Jumat, 01 Maret 2013

Rasa


Telah hampir setahun mereka tak berhubungan komunikasi. Jarak dan waktu tak pernah ingin mendekatkan mereka, namun rupanya semesta bertindak beda. Ia memintalkan lagi benang waktu dengan jarak secara bersama.
Sebuah kabar yang Raina dapatkan dari sahabat lamanya tentang Rama membuatnya terus berpikir keras. Entah apa sebenarnya yang dipikirkannya karena ia pun tak mengetahuinya. Hanya saja, setelah beberapa hari Raina menerima kabar itu perasaannya seperti menjadi tidak menentu. Ada getaran yang tak dapat ia jelaskan pada orang lain, pun pada dirinya sendiri. Ada ketakutan yang tak ia mengerti perihal keberadaan Rama di kota ini kembali.
Beberapa waktu lalu perasaannya Raina tidaklah sekalut sekarang. Berapa kali matanya melirik jam yang melingkari tangan mungilnya. Waktu seakan berjalan lambat tapi tak mau berhenti seperti harapan Raina. Malam ini Raina akan melihat Rama, melihat wajah yang hanya bisa dilihat dilayar laptopnya dan hanya bisa dipandangin setiap malam dalam keadaan sepi dan sunyi. Keheningan malam yang selalu menemani Raina yang bergejolak dalam asa.
Raina berdiri dan memandang sekitar, semua teman asik pada dunianya sendiri sok sibuk dengan pekerjaan. Raina mengambil dompet dan melangkah menuju kantin. Dipesannya jus semangka kesukaannya dan meminumnya pelan. Air bening jatuh melewati pipi mulusnya tanpa sempat Raina tahan. Isakan lembut lolos dari tenggorokannya juga tak mampu ia tahan. Rama membuat semua kesedihan Raina menyeruak lagi.
Yang membuatnya tak dapat mengendalikan perasaan dan airmatanya juga karena sebaris pesan yang diterimanya pagi tadi menyusul kabar yang disampaikan sahabatnya semalam. Rama yang mengirimkan pesan tersebut. Ia mengabarkan sedang berada di kota ini dan menginap di salah satu hotel terkenal di tengah kota. Raina tak mengerti mengapa Rama melakukan tindakan itu. Setahun yang lalu berjanji tak akan merajut apapun malah kini Rama yang menyambungnya kembali.
Keinginan menemui Rama begitu besar sama besar dengan penolakan di kepalanya. Wajah Aldi suaminya dan Masya putri kecilnya bergantian muncul di pikirannya. Hampir gila ia memikirkan semua ini.
Raina bimbang dan ragu, tak ingin mengatakan kepada suaminya perihal kedatangan Rama. Tapi bagaimana janjinya dihadapan Tuhan bahwa tidak akan ada dusta diantara mereka dan tidak ada kebohongan lagi yang mewarnai kehidupan rumah tangganya. Rama sangat jelas memintanya dan menegaskan maksudnya. Bisakah ini dikatakan ancaman halus? Raina menghabiskan minumannya. Masih tak ingin beranjak dari duduknya. Hanya bisa memejamkan mata. Lagi isakan demi isakan lolos tak bisa dibendungnya.
Bayangan wajah polos Masya menambah kepedihan hati Raina. Anakku tolong ibumu ini, harus bagaimana menghadapi masa lalu ini. Raina menghapus air mata dan meletakkan tangannya dimeja. Mampukan ia dan Rama menyelesaiakan malam ini?
Semakin Raina memikirkan keadaan ini sakit di kepalanya semakin bertambah. Seharusnya memang ia dapat memutuskan apa yang akan dikerjakannya dengan mudah. Sudah jelas ia dan Rama tak akan berakhir kemana-mana. Apapun hubungan yang ada diantara mereka semestinya memang tidak perlu ada lagi. Namun kenyataannya, ia tak mampu memilih apa yang diinginkannya.
Sejujurnya ia masih menyimpan semua perasaan entah apa namanya itu kepada Rama. Sebuah perasaan yang ia sembunyikan dari siapa dan apapun juga. Sebuah hasrat yang harus ia kubur rapat di ruang paling dalam hatinya. Ia merasai semua yang ada untuk Rama dalam keheningan yang panjanh, tanpa suara tanpa kata.
Riuh suara di sekelilingnya tak membuatnya terganggu, ia tetap saja terdiam membisu dengan isak tangis tertahan. Raina mengingat benar pertemuan terakhirnya dengan Rama setahun yang lalu di kota dimana Rama menetap. Raina mengabarkan keberadaannya kepada Rama dan lalu mereka berjanji untuk bertemu. Disebuah sore menjelang senja mereka bertemu. Bukan di tempat dimana Raina menginap, tetapi di kediaman Rama di timur kota.
Rama kala itu mengantar jemput Raina dari perjalanan dinasnya yang kemudian membawanya ke tempatnya. Raina sudah tak memikirkan apapun juga karena hatinya terlalu sibuk menari merayakan pertemuan dengan Rama. Ia membenamkan dirinya dalam pelukan pria itu. Sekedar menitipkan segala rasa rindu yang tak tertahan yang mungkin memang hanya mereka yang tahu.
Manisnya madu memang tidak memabukkan, tetapi manisnya madu membuat Raina dan Rama melupakan segalanya. Suasana sepi dan syahdu mengantarkan kedua sejoli diambang kehancuran. Tak ada penyesalan. Tak ada kata takut dosa mereka tersenyum saling pandang. Raina tak beranjak dari sisi Rama sepanjang malam itu. Rama memeluknya erat dan berbisik semua indah. Benar semua indah pada awalnya. Rama selalu melimpahkan kasihnya. Tapi mereka lupa, dosa yang mereka buat tak bisa mereka sembunyikan lagi. Raina menangis dipelukan Rama. Satu tahun lalu, namun rasa pelukan Rama membuat Raina bergetar.
Raina takut pertemuan sekarang mengoyakkan pertahanan hatinya. Kerinduan dan sakit hati tak bisa dibedakan lagi. Aldi suaminya yang penuh kasih tak bisa menggantikan kekosongan hatinya. Benar… Setiap malam Raina masih memandangi foto Rama dengan sangat hati-hati, dia tak ingin membuat suaminya sedih.
Namun kali ini harus mengambil keputusan yang benar baik untuk dirinya, keluarganya dan juga Rama. Raina hanya tak menginginkan hal yang menyakitkan untuk siapapun. Ia sudah terlalu lelah memainkan hatinya.
Dengan langkah gontai Raina menyeret kakinya menuju toilet. Setelah merapikan dandanannya Raina menuju ke mejanya. Aldi menelponnya berkali-kali, tumben ini. Raina mengacuhkan telpon dari suaminya dan memberikan kabar kalau tidak bisa diganggu dulu dan akan pulang malam. Setelah meletakkan handphonenya Raina membereskan mejanya. Ah ternyata kelamaan melamun dan menangis sudah menghabiskan waktunya. Tak ingin berkutat dengan kemacetan yang semakin menggila, Raina menuju hotel tempat Rama menginap.
Raina mengetuk pintu kamar Rama dan menunggu dengan hati berdebar. Rama berdiri memandangnya. Raina mengercapkan mata dan mendapati dirinya dipeluk erat Rama. Raina masih mematung dan membiarkan Rama menghelanya masuk, bahkan ia masih terdiam mematung saat Rama menciumnya. Suara pintu yang diketuk membuat Rama mengerutu karena kesenangannya terganggu. Matanya melotot berdiri Aldi yang menggendong anaknya yang tertidur. Raina tersentak mendengar suara Aldi, tidak ada kemarahan hanya kepedihan.
Hatinya tersayat mendengar suara Aldi yang bergetar.
“Raina tidakkah cintaku cukup untukmu? Apakah cintaku tak cukup membahagiakanmu?” Raina menunduk, Sakit hatinya mendengar Aldi berkata seperti itu.
Bukankah satu tahun ini hidupnya bahagia? Bukankah cinta Aldi telah mengisi kekosongan hatinya yang ditinggal Rama? Raina masih terdiam. Keheningan mencekam, semua terdiam.
Mungkin memang ini saatnya ia memutuskan yang benar. Toh kedatangannya ke kamar ini bukan untuk memenuhi undangan Rama. Kedatangannya yang sesungguhnya adalah untuk memberitahu kepada Rama bahwa ia ingin menyudahi segalanya. Bahwa apa yang terjadi pada dahulu adalah kesalahan fatal. Dan kini ia tak akan mempertaruhkan lagi keutuhan keluarga kecilnya. Ia akan memilih Aldi dan Masya yang merupakan masa depannya. Bukan Rama yang adalah masa lalunya.
Rama terkejut dengan keputusan yang diambil Raina. Ia tak menyangka bahwa kedatangannya ke kota ini yang sekaligus untuk menemui cintanya kembali ternyata berakhir dengan cara seperti ini. Keheningan kembali menyeruak di hati masing-masing.
Tulisan Kolaborasi  Aini ( @baelovesee ) dan Indah Lestari
A Week of Collaboration, Theme : HENING

0 komentar: