Sabtu, 20 April 2013

With You


Bertemu kembali denganmu membuat aku menahan napas sedari tadi. Pertemuan denganmu kembali sungguh membuat batin ingin menjerit. Tersiksa, sudah lebih dari satu tahun aku menghindari segala yang berhubungan denganmu. Aku sebal, marah karena kamu meninggalkanku ke Jakarta. Aku tahu kamu ke sana untuk menuntut ilmu, tapi tetap saja, kamu meninggalkanku sendirian. Takdir seolah-olah berlaku kejam padaku.

Untuk apa aku ada di sini? Aku tak henti-hentinya bertanya pada diriku sendiri. Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menghiraukan semua SMS dan semua panggilan telepon darimu, tapi ketika kamu memberikan kabar lewat wall facebookku bahwa kamu akan pulang, aku tidak bisa menahan kakiku sendiri untuk menjemputmu di bandara.

Aku tidak ingin beranjak dari tempat dudukku. Aku ingin membenamkan tubuhku, tapi semua tidak memungkinkan. Bodohnya, kenapa aku kemari?

Aku hanya menunduk menahan diri untuk tidak menarik perhatianmu. Aku berharap kamu butuh waktu untuk menemukanku. Setidaknya lima menit dari sekarang. Tapi tidak, karena kamu memang sedang menuju kearahku. Ku lihat sepatu hitam mengkilat telah ada di hadapanku. Kamu tidak butuh waktu lama untuk mencariku.

Kudongakkan kepala dan kulihat wajah yang keras dan tanpa ekspresi itu. Aku menatapmu lama dan aku tidak sanggup untuk berdiri. Aku merasakan air meleleh dipipiku dan buru buru aku menghapusnya. Kamu masih menatapku dan tidak ada satu katapun yang terlontar dibibirmu sebelum kamu bergerak menarikku berdiri.

Aku yang sedari tadi seperti tak bertulang merasakan kehangatan pelukanmu. Seperti ada ilmu gaib yang mengelilingiku. Ternyata kamu tidak melupakan aku. Kamu tidak melupakan aku yang kamu tinggal ini. Isakku lolos dari tenggorokan dan aku membalas memelukmu. Membenamkan kepalaku dilekukan lehermu dan membiarkan kamu mendekapku erat.

Aku tak peduli sekitar, hanya rasa hangat yang menjalar. Entah berapa lama aku ada diposisi sekarang,posisi dimana aku memelukmu erat. Tanpa ada kata hanya tindakanmu lah yang membuatku merasa nyaman. Aku membenci keadaan ini,tapi aku tak kuasa menolak perasaan yang ini.

"Ai! Apa kabar?! Kakak tahu kamu pasti datang menjemput kakak!" Katamu dengan ceria, seolah setahun ini sama sekali tidak memiliki arti bagimu. Seolah berpisah denganku sama sekali tidak mempengaruhimu. Bahkan wajah tanpa ekspresi yang tadi kulihat pun sudah tak berbekas, digantikan dengan senyum ramah. Senyum yang aku rindukan.

"Baik, baik," jawabku di balik lehermu. Kamu melepas pelukan dan memandangku sesat sebelum mengusap air mata yang tanpa aku sadari mengalir lagi.

"Kok nangis sih?" katamu. "Kamu nggak senang ketemu lagi dengan kakak ya? Kakak sekarang sudah naik semester tiga loh! Universitas kakak besar sekali!  Pelajarannya susah sih. Tapi, demi menggapai cita-cita menjadi pemusik... Kakak sekarang sudah bisa main biola. Ai suka biola kan?"

Kamu mengangkat tas biola yang sedang kamu bawa. Aku memandang tas itu dengan perasaan kecut. Kalau biola adalah alasan kamu pergi, aku akan membenci biola itu.

Sesosok langsing menyita perhatianku. Seorang gadis dengan kaos berwarna pink muda dan celana jins ketat, dihiasi sepatu boot tinggi. Rambutnya lurus, mengilat di bawah sinar lampu neon. Cantik.
"Oh, Ai, kenalkan," Kamu melambaikan tangan pada gadis itu. "Ini Siska."

Siapa?
Kenapa kamu membawa seseorang disaat aku bersedih. Batinku membatin sebelum ku paksa sebuah senyum untuk menyambutnya.

"Aku suka musik, tapi aku tidak suka biola," ucapku lirih, aku tetap ingin membenci biola, karena alat  musik itu yang kamu pilih dan membuat kamu meninggalkan ku sendiri.

Aku ingin berlalu, tapi kamu menahan tanganku erat. Aku melihat tatapan mata Siska, mata itu seperti ingin menggigitku. Sedikit senyum sengaja aku lontarkan untuk memberi tahu Siska, kalau aku masih menjadi orang terpentingmu meskipun waktu satu tahun telah memisahkan aku dan kamu.

Aku sedikit egois kalau menyangkut tentangmu. Aku ingin menjadi orang terpenting bagimu. Aku sedikit sakit hati dengan kepergianmu, tapi kini kamu kembali, bahkan aku tidak peduli meskipun ada seseorang disampingmu. Itu yang ingin aku pikirkan, tapi nyatanya aku tidak bisa.

"Ai mau ke mana?" ujarmu sambil menahan tanganku yang mencoba untuk menghindar. Biola di tangan kirimu nyaris jatuh saat kamu melakukannya. "Temenin kakak makan siang ya. Besok temani kakak keliling kota juga. Kan kakak di sini cuman tiga hari, jadi sebelum kakak balik lagi ke Jakarta, Ai harus mau nemenin kakak."

Kepalaku seperti dihantam petir. Balik? Apa maksudnya balik? Bukankah kamu sudah kembali padaku? Balik Jakarta lagi? Lalu apa artinya kepulanganmu ini? Untuk memamerkan Siska? Untuk meninggalkanku lagi dalam kesendirian, dalam marah, dalam kecewa? Untuk apa? Untuk keliling kota?

Aku ingin menyeretmu pulang bersamaku dan membiarkan gadis berkaus ketat itu berdiri sendirian di tengah-tengah bandara.

"Kok melotot sih?" ucap Siska. Suaranya seperti silet, menyayat kupingku. Baru aku sadari, di tangan kanannya gadis ramping itu juga menenteng biola.

Aku mengerjapkan mataku. "Aku… aku harus pulang. Karena… Maafkan Ai, kak. Pokoknya Ai harus pulang." Serak. Kenapa suaraku jadi serak begini?

Tidak rela! Kenapa gadis itu menenteng barang yang sama denganmu? Kenapa aku tidak bisa menenteng biola juga?

Biola. Aku benci alat musik gesek itu.

"Katanya dia teman baikmu?" Siska seperti menantangku. Aku menggertakkan gigi. Berani-beraninya dia menantangku. "Kok tidak mau menemani makan siang? Padahal sudah setahun nggak ketemu kan?"

"Mau makan di mana?" Ujarku balik menantang. "Biar pak Tejo yang mengantar kita."

Aku mulai berjalan menuju ke sebuah mobil sedan hitam mengkilat. Aku bisa melihat mereka berdua saling menatap di balik punggungku dan berjalan mengikutiku.

Hanya makan siang kan?! Akan aku tunjukkan pada Siska bahwa aku bisa menahanmu, bahwa aku bisa mengajakmu pulang. Lihat saja nanti.

Kamu tetap bergeming, berdiri dengan termangu sementara aku berjalan. Dari dulu aku selalu seperti ini. Keras kepala dan manja, katamu. Tapi, aku belum pernah bertingkah seperti ini, memendam amarah. Biarkan saja, memang aku sedang marah.

“Ai!” kamu memanggilku dengan nada tinggi. Aku bisa merasakah kegusaranmu. “Kamu ada masalah? Kenapa kamu berubah?” Berubah? Aku tidak berubah. Kakak yang berubah.

Aku melotot, berharap kamu bisa membaca telepatiku, tapi ternyata telepati memang hanya fiksi belaka. Kakak tetap menatapku meminta penjelasan.

"Aku tidak berubah kok," kataku. "Dari dulu juga begini."

"Kau lain," Katamu lagi berusaha untuk menegur. Aku seperti diperlakukan sebagai anak kecil lagi.

"Ai," katamu sambil berusaha menggenggam tanganku. Aku menepisnya.

Aku memanyunkan bibirku. Aku merajuk. Yaampun, sudah berapa lama aku tidak bertingkah egois dan manja seperti ini? Bahkan dengan terang-terangan seperti ini.

Pantas saja nada suara kakak seperti memperlakukan anak kecil.

Aku sudah SMA, sebentar lagi lulus. Sebentar lagi aku kuliah, dan aku ingin kuliah di Jakarta bersama kakak.
"Aku tidak suka dengan dia," ujarku dengan menunduk, berterus terang.
Aku menunjuk Siska dengan kebencian. "Aku ga suka kakak deket sama dia!" Bentakku lagi. Aku sudah melepaskan semua rasa malu,aku sungguh ingin kamu tahu aku benar benar tidak bisa menerima dia disampingmu. Aku tidak terima kalau tempatku digantikan dia.

"Ai! Jangan keterlaluan!"
Aku terperanjat.
Kamu membentakku dan membela gadis itu. Selama aku mengenalmu, senakal apapun aku dulu tak sekalipun kamu berbicara dengan nada tinggi denganku. " Kakak tidak suka kalau kamu seperti ini. Kakak kecewa kalau kepulangan kakak malah membuat kakak kehilangan kamu. Kakak kangen sama kamu, kangen senyum manismu."

Aku melotot memandang wajahmu dan Siska. Kamu mengatakan kangen dihadapannya? Apa kamu sudah gila? Apa kamu sinting? Aku masih bertanya tanya dan memandang wajah Siska yang tetap datar.
Timbul rasa simpatiku, bagaimana dia bisa setenang ini menghadapi ulahku? Sedangkan aku sungguh sangat menyebalkan.

Kamu tersenyum dan memelukku lagi. Pelukan hangat dan erat yang membuatku semakin terpaku dan semakin ingin membenamkan wajahku di dalamnya. Tak kamu hiraukan Siska. Kamu hanya menatapku dengan tatapan yang aku sulit artikan.

"Kamu cemburu?" Bisikmu ditelingaku. Entah tak ingin di dengar Siska karena menjaga perasaannya atau perasaanku. Aku hanya mematung di kursiku.

"Aku..." aku menelan ludah dan melanjutkan dan berbisik. "Aku hanya tidak suka dengan dia."

Kamu mengerjapkan mata, memandangku dan Siska bergantian. Siska menaikkan bahunya sejenak dan tersenyum aneh padaku. Senyum apa itu tadi? simpati? atau mengejek?

Kemudian suara tawa memecah keheningan diantara kami bertiga. Suara tawa renyah yang sudah lama tak aku dengar.

Aku memandangmu yang terpingkal-pingkal. Siska juga tersenyum, seolah akhirnya mengerti apa yang sedang terjadi. Aku mengangakan mulutku, heran dengan apa yang sedang terjadi.

"Ai, Ai..." Kamu menggelengkan kepalamu, kemudian menyuruh Siska mendekat. "Ini Siska. Dia adik sepupuku. Satu sekolah denganku. Satu jurusan dan satu tigkatan. Dia ikut denganku karena ingin tahu dan mengenal siapa Ai, gadis yang sering aku bicarakan."

"Dia selalu saja bercerita tentangmu," Siska mengangguk. Senyum simpul masih menghiasi wajah mungilnya.

"Aku bercerita bahwa aku punya seseorang yang berhasil merebut tempat terpenting di hatiku."

Kamu tersipu saat mengatakannya.

Tadinya, aku ingin menonjok rahangmu yang sedang terpingkal, namun kenyataan yang aku dengar membuatku mengurungkan niatku.

Aku sungguh malu ,malu karena telah berlaku seperti anak kecil dan berpikir yang aneh-aneh tentangmu. Aku malu karena telah menutup mata dan telinga tentangmu, mencurigaimu.

Aku marah atas kepergianmu dan tak ingin mendengar kabar darimu. Aku tersipu sebelum kamu mencubit daguku. Bahkan kini Siska memeluk bahuku. Ah sepertinya kesedihanku berakhir disini. Hariku kini berwarna lagi.

Aku tidak menyesali perpisahan satu tahun ini, aku hanya menyesali kenapa aku menghindari kabar yang kamu kirimkan. Aku berjanji pada diriku sendiri; mulai sekarang, bbm, panggilan telepon, semuanya akan aku jawab. Semuanya. 

Kolaborasi bareng Andry Setiawan

#ALOVEGIVEAWAY

0 komentar: