Sabtu, 06 April 2013

Yang Tak Tersisa


Sudah lewat tengah malam ketika aku melihat Kaira berada di ruang kerjanya, menggambar sebuah sketsa di buku gambarnya. Headphone besar dengan lagu-lagu yang sama menenggelamkannya dari dunia luar dan masih dengan kemeja milikku yang kebesaran dalam tubuhnya. Rutinitas yang selalu ia lakukan ketika kami selesai bercinta. Ia akan berada di ruang kerjanya dalam beberapa waktu, hanya mendengarkan musik kencang-kencang dibalik headphone besarnya dan menggambar.
Jika ia merasa sudah cukup melakukan itu semua, Kaira akan terdiam menyesap rokok dan kopinya bergantian tanpa suara dan kata-kata.  Pandangannya entah menjelajah ke dunia bagian mana, jiwanya seperti melayang namun raganya tetap mematung di ruangan itu. Aku bahkan tak dapat menebak apa yang dipikirkannya atau apa yang ada di benaknya. Apakah ia merasa bahagia, terluka atau menyesali hal yang sudah biasa kami lakukan ini.
Teringat ucapan seorang sahabat bahwa kedekatan fisik antara dirimu dan orang lain di dekatmu belum menjadi jaminan adanya kedekatan rasa antara kalian. Itulah yang saat ini terjadi padaku dan Kaira. Kami begitu dekat secara fisik. Aku dapat merengkuhnya dalam pelukanku, aku dapat menciumi setiap detil tubuhnya namun aku tak pernah dapat menjangkau isi hatinya seolah hatinya berada di tempat yang paling jauh dan begitu dalam. Aku selalu menebak-nebak apa yang sedang ia pikirkan atau apa yang ia rasakan tapi berkali itu juga aku tak menemukan jawabannya. Kami memang bukan sepasang kekasih, tak ada janji yang wajib kami tepati. Kami hanya dua orang yang saling membutuhkan dan mengangankan kenyamanan.
Aku hanya menatapinya dari celah pintu yang dibiarkannya terbuka. Aku membiarkan beberapa waktu sebelum aku melangkah masuk menyusulnya dan memeluknya dari belakang. Mengecup keningnya mesra dan berlanjut ketempat kesukaannya. Aku mencium dengan mesra belakang telinganya, biasanya kami akan larut dan sudah dipastikan kami akan mengulang surga dunia yang terlarang itu. Hanya saja  Kaira kini hanya menanggapi dengan kemesraan yang tidak mengebu, dia memelukku erat. Aku balas memeluknya, kuhentikan segala aktifitas tadi. Aku membiarkan Kaira memelukku semakin erat dan memberikan kenyamanan yang ia butuhkan. Hanya menikmati aroma tubuhnya yang terbalut aroma tubuhku. Aku membiarkan Kaira dengan segala pikiran gejolak emosinya. Ada rasa yang sengaja ia sembunyikan dalam pelukannya. Sebuah rasa yang tak pernah aku tahu apa, aku pun tak pernah bisa merabanya.
Kaira seorang wanita mandiri yang sedikit tertutup dan pendiam, ia seolah seperti hidup di dunianya sendiri. Ia jarang memperlihatkan ekspresi di wajahnya, hanya saja senyumannya yang malu-malu itu membuat dunia seakan ikut menari mengiringinya. Banyak yang berkata ia adalah wanita yang dingin tapi aku tidak mempercayainya. Kaira selalu tersenyum dan membara saat bersamaku. Senyumnya membuatku tak ingin mengusik dengan pertanyaan tentang hidupnya. Aku pernah mencoba bertanya namun wajah murungnya membuatku menyesal. Aku selalu menyukai apapun yang ada pada diri Kaira.
Aku masih menemaninya yang masih menggambar dan kembali memasang headphone di telinganya. Sebuah asbak, iPod dan secangkir kopi hitam kesukaannya. Ini bukanlah yang pertama kali aku melihat dan menemaninya seperti ini, namun ini kali pertama aku merasa ada yang sakit dalam dada. Harusnya tidak seperti ini. Aku tak boleh jatuh cinta. Kaira tak akan suka. Hubungan kami bukan hubungan yang nyata. Kaira tak pernah sedikit pun membahas hubungan kami. Aku pun tak pernah ingin menuntutnya lebih. Aku hanya ingin terus memberikan kesenangan-kesenangan yang akan membuat dirinya tetap tersenyum. Hanya itu. Sungguh aku benci keadaan seperti ini, ketika aku mulai merasakan cinta kepada Kaira namun aku tetap tak bisa mendekatkan rasa padanya.
Kaira tak pernah bercerita apapun tentangnya atau tentang sesuatu hal yang berkaitan dengannya. Aku tak tahu siapa teman-temannya, aku juga tak tahu siapa keluarganya. Yang aku tahu hanyalah ia tinggal seorang diri di sebuah apartemen yang bisa di bilang cukup besar untuk seseorang yang hanya tinggal dengan dirinya sendiri. Memang, aku tak banyak tahu tentangnya selain pekerjaannya sebagai seorang copywriter di sebuah perusahaan periklanan yang terkenal di negeri ini. Namun entah mengapa hingga saat ini aku tak bisa melepaskan hidupku darinya.
Setahun telah lewat sejak kami berkenalan di sebuah caffee di pusat kota. Hujan ketika itu turun begitu derasnya, entah apa yang menarik diriku hingga kemudian mendamparkan diri ke dalamnya.  Di meja dekat jendela pertama kali aku melihatnya. Menggambar sesuatu dengan wajah sangat serius dan headphone besar yang menutupi telinganya. Ia sama sekali tak terganggu sekelilingnya, begitu menikmati dunianya. Ada rasa penasaran yang luar biasa ingin mengenalnya ketika itu.
Dengan senyuman aku menyapanya.
“Boleh aku gabung?” Ia hanya terdiam menatapku sebelum dengan enggan membalas senyumku. Aku membiarkannya memandang sekeliling,  mengedarkan pandangannya memastikan tidak ada tempat lain. Setelah puas dengan yang apa yang dilihatnya akhirnya ia mengangguk mengiyakan.
“Kenalkan namaku Saga,” aku mengulurkan tanganku.
“Kaira.” Jawabmu singkat.
Kaira kembali melanjutkan aktifitasnya, menggambar dan sesekali menyeruput kopi yang sepertinya sudah mendingin.
Aku menikmati kebisuan antara kami berdua, aku sadar kami adalah orang asing meskipun aku mulai tertarik dengan kecantikannya. Entah Tuhan sedang berbaik hati padaku atau memang hanya kebetulan yang indah saja, hujan tidak juga reda. Sepertinya banjir pun akan mulai menampakkan cakramnya. Aku melihat Kaira gelisah memandang keluar jendela dan sesekali melihat jam.
“Kamu pulang daerah mana?” Aku memberanikan diri bertanya.
“Senopati,” jawabnya pelan.
“Wah disana kan daerah banjir,” Kaira menatapku seolah berkata ‘Semua orang di dunia juga tahu!’
Hujan dan banjir terkadang memang dapat membawa malapetaka namun apa yang terjadi padaku ketika itu sungguh merupakan kebahagiaan. Karena hujan dan banjir itulah akhirnya aku dapat berkenalan dengan Kaira dan mendapat kesempatan untuk mengantarnya pulang.
Pertemuan berikutnya pun tak pernah ada yang menduga. Di sebuah toko buku di tengah kota, aku menangkap sosoknya yang lagi-lagi menggunakan  headphone besar berwarna ungu muda dan seolah-olah begitu tak perduli pada sekelilingnya. Kaira berada di lorong buku-buku design. Masih dengan wajahnya yang serius, ia memilih-milih buku apa yang sekiranya akan dibawanya. Aku menghampirinya, menegur dan mencoba mengingatkam dia tentang suatu hari di hujan yang lebat pada sebuah caffee. Rupanya dia mengingat hari itu dan aku.
Sejak itulah kemudian kami menjadi dekat hingga satu waktu ia mampir ke flatku dan bermalam di sana. Aku tahu dengan sangat jelas bahwa hubungan seperti ini takkan bisa berlangsung lama. Hubungan yang kami sedang jalani ini tak akan membawa kami kemana-mana. Hampir seperti fatamorgana yang tidak benar-benar jelas apa yang ada di depan kami.
Aku tak peduli apapun, batinku. Aku hanya ingin menikmati kebersamaan dengannya. Seorang wanita yang hanya memberikan senyumannya padaku. Aku melihat kebahagiaan saat kami bercinta. Aku mengatakan bercinta karena bukan hanya napsu yang melingkupiku, aku memiliki perasaan yang khusus kepada wanita ini. Dari kejadian yang tanpa sengaja kami lakukan dan kemudian menjadi hal yang indah bagi kami. Entah aku yang rindu ataupun dia tanpa kata kami seperti sudah saling mengerti.
Anganku kembali saat kudengar Kaira menarik napas panjang. Aku mengetatkan pelukanku lagi.
“Kamu lagi banyak masalah ya Kai?” Kaira menggeleng dengan enggan dan melepaskan pelukannya. Sebuah senyum tersungging, aku tahu ini bukan senyum seperti biasanya, ini seperti senyum yang mengandung makna duka.
“Kai.” Kataku lirih.
Aku ingin mengatakan apapun masalah yang dimilikinya ada aku di dekatnya, aku akan mendampingi dan mendengarkan semua keluh kesahnya, aku akan menyediakan bahuku jika ia lelah dan membutuhkan tempat bersandar. Namun aku hanya bisa berkata dalam hati, aku tahu Kaira tidak akan melakukan hal itu. Aku duduk di sebelahnya dan tanpa kata aku mendekapnya kembali.
Aku merenung dan memikirkan sejak kapan Kaira berubah. Aku tahu, meskipun ia sering asik dengan dunianya sendiri tapi tidak pernah sependiam ini. Aku juga tahu meskipun ia jarang tersenyum tapi dia akan selalu memberikan senyuman bahagia di malam-malam kami bersama. Aku memikirkan malam saat kebersamaan kami, minggu lalu di flat sepertinya tidak ada masalah, ia masih begitu manjanya. Bahkan pagi haripun Kaira masih sempat membuat sarapan saat aku mandi. Aku merenung menggali berbagai memori yang mungkin terlewatkan.
Kaira menelengkan kepalanya ke arahku. Tatapannya seperti bertanya ada apa denganku. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Kutinggalkan Kaira di ruang kerjanya dan kembali ke kamar tidur miliknya. Menyembunyikan diri ke dalam balik selimut dan mencoba mencari tahu apa yang sepertinya telah mengganggu pikirannya.
Jika aku yang telah membuatnya berubah seperti itu, aku sendiri tidak tahu apa sebabnya. Hubungan ini memang tak akan beranjak kemana-mana. Mungkin memang sudah waktunya kami menyudahi semua permainan ini. Jika memang sedari awalnya yang kami inginkan adalah tentang kenyamanan maka akan lebih baik jika ini tidak kemudian berubah menjadi masalah hati.
Aku sendiri melihat dia yang tak begitu antusias apabila hubungan ini berubah menjadi lebih mempunyai arti. Dan mungkin akan lebih baik aku menjawab apa yang ditanyakan Meta minggu lalu untuk kembali kepadanya. Yah, itu mungkin akan lebih baik untuk aku dan Kaira.
****
Aku membiarkan Saga memesraiku seperti biasanya, aku hanya ingin menikmati kebahagiaan ini tak ingin memikirkan apapun selain kebersamaan dengannya. Saga mungkin mengganggapku wanita murahan yang bisa tidur dengan sembarang pria, dia salah, namun aku akan biarkan saja jika ia memang berpikir seperti itu mengenai diriku. Aku melakukan semua ini karena aku mencintainya. Aku telah jatuh hati padanya sejak pertama kali ia berdiri di samping mejaku di sebuah caffee ketika hujan turun begitu derasnya setahun yang lalu.
Aku tidak ingin kebersamaanku dengannya menjadi suatu masalah di antara kami, aku tidak ingin dia membahas tentang segala rasa kepadaku. Aku merasa bahagia itu sudah cukup. Aku terpekur melanjutkan sketsa di depanku, sebuah rumah yang selalu aku gambar namun tidak pernah sanggup aku selesaikan. Aku menikmati setiap detik kebahagiaan bersama Saga. Entah ada apa denganku malam ini, aku hanya ingin memeluknya erat mendekap dan mencium aroma tubuhnya.
Aku tahu hubungan ini hanya akan membuat luka yang dalam. Aku selalu menghindari tentang pembicaraan yang menyangkut hubungan ini, Saga pernah mencoba tapi aku memberikan tatapan yang bisa dia artikan aku tidak menyukai pembicaraan ini.
Aku tersenyum dalam diamku. Saga seorang pria yang baik dan seorang pasangan yang sungguh hebat, hanya saja dia tidak benar-benar mengenalku.
Aku sendiri bahkan tak mengerti apa yang kuinginkan saat ini. Aku menikmati semua waktuku bersama Saga. Aku hanya tidak menyangka bahwa ternyata hatiku mulai merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu hatiku, tidak lagi pikiranku. Aku berusaha untuk menghindarinya, melupakan apa yang kurasakan namun tetap tak bisa.
Malam ini untuk pertama kalinya aku merasa ada yang salah. Entah apa namanya, mungkin aku mulai merasa cemburu pada sesuatu yang aku tak tahu apa. Sudah hampir seminggu ini aku memikirkan semua hal tntangnya. Terutama siapa wanita yang telah meninggalkan sebuah bingkisan di flatnya. Saga bahkan tak pernah membahas masalah ini walau pun ketika itu aku sedang bersamanya. Apakah dia tak melihat tanya di wajahku? Atau memang dia menganggapku tak perlu tahu apa-apa tentangnya?
Aku melihat Saga berlalu. Ah Saga, andai kamu tahu aku ingin bersandar di bahumu. Tapi tidak, aku tidak akan melakukan itu, aku tak akan mengacaukan semuanya. Tawaran pekerjaan yang sempat aku tolak sepertinya harus aku terima. Aku memang menginginkan dapat terus bersama setiap malam dalam dekapannya. Aku sadar kami memulai segalanya dengan salah namun aku sungguh tidak pernah menyesal. Aku memang tidak pernah mengungkapkan cinta, ia pun demikian, tidak masalah karena kami hanya ingin kenyamanan.
Namun sebelum aku bisa mengharapkan Saga di sisiku, semua seperti ditakdirkan berpisah. Seperti pertemuanku dengannya yang tak pernah direncanakan, perpisahan sepertinya akan menjadi hal yang memang harus terjadi.
Aku terdiam menatap sketsa gambarku, air mata jatuh dan membasahi gambar itu. Aku harus pergi dan meninggalkan ini semua. Pada akhirnya aku dan Saga pun takkan pernah bisa berada di jalan yang sama. Wanita itu akan menjadi jarak antara kami berdua. Aku tahu itu.
Tulisan Kolaborasi bersama  

0 komentar: