Selasa, 09 April 2013

Karam


Lembar kata yang aku torehkan atas nama cinta kini seakan memudar. Aku memandang ejaan kata seakan mengambang di atas . Aku hanya bisa meratap merelakan semua akan terhapus oleh waktu. Rela? Selalu menjadi pertanyaan hati. Relakah aku? Aku selalu ingin menjawab, aku rela, tapi sering bibir dan hati tak sejalan. Aku berusaha ikhlas, ikhlas melepas beban yang menggelayut menyiksa jiwa. Ikhlas? Pertanyaan ini pun tak luput terucap. Ikhlaskah aku melupakan segala cinta yang aku miliki tentangmu? Ikhlaskah aku? Aku hanya bisa merangkai kata tanpa makna yang ada. Aku hanya bisa membisikkan betapa aku cinta padamu. Seperti sebait lagu yang hanya bisa aku nyanyikan.
Betapa kucinta padamu ..
Katakanlah, kau cinta padaku ..
Sematkanlah ku di hatiimu ..
Walau di mana berada,
Ingat ku dalam doamu..
Belum puas ku menikmati,
Kesan kasih sayang
Kau terpaksa pergi..
[Betapa Kucinta Padamu, dipopulerkan oleh SitiNurhaliza]

Semburat kenangan berkelebatan di pikiran. Liar. Betapa guliran adegan seakan terpampang dengan jelas di depan kepala. Ada aku dan kamu. Tatkala dua ini menjadi 'kita'. Kita yang menyamankan satu sama lain. Pikirmu, akan dengan mudah melepas semua yang pernah terjadi. Kamu lupa, bahwa harap dan angan pernah kamu bagikan saat masih ada kita di antara hari-hari lalu? Kamu lupa, jika satu hari saja saat aku dan kamu masih menjadi kita, adalah selaksa memori yang bertumpukan di kepalaku?

"Maaf."

Lalu satu kata itu kamu ucap, seolah mampu memperbaiki segalanya. Lantas kamu berlalu, hingga aku sekarang sendiri tertatih mencoba pergi. Atas nama sakit hati.

Kamu dan duniamu tak memberikan kesempatan cintaku yang indah hadir. Aku hanya berharap kamu bahagia dengan cintamu kini. Benarkah aku berharap kamu bahagia dengan cinta lain? Tidak, aku tidak ingin seperti itu. Aku ingin berteriak dan menjerit dengan egois, aku hanya berharap kamu berbahagia karena memiliki cintaku.

Aku lelah. Tiada kata lagi, tiada cinta lagi yang tersisa. Semua telah aku curahkan. Memandangmu, melihatmu merangkai kata indah yang tak pernah kau tujukan padaku membuatku menangis. Melihatmu bercanda dan tertawa tanpa diriku membuatku pedih.
Pedih dan luka membuatku mendesah resah.

"Tapi aku kan tidak pernah menjanjikan apa-apa padamu."
"Maksud kamu?"
Sore itu, aku terpaksa merendahkan harga diriku demi mengucap semua yang selama ini aku gantungkan padamu. Dan nada suaramu terdengar ringan saat meresponinya.
"Iya. Hubungan ini tak akan berjalan ke mana walau kita coba. Maka dari itu aku tak pernah mengucap apa pun yang sekiranya mengikat kita. Kamu dan aku hanyalah kita yang sama-sama saling bebas. Tapi kini aku menemui hati lain yang ingin kuikat dengan jiwaku. Kamu mengerti, ya."
Aku menggigit bibir, menatapmu tajam. Berusaha keras menahan buliran air mata jatuh menetesi pipi. Pengertian seperti apa yang kamu harapkan??
"Pengertian apa lagi yang kurang? Apa? Berapa banyak pengorbanan aku berikan? Aku bahkan rela membangkang tradisi keluargaku."
Aku semakin terisak. Teringat tentang wajah papaku yang pasti akan sangat kecewa.
"Sudahlah, aku minta maaf dan aku hanya bisa meminta maaf, tak lebih. Kamu jangan terlalu bersedih, kita sama-sama mengerti dari awal."
Aku ingin menjerit mendengar kelanjutan ucapanmu. Dengan wajah tanpa dosa kamu tetap memelukku erat. Aku luluh dan tak bisa menepis segala kenyamanan ini.
Untuk beberapa saat, kita bergeming dalam kondisi hangat ini.
“Sudahlah.”
Aku mulai meregangkan kedua tangan yang tadi terkunci di balik punggungmu, dan mengangkat kepalaku dari dadamu. Walau betapa nyamannya, toh selalu ada ujung dari semua ini.
“Kamu sudah memilih, keputusan sudah kamu ambil. Tak ada yang bisa aku buat, kan?”
Raga kita lalu benar-benar terpisah. Ada sedikit… sedikit saja perih di hati ketika kamu membiarkan aku melepaskan diri dari pelukanmu, tak berusaha menarikku lagi. Aku tahu, saat itulah perpisahan itu benar terjadi. Selesai. Karam.
“Vira!”
Tepat di saat aku membalikkan badan dan hendak melangkah, kamu menyeru namaku. Membuat secercah harap kembali bersemi. Akankah?
Aku tersenyum, bukan senyum kemenangan yang aku harapkan. Tapi sebersit harapan menggelembung di angan.
"Ya
?"
Aku memandang kembali dirimu dan menunggu kelanjutan kata yang menjadi penentu segala rasa.

"Terimakasih telah menjadi bagian dari hidupku. Terimakasih untuk segala waktu dan segala cinta
yang kamu beri. Aku menyesal harus kehilangan kamu seperti ini, karena bagiku, kamu adalah hal paling bermakna yang pernah aku terima selama ini."
Ardiansyah Harfa. Nama yang pernah menjadi penting di hari-hariku, kini berbalik pergi dan tak kembali.

Tulisan Kolaborasi dengan Dini Novita Sari

0 komentar: