri karena kebodohan yang terjadi.
Kau, seperti pelangi yang selalu menghiasi hati. Tahukah kau betapa aku ingin menemuimu kembali? Mendekatkan kembali jarak dan waktu yang kubuat dulu. Ingin sekali lagi menatap mata dan melihat senyummu kembali.
Ah, lagi-lagi aku hanya bisa menyesali segala keegoisanku. Aku menyesali kenapa aku begitu merindukanmu. Aku merindukan dirimu! Teriakku dalam hati . Kau memberikan selamat atas cinta lain yang singgah dihatiku. Bodohnya aku dengan manja mengatakan aku tak sudi cinta itu. Aku mencintaimu. Aku menyayangimu. Aku merindukanmu. Dan masih mengharapkanmu menemaniku. Aku kangen nyata dirimu.
Tulisan Kolaborasi dengan Shafira Meuthia http://meutiashafira.wordpress.com/author/meutiashafira/

Cinta Dalam Kata


Aku mungkin tak mengingat pasti kapan ketika Tuhan mempertemukan kita. Tapi aku tahu pasti bagaimana Ia membuatku menemukanmu diantara jutaan nama dalam dunia maya. Ketika suatu hari di sebuah pagi kita para penggiat social media baru saja membagikan berbagai status dari masing-masing identitasnya.
Mereka berlomba-lomba saling bercerita pada sebuah kotak yang hanya memuat seratus empat puluh karakter saja. Aku ingat ketika itu kau ikut menjawab satu pertanyaanku tentang salah satu berita yang menjadi pembicaraan di linimasa. Tak ada satupun reaksi berlebihan dariku dan dirimu saat itu. Kita hanya saling berdiskusi dan berbicara. Lalu janjimu kemudian akan membahasnya dalam laman blog yang kau punya. Aku tak menantikannya sama sekali, bahkan tak mengingat apapun janjimu ketika itu. Hingga sebuah tautan link bersama mention seorang kawan terkirim ke dalam linimasaku.
Aku sempat terkejut tapi tak urung bibirku tersenyum. Tak pernah terpikirkan dihati, aku merindukan debat yang beberapa waktu kita lakukan. Debat dengan beberapa teman tapi hanya dirimu yang terlihat begitu antusias. Aku membalas beberapa kata dan kamu dengan kecerdikanmu membuatku semakin membalas dan membuatku tak berkutik menyerah. Bukan, bukan antara menang dan kalah. Bukan juga antara siapa yang lebih cerdas, ini hanya menyerah karena kehabisan kata-kata. Aku mengingat jelas tawa yang tertulis itu, membayangkanmu tertawa terbahak-bahak di sana membuatku tak urung meringis geli. Aku pun akhirnya tak kuasa tertawa lepas di sini. Ah, hanya sebaris kata membuat aku mengenalmu. Membuat aku menjadikan kamu teman yang menyenangkan.
Iya, teman yang sangat menyenangkan. Setidaknya itulah yang kurasakan kala itu. Kemudian obrolan-obrolan kita berlanjut sesekali melalui sebuah kolom mention. Tak ada yang istimewa. Hanya sapaan ringan dan saling bertukar cerita saja. Selanjutnya semua pastilah takdir yang Tuhan tuliskan padaku. Aku mulai tergelitik mencari tahu siapa sebenarnya pemilik sebuah akun tanpa gambar citra yang sesungguhnya itu. Kutelusuri semua yang berkaitan dengan dirimu. Paman google membantu semua pencarianku. The Power of Googling, kataku.
Dan malam itu seluruh dunia seperti berkonspirasi kepadaku. Semua keyword yang kugunakan untuk mencarimu membuahkan banyak hasil, yang kemudian membuatku kembali tergugu di depan halaman blogmu. Membaca satu persatu goresan tulisan hasil buah pikiranmu. Semua detil cerita yang kau bagikan disana terkadang membuatku tertawa atau menitikkan air mata. Layaknya hujan yang turun deras, tulisanmu pun begitu deras memenuhi kalbuku menimbulkan berbagai inspirasi, memaksaku berimajinasi dan kemudian membuatku memberanikan diri menulis sedikit tentangmu.
Seperti yang aku bilang, aku sedikit saja memiliki keberanian menulis tentangmu. Tentang kepribadian dan siapa kamu dari kesimpulanku sendiri. Tentunya ini hanya menebak, tapi aku meyakini apa yang aku pikirkan tentangmu pasti benar adanya. Kamu seorang yang jujur, pemberani, suka membaca, menulis sudah pasti karena blog pribadimu tidak pernah sepi dan kamu seorang yang sedikit moody. Ah itu dia, aku harus pandai-pandai bergaul denganmu, sifatmu yanh seperti itu sungguh menjengkelkanku. Namun aku sudah terlanjur menyukaimu sabagai teman baruku. Kutulis lagi tentangmu dan sedikit terperanjat dengan kesimpulanku sendiri. Aku seperti telah mengenalmu dengan nyata. Aku ingin merengkuhmu di kala kamu menghadapi derita. Aku ingin mendekapmu di saat kamu merasa bahagia. Apakah aku jatuh cinta pada sosok yang aku ciptakan tentangmu?
Sepertinya memang bukan kepada sosok tokoh itu aku jatuh cinta, namun kepadamu yang merupakan inspirasi ketika aku mulai bercerita dan menuliskannya pada sebuah catatan di smartphone kesayanganku. Cinta memang tak pernah diketahui kapan datangnya. Begitupun kita tak pernah tahu kapan tepatnya sebuah cinta jatuh kepada diri kita.
Aku jatuh cinta pada goresan kata yang kau buat. Membacanya lekat-lekat setiap saat. Sedikitpun tak pernah membuatku bosan. Aku jatuh cinta sejak kalimat pertama pada sebuah tulisanmu dan kemudian tumbuh membesar tidak hanya kali itu saja, namun terus menerus hingga kalimat-kalimat balasan untuk tulisanmu juga ku rangkaikan.
Mungkin akan kubiarkan saja cinta ini mengalir dalam diriku saja. Biar aku saja yang jatuh cinta, kamu tak perlu mengetahuinya. Biarkan citra yang terbayang dalam anganmu adalah aku seorang teman yang menyenangkan, tak perlu kau tahu apa yang aku rasakan. Sehingga aku dapat mencintaimu terus dalam diamku tanpa rasa cemburu kepada semua yang mengagumimu.
Karena aku takut kehilangan sosokmu yang begitu menenangkan dan memberikan kedamaian. Biarkan hanya aku yang merasakan cinta itu, sehingga aku dapat terus membaca dan meresapi segala tulisanmu tanpa curiga berlebihan. Iya, aku jatuh cinta. Cinta pada rangkaian kata dan sosokmu yang ingin kulihat nyata. Namun cukuplah aku saja yang mencinta, karena aku tak ingin membuatmu menderita karena cinta yang buta.
Aku mencintaimu. Mencintaimu dalam diam, mengagumimu dan mulai tidak ingin kehilanganmu. Aku merasakan perasaan ini seorang diri dan tak ingin berbagi. Tidak mungkin kenyataan semanis ini. Tuhan tidak ingin segala hanya manis saja bukan? Aku mulai mencemburuimu kala ada sosok lain yang memujamu secara nyata. Aku mulai merutuki mereka yang memuji keberanian dan kecerdasanmu. Aku mulai terusik dengan kenyataan yang menakutkan. Aku takut kamu menghilang dan meninggalkan aku. Aku mulai berbagai cara bersifat manja kepadamu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku mulai mengharapkan balasan perasaan itu. Entahlah aku mulai kecanduan akan kehadiranmu disisiku, dihariku yang aku rasa mulai hampa. Aku menceritakan hari-hariku berharap kamu ikut merasakan semuanya. Aku memandang potret yang terpampang di blog pribadimu. Sungguh senyum itu membuat aku ingin berlari mengejarmu.
Setelah sekian lama, Tuhan seperti memberi jalan kepada kita. Pertemuan yang menjadi impianku pun akan menjadi nyata. Aku membaca dengan jelas apa yang kamu tulis, kamu akan bertolak ke Kota dimana aku kini tinggal. Aku tahu kamu bukanlah sengaja ingin menemuiku. Aku juga tahu kamu ke kota ini pun mungkin tanpa mengetahui keberadaanku. Aku memberanikan diri untuk mengundangmu menikmati senja. Aku tak tahu apa jawabmu. Kamu menghilang tanpa terlihat lagi. Aku tidak tahu yang ada dihatimu kini tentangku. Sesosok asingkah atau sesosok nyata yang pantas berdiri disisimu.
Ah, aku sebenarnya tak mau peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Biar saja terserah apapun pendapatmu, apakah kau menganggapku sosok yang kemudian menjadi lebih dekat atau malah ingin kau jauhi saja. Sehari setelah undanganku, akhirnya aku menemuimu. Pertemuan yang tak terlupakan itu, aku bahkan dapat menghitung berapa waktu yang kita miliki di hari itu. Entahlah, aku begitu merasakan kebahagiaan yang tak terkira ketika akhirnya bertemu denganmu. Dan aku hampir saja menangis ketika senja datang terlalu cepat dan memaksa aku dan kau berpisah. Aku mencoba untuk lupa bahwa waktu telah bergulir mengejarku begitu rupa dan perjumpaan antara kita akan segera mereda.
Aku tak tahu mengapa Tuhan masih memberikan aku segala ingatan tentangmu. Setelah pertemuan itu aku begitu takut untuk tetap melaju bersamamu. Kututupi semua harapan padamu, namun kenangan akan dirimu ketika itu tetap kokoh diam dalam ingatan. Raka Aria Wisesa, lafal namamu hingga kini pun tak berani kusebutkan. Kau kusimpan rapat dari dunia. Tak ingin mereka akhirnya tahu siapa kau yang telah membuatku terduduk menunggu.
Masih seperti dahulu, aku meyakini ini pastilah takdir yang membuatku jatuh cinta padamu dan tetap mengingatmu. Aku ingat saat kamu mengatakan perasaanmu padaku, aku sangat bahagia. Namun aku begitu takut, sungguh ketakutanku mungkin tak beralasan. Aku juga menyukaimu dan ingin mengenalmu lebih jauh kedepan. Tapi aku begitu pengecut untuk melangkah. Aku menerima perasaan diawal, aku memberi kesejukan akan hadirmu. Tapi tidak, mimpi itu tidaklah nyata. Aku tak ingin semua tentang kita musnah jika aku nekat melanjutkan langkah. Hatiku tak bisa melupakanmu.
Aku ingin tetap memilikimu selamanya, tapi haruskah semua khayalan ini berakhir? Aku tak ingin senyum manismu, tawa manjamu dan semua perasaanmu menguap diterjang angin kenyataan. Tidak aku tidak sanggup membayangkan semua itu. Aku hanya bisa memberimu luka tanpa kau sadari. Luka yang saat ini takkan membuatmu terlalu menderita selamanya. Aku hanya bisa menekan jejak cinta antara aku dan kamu. Aku mencintaimu. Mungkin perasaan cinta ini lebih dalam dan lebih menyakitkan, tapi aku tidaklah seberani dirimu.
Aku memandang semua jejak perasaan ini. Dengan semua luka yang ada di dada ini aku berjalan menjauh. Aku menderita membiarkanmu terluka dalam asa. Aku sungguh mengutuki hatiku yang membiarkan kamu terluka karena rasa. Maafkan aku, Shifa, aku hanya bisa menjadikanmu sahabat baikku. Sahabat sejatiku. Tak berani lebih dari itu.
Tulisan Kolaborasi dengan http://meutiashafira.wordpress.com/author/meutiashafira/
Share this: