Jumat, 01 Maret 2013

Hadiah Kejutan


Akhirnya, setelah berhari-hari Prama melakukan perjalanan menggunakan berbagai moda transportasi; kereta, kapal feri, dan bis sampai juga ia di kota tujuannya. Kali ini Prama ingin menunaikan janjinya kepada seseorang yang sudah lama ia nantikan. Seorang gadis cantik berwajah sendu dan ayu.
Perjalanan panjang dan melelahkan sedikitpun tak membuatnya menahan langkah untuk bertemu dan memberikan kejutan kepada gadis itu. Dalam benaknya, Prama melihat kebahagiaan dan suka cita yang akan tampak dari wajah cantiknya. Tak sabar sekali ia ingin segera meletakkan kedua kakinya dihadapan sang gadis.
Sudah lima tahun Prama meninggalkan kampung halamannya tapi kota ini rupanya tak mengikuti jejak Prama yang kini sudah moderen, kampungnya masih sepi dan asri. Matanya memandang kesegala penjuru, bibirnya tak berhenti tersenyum. Berbagai sekenario telah ia buat dan terpatri dibenaknya. Ah membayangkan pertemuan itu saja membuat hati Prama berbunga bunga dan kupu-kupu yang berterbangan di halaman para tetangga pun tak bisa mengalahkan kebahagiaan Prama.
Dikejahuan Prama melihat seorang gadis yang sedang menyapu halaman, wajahnya mendongak dan terkejut. Prama melihatnya membekap mulut sebelum berteriak kencang. “Mak abang pulang maaak.”
Gadis itu berlari ke dalam rumah sambil terus menyerukan kebahagiaan. Prama lagi-lagi tersenyum melihatnya. Bahagia dan senang luar biasa melihat tingkah laku gadis cantik itu. Ya, memang sudah lama sekali ia tak melihat segala keceriaan yang berada di balik rumah ini. Lima tahun yang lalu saat ia meninggalkan kota kecilnya gadis itu masih begitu kecil. Sungguh, Prama begitu sangat merindukan kealamian alam dan sikap di kampung halamannya ini. Waktu yang dipikirnya hanya sesaat, nyatanya terlampau lama dirasa.
Kealamian kampungnya memang menggoda iman, dapat dipastikan orang kota siap mengeluarkan kocek lebih hanya untuk mencari ketenangan di kampung ini. Prama berhenti menunggu kejutan apa yang akan dia temukan. Ekspresi apa yang akan ditampilkan gadis itu. Terlalu lama janji yang sudah diucapkan Prama. Prama menunggu, semenit dua menit tiga menit berlalu. Semakin lama waktu berdetak semakin lama Prama menunggu. Bibirnya tetap mengeluarkan senyum, rindu yang terpancar harus dia tahan. Dilihatnya perempuan tua terhuyung huyung menghampirinya sambil mengajungkan kemoceng.
Prama menunggu dengan sabar. Bahkan ketika kemoceng mendarat ditubuhnya. Lengan dan kaki direlakan dengan suka rela untuk menerima sabetan kemoceng. Sakit tidak terasa toh badannya kini bukan lagi kerempeng seperti dulu. Sesudah puas melakukan kekerasan perempuan tua itu mengelap matanya yang basah dan mematung. Senyumnya pecah dan tawa keduanya tak bisa ditahan lagi. Prama memeluk wanita tua itu dan matanya melihat seorang gadis dibalik pintu.
Gadis itu, adik perempuan satu-satunya Prama hanya memandangi mereka berdua. Ada titik-titik air yang mengalir jatuh dari kedua matanya terus membasahi pipinya yang bulat dan tak bernoda itu. Namun lengkung garis sabit di bibirnya begitu merekah, terlihat begitu bahagia. Abang yang dahulu ia tangisi kepergiannya kini kembali datang lagi. Rindu ingin dimanja dan disayang oleh Abang yang menjadi pengganti Bapak begitu besar ia rasakan. Ia ingin merasakan dilindungi di usianya yang sudah remaja ini.
Prama menganggukan kepala memberi tanda agar Andini ikut masuk ke dalam lingkaran pelukan Abang dan Emaknya. Ia ingin membagi rasa rindu ini bersama-sama mereka lagi. Ia ingin Andini ikut menikmati tawa yang sekarang kembali mereka punya.
Andini malu-malu tapi tak menampik undangan abangnya, dia berlari dan memeluk abang dan emaknya.
Bibirnya tak tahan untuk berujar. “Abang tidak lupa janji abang kan?” Prama melepaskan pelukan dan menepuk tas ransel yang disandangnya.
“Abang tidak akan pernah lupa janji abang. Meskipun abang tidak yakin kamu masih menyukai kejutan ini.” Prama tertawa melihat bibir Andini yang cemberut.
“Ayolah mana kejutan yang abang janjikan? Tak sabar hati ini bang.” Andini yang tadi malu pun sudah mengobrol manja. Prama semakin tertawa .
Dilepaskannya pelukan mereka berdua, Prama kemudian menurunkan tas ransel yang ada di punggungnya. Baru sekarang terasa berat beban dari tasnya itu. Rasa pegal dan sakit selama beberapa hari di perjalanan baru kini ia rasakan, tapi tak membuatnya merasa kesakitan. Dibukanya tas ransel yang tampak sangat penuh itu. Tangannya berusaha meraih barang yang berada di bagian bawah tasnya. Sebuah kotak persegi panjang terbungkus kertas pembungkus kado warna-warni sudah berhasil ia keluarkan dari dalam tas. Tanpa menunggu apa-apa lagi langsung ia serahkan kepada adiknya yang sudah sangat tak sabar tersebut.
Andini menerima bungkusan itu, wajahnya mengernyit. Bungkusa ini pasti sebuah boneka yang cantik itu, tapi Andini lebih memilih hadiah yang dijanjikan abangnya. Prama tertawa melihat wajah adiknya.
“Bukalah dulu. Kejutan yang abang janjikan ada di dalamnya, plus bonus hadiah yang kamu minta.” Andini tersenyum dan tangannya mulai melepas perekat dengan hati-hati. Andini tak ingin merobek kertas pembungkusnya, akan disimpannya juga karena ini pemberian abangnya.
Sebuah boneka lucu yang jauh berbeda dari yang ia minta dulu terlihat dari dalam kotak membuat Andini tersenyum, matanya kembali mengintip dalam kotak. Ah ini dia, ucapnya sambil melirik abangnya. Prama menutup muka dan menahan tawa. Andini menjerit dan memeluk abangnya.
Sebuah gelang tangan yang terbuat dari bahan plastik yang dulu pernah ia perebutkan bersama kawannya. Saat itu Andini ingin sekali memiliki gelang yang dipunyai kawan bermainnya namun karena ketidakmampuan emak untuk membeli membuatnya tak bisa memiliki.
Prama sebagai Abang kemudian menjanjikan akan membelikan gelang tersebut padanya. Namun kali bukan hanya gelang plastik yang Prama bawakan, namun juga gelang emas yang cantik sebagai kejutan untuk adiknya itu. Prama menahan tawa, Andini pun juga tak bisa menahan tawa. Emak yang menangis diam-diam pun ikut tertawa bahagia melihat kebahagiaan kedua anaknya itu.
Tulisan Kolaborasi dengan @i_lestari_pm Indah Lestari
A Week of Collaboration, Theme : Tawa

0 komentar: