Bertemu kembali denganmu membuat aku menahan napas sedari
tadi. Pertemuan denganmu kembali sungguh membuat batin ingin menjerit.
Tersiksa, sudah lebih dari satu tahun aku menghindari segala yang berhubungan
denganmu. Aku sebal, marah karena kamu meninggalkanku ke Jakarta. Aku tahu kamu
ke sana untuk menuntut ilmu, tapi tetap saja, kamu meninggalkanku sendirian.
Takdir seolah-olah berlaku kejam padaku.
Untuk apa aku ada di sini? Aku tak henti-hentinya bertanya
pada diriku sendiri. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menghiraukan semua
SMS dan semua panggilan telepon darimu, tapi ketika kamu memberikan kabar lewat
wall facebookku bahwa kamu akan pulang, aku tidak bisa menahan kakiku sendiri
untuk menjemputmu di bandara.
Aku tidak ingin beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin
membenamkan tubuhku, tapi semua tidak memungkinkan. Bodohnya, kenapa aku
kemari?
Aku hanya menunduk menahan diri untuk tidak menarik
perhatianmu. Aku berharap kamu butuh waktu untuk menemukanku. Setidaknya lima
menit dari sekarang. Tapi tidak, karena kamu memang sedang menuju kearahku. Ku
lihat sepatu hitam mengkilat telah ada di hadapanku. Kamu tidak butuh waktu
lama untuk mencariku.
Kudongakkan kepala dan kulihat wajah yang keras dan tanpa
ekspresi itu. Aku menatapmu lama dan aku tidak sanggup untuk berdiri. Aku
merasakan air meleleh dipipiku dan buru buru aku menghapusnya. Kamu masih
menatapku dan tidak ada satu katapun yang terlontar dibibirmu sebelum kamu
bergerak menarikku berdiri.
Aku yang sedari tadi seperti tak bertulang merasakan
kehangatan pelukanmu. Seperti ada ilmu gaib yang mengelilingiku. Ternyata kamu
tidak melupakan aku. Kamu tidak melupakan aku yang kamu tinggal ini. Isakku
lolos dari tenggorokan dan aku membalas memelukmu. Membenamkan kepalaku
dilekukan lehermu dan membiarkan kamu mendekapku erat.
Aku tak peduli sekitar, hanya rasa hangat yang menjalar.
Entah berapa lama aku ada diposisi sekarang,posisi dimana aku memelukmu erat.
Tanpa ada kata hanya tindakanmu lah yang membuatku merasa nyaman. Aku membenci
keadaan ini,tapi aku tak kuasa menolak perasaan yang ini.
"Ai! Apa kabar?! Kakak tahu kamu pasti datang menjemput
kakak!" Katamu dengan ceria, seolah setahun ini sama sekali tidak memiliki
arti bagimu. Seolah berpisah denganku sama sekali tidak mempengaruhimu. Bahkan
wajah tanpa ekspresi yang tadi kulihat pun sudah tak berbekas, digantikan
dengan senyum ramah. Senyum yang aku rindukan.
"Baik, baik," jawabku di balik lehermu. Kamu
melepas pelukan dan memandangku sesat sebelum mengusap air mata yang tanpa aku
sadari mengalir lagi.
"Kok nangis sih?" katamu. "Kamu nggak senang
ketemu lagi dengan kakak ya? Kakak sekarang sudah naik semester tiga loh!
Universitas kakak besar sekali!
Pelajarannya susah sih. Tapi, demi menggapai cita-cita menjadi
pemusik... Kakak sekarang sudah bisa main biola. Ai suka biola kan?"
Kamu mengangkat tas biola yang sedang kamu bawa. Aku
memandang tas itu dengan perasaan kecut. Kalau biola adalah alasan kamu pergi,
aku akan membenci biola itu.
Sesosok langsing menyita perhatianku. Seorang gadis dengan
kaos berwarna pink muda dan celana jins ketat, dihiasi sepatu boot tinggi.
Rambutnya lurus, mengilat di bawah sinar lampu neon. Cantik.
"Oh, Ai, kenalkan," Kamu melambaikan tangan pada
gadis itu. "Ini Siska."
Siapa?
Kenapa kamu membawa seseorang disaat aku bersedih. Batinku
membatin sebelum ku paksa sebuah senyum untuk menyambutnya.
"Aku suka musik, tapi aku tidak suka biola,"
ucapku lirih, aku tetap ingin membenci biola, karena alat musik itu yang kamu pilih dan membuat kamu
meninggalkan ku sendiri.
Aku ingin berlalu, tapi kamu menahan tanganku erat. Aku
melihat tatapan mata Siska, mata itu seperti ingin menggigitku. Sedikit senyum
sengaja aku lontarkan untuk memberi tahu Siska, kalau aku masih menjadi orang
terpentingmu meskipun waktu satu tahun telah memisahkan aku dan kamu.
Aku sedikit egois kalau menyangkut tentangmu. Aku ingin
menjadi orang terpenting bagimu. Aku sedikit sakit hati dengan kepergianmu,
tapi kini kamu kembali, bahkan aku tidak peduli meskipun ada seseorang
disampingmu. Itu yang ingin aku pikirkan, tapi nyatanya aku tidak bisa.
"Ai mau ke mana?" ujarmu sambil menahan tanganku
yang mencoba untuk menghindar. Biola di tangan kirimu nyaris jatuh saat kamu
melakukannya. "Temenin kakak makan siang ya. Besok temani kakak keliling
kota juga. Kan kakak di sini cuman tiga hari, jadi sebelum kakak balik lagi ke
Jakarta, Ai harus mau nemenin kakak."
Kepalaku seperti dihantam petir. Balik? Apa maksudnya balik?
Bukankah kamu sudah kembali padaku? Balik Jakarta lagi? Lalu apa artinya
kepulanganmu ini? Untuk memamerkan Siska? Untuk meninggalkanku lagi dalam
kesendirian, dalam marah, dalam kecewa? Untuk apa? Untuk keliling kota?
Aku ingin menyeretmu pulang bersamaku dan membiarkan gadis
berkaus ketat itu berdiri sendirian di tengah-tengah bandara.
"Kok melotot sih?" ucap Siska. Suaranya seperti
silet, menyayat kupingku. Baru aku sadari, di tangan kanannya gadis ramping itu
juga menenteng biola.
Aku mengerjapkan mataku. "Aku… aku harus pulang.
Karena… Maafkan Ai, kak. Pokoknya Ai harus pulang." Serak. Kenapa suaraku
jadi serak begini?
Tidak rela! Kenapa gadis itu menenteng barang yang sama
denganmu? Kenapa aku tidak bisa menenteng biola juga?
Biola. Aku benci alat musik gesek itu.
"Katanya dia teman baikmu?" Siska seperti
menantangku. Aku menggertakkan gigi. Berani-beraninya dia menantangku.
"Kok tidak mau menemani makan siang? Padahal sudah setahun nggak ketemu
kan?"
"Mau makan di mana?" Ujarku balik menantang.
"Biar pak Tejo yang mengantar kita."
Aku mulai berjalan menuju ke sebuah mobil sedan hitam mengkilat.
Aku bisa melihat mereka berdua saling menatap di balik punggungku dan berjalan
mengikutiku.
Hanya makan siang kan?! Akan aku tunjukkan pada Siska bahwa
aku bisa menahanmu, bahwa aku bisa mengajakmu pulang. Lihat saja nanti.
Kamu tetap bergeming, berdiri dengan termangu sementara aku
berjalan. Dari dulu aku selalu seperti ini. Keras kepala dan manja, katamu.
Tapi, aku belum pernah bertingkah seperti ini, memendam amarah. Biarkan saja,
memang aku sedang marah.
“Ai!” kamu memanggilku dengan nada tinggi. Aku bisa
merasakah kegusaranmu. “Kamu ada masalah? Kenapa kamu berubah?” Berubah? Aku
tidak berubah. Kakak yang berubah.
Aku melotot, berharap kamu bisa membaca telepatiku, tapi
ternyata telepati memang hanya fiksi belaka. Kakak tetap menatapku meminta
penjelasan.
"Aku tidak berubah kok," kataku. "Dari dulu
juga begini."
"Kau lain," Katamu lagi berusaha untuk menegur.
Aku seperti diperlakukan sebagai anak kecil lagi.
"Ai," katamu sambil berusaha menggenggam tanganku.
Aku menepisnya.
Aku memanyunkan bibirku. Aku merajuk. Yaampun, sudah berapa
lama aku tidak bertingkah egois dan manja seperti ini? Bahkan dengan
terang-terangan seperti ini.
Pantas saja nada suara kakak seperti memperlakukan anak
kecil.
Aku sudah SMA, sebentar lagi lulus. Sebentar lagi aku kuliah,
dan aku ingin kuliah di Jakarta bersama kakak.
"Aku tidak suka dengan dia," ujarku dengan
menunduk, berterus terang.
Aku menunjuk Siska dengan kebencian. "Aku ga suka kakak
deket sama dia!" Bentakku lagi. Aku sudah melepaskan semua rasa malu,aku
sungguh ingin kamu tahu aku benar benar tidak bisa menerima dia disampingmu.
Aku tidak terima kalau tempatku digantikan dia.
"Ai! Jangan keterlaluan!"
Aku terperanjat.
Kamu membentakku dan membela gadis itu. Selama aku
mengenalmu, senakal apapun aku dulu tak sekalipun kamu berbicara dengan nada
tinggi denganku. " Kakak tidak suka kalau kamu seperti ini. Kakak kecewa
kalau kepulangan kakak malah membuat kakak kehilangan kamu. Kakak kangen sama
kamu, kangen senyum manismu."
Aku melotot memandang wajahmu dan Siska. Kamu mengatakan
kangen dihadapannya? Apa kamu sudah gila? Apa kamu sinting? Aku masih bertanya
tanya dan memandang wajah Siska yang tetap datar.
Timbul rasa simpatiku, bagaimana dia bisa setenang ini
menghadapi ulahku? Sedangkan aku sungguh sangat menyebalkan.
Kamu tersenyum dan memelukku lagi. Pelukan hangat dan erat
yang membuatku semakin terpaku dan semakin ingin membenamkan wajahku di
dalamnya. Tak kamu hiraukan Siska. Kamu hanya menatapku dengan tatapan yang aku
sulit artikan.
"Kamu cemburu?" Bisikmu ditelingaku. Entah tak
ingin di dengar Siska karena menjaga perasaannya atau perasaanku. Aku hanya
mematung di kursiku.
"Aku..." aku menelan ludah dan melanjutkan dan
berbisik. "Aku hanya tidak suka dengan dia."
Kamu mengerjapkan mata, memandangku dan Siska bergantian.
Siska menaikkan bahunya sejenak dan tersenyum aneh padaku. Senyum apa itu tadi?
simpati? atau mengejek?
Kemudian suara tawa memecah keheningan diantara kami
bertiga. Suara tawa renyah yang sudah lama tak aku dengar.
Aku memandangmu yang terpingkal-pingkal. Siska juga
tersenyum, seolah akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi. Aku mengangakan
mulutku, heran dengan apa yang sedang terjadi.
"Ai, Ai..." Kamu menggelengkan kepalamu, kemudian
menyuruh Siska mendekat. "Ini Siska. Dia adik sepupuku. Satu sekolah
denganku. Satu jurusan dan satu tigkatan. Dia ikut denganku karena ingin tahu
dan mengenal siapa Ai, gadis yang sering aku bicarakan."
"Dia selalu saja bercerita tentangmu," Siska
mengangguk. Senyum simpul masih menghiasi wajah mungilnya.
"Aku bercerita bahwa aku punya seseorang yang berhasil
merebut tempat terpenting di hatiku."
Kamu tersipu saat mengatakannya.
Tadinya, aku ingin menonjok rahangmu yang sedang terpingkal,
namun kenyataan yang aku dengar membuatku mengurungkan niatku.
Aku sungguh malu ,malu karena telah berlaku seperti anak
kecil dan berpikir yang aneh-aneh tentangmu. Aku malu karena telah menutup mata
dan telinga tentangmu, mencurigaimu.
Aku marah atas kepergianmu dan tak ingin mendengar kabar
darimu. Aku tersipu sebelum kamu mencubit daguku. Bahkan kini Siska memeluk
bahuku. Ah sepertinya kesedihanku berakhir disini. Hariku kini berwarna lagi.
Aku tidak menyesali perpisahan satu tahun ini, aku hanya
menyesali kenapa aku menghindari kabar yang kamu kirimkan. Aku berjanji pada
diriku sendiri; mulai sekarang, bbm, panggilan telepon, semuanya akan aku
jawab. Semuanya.
Kolaborasi bareng Andry Setiawan
#ALOVEGIVEAWAY
#ALOVEGIVEAWAY
0 komentar:
Posting Komentar