Senin, 04 Maret 2013

Akhir Penantian


~Ku akan menanti walau penantian panjang. Ku akan setia menunggumu, ku tahu kau hanya… Hanya untukku~
Lagu yang kudengarkan di radio mobil saat berangkat kantor tadi pagi terus terngiang-ngiang ditelingaku. Seperti menyindirku saja. Lagu yang dinyanyikan pesinetron yang baru saja beranjak remaja ini sungguh membuatku ingin menjerit. Meneriakkan kata-kata makian.
Hatiku semakin mengembara ke langit ketujuh, ditambah meeting yang membosankan menambah kegalauan hatiku. Lagi-lagi malam minggu ini menjadi malam minggu yang membosankan. Setumpuk novel misteri selalu menjadi pilihanku untuk bermalas-malasan. Sungguh aku tidak ingin mengingat tentangmu. Kamu tak layak mendapatkan cintaku yang tulus ini. Ah atau aku salah? Apakah aku yang tak layak mengganggu kehidupanmu dan mendapatkan cinta tulusmu?
Aku mengingatmu sebagai sosok yang istimewa sejak tiga tahun yang lalu aku pertama kali mengenalmu. Entah apa yang ada dirimu yang membuatku sejak awal langsung begitu tertarik padamu. Aku tidak dapat memungkiri kalau kau memiliki wajah yang sangat menawan dan tampan. Perawakanmu tinggi walau kau menjadi terlihat kurus karena itu. Jambang halus membingkai rahangmu yang tegas. Kau memang lelaki paling sempurna yang pernah kukenal.
Namun bukan hanya itu saja yang membuatku jatuh tergila-gila padamu. Sikap dan pembawaan dirimu pun sangat aku kagumi. Berbicara dengan mu tak pernah membuatku menjadi bosan dan menjemukan. Kau selalu bisa menjadi lawan bicara yang menyenangkan, bahkan terkadang akulah yang tak dapat mengimbangi dirimu. Debat dan perbedaan pendapat ditengah-tengah obrolan kita pun rasanya jauh lebih menyenangkan. Tak pernah setelahnya menjadi kesal atau menyesal.
Senyumku tak lepas dari bibir ini saat bayangan wajahmu saat berdebat denganku, wajah yang penuh semangat dan sedikit ngotot itu akhirnya malah melemah karena aku akan cemberut karena merasa kalah. Aku merengek manja dan menuntut aku harus memenangkan perdebatan ini. Aku masih ingat sewaktu kita berdua berdebat tentang novel penulis kesayanganku. Kamu mengatakan novel itu datar dan membosankan, tapi aku dengan keras kepalanya berkata novel ini keren dan sangat bagus. Aku tahu sebenarnya dalam hati kecilku mengakui itu semua benar, tapi dasar aku tak mau mendengar.
Ah, aku jatuh cinta sama kamu. Aku menyimpan perasaanku padamu. Aku tak ingin kebersamaan kita membuatmu terbebani. Aku tahu kamu masih merindukan cinta yang lalu, aku pun tahu karena kamu sudah jujur kalau kamu masih berduka dengannya. Aku sedikit cemburu saat kamu membicarakannya.
Aku tersenyum lagi dan suara teguran bos membuatku kembali ke saat sekarang. Sedikit menyesali bayanganmu membuatku kehilangan konsentrasi. Memikirkanmu memang selalu menghabiskan waktuku dan tanpa sadar menyeret pikiranku ke sebuah putaran waktu yang entah dimana.
Selalu saja begitu selama tiga tahun ini. Namun aku tak dapat berbuat apa-apa, aku seperti tak memiliki andil jika sudah berurusan dengan hati dan dirimu. Padahal mungkin saja, bahkan aku hampir merasa yakin kamu pun kini tak sedikitpun mengingatku.
Kamu, ya kamu tak pernah mau lepas dari pikiranku. Sesungguhnya berat buatku hidup dalam bayang-bayang pesonamu, namun aku menyukai saat-saat aku mengingat nyatamu.
Bayanganmu selalu memberikan energi untukku melangkah. Semangatmu membuatku bertahan di kotaku kini. Ah lagi lagi aku mengingat kebaikanmu. Kamu memarahiku saat aku dengan ceroboh meminum cappucino pesananmu. Bukan karena minumanmu yang habis aku minum, tapi karena kamu tau aku akan menderita dengan minuman itu. Tapi aku dengan manjanya tersenyum dan menikmati amarahmu lagi.
Aku ingat tanggal tiga puluh satu januari yang lalu aku mengatakan aku ingin melupakanmu. Aku ingin menjadi amnesia, aku berharap kamu terkejut dengan perkataanku. Tapi kamu hanya menarik napas dan berkata pasrah. Aku ingat kata katamu yang membuat air mata ini jatuh. Ingat dengan jelas apa yang kamu ucapkan. Kamu merelakan aku melupakan kamu. Kamu! Aku ingin memukul dada bidangmu dan memelukmu erat. Bukan itu harapanku. Bukan!
Aku ingin kamu menahanku. Menahan dan memintaku menarik kata-kataku kembali. Aku ingin kamu mendebat perkataanku seperti yang biasa kamu lakukan. Aku ingin kamu tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Nyatanya kamu tak melakukan semua hal itu. Kamu hanya terdiam dan tak berkata apapun. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutmu. Aku benci sikap diammu itu.
Ada apa denganku ini? Mengapa masih saja aku mengingatmu dengan baik. Segala rasa yang aku rasakan ketika itu seolah kembali nyata tiap kali aku mengingatmu. Andai saja kamu pahami, rinduku padamu tak pernah mati. Andai kamu mau sedikit saja membuka hati, mungkin aku akan tetap bertahan hingga kini.
Tak terasa air mata ini jatuh. Kuhapus dengan kasar air mataku. Aku tertawa tertahan, tak ingin orang disekelilingku mengatakan aku tidak waras. Aku tidak pernah menyesali mencintaimu. Tidak pernah menyesali kebersamaan kita. Aku hanya menyesali. Kenapa butuh bertahun tahun kamu melepasku. Kenapa kau biarkan cintaku tumbuh di atas penantian semu itu? Kenapa? Pertanyaan yang tidak mungkin kamu jawab. Penantianku sia sia. Cintaku tumbuh subur tanpa pernah kau petik bunganya. Kenapa kamu biarkan aku terluka terlalu lama? Tidak seharusnya aku menyalahkan kamu akan pilihan ku ini.
Ini semua gara-gara paket yang aku terima di kantorku kemarin sore darimu yang hingga kini belum berani kusentuh untuk kubuka apa isinya. Aku takut untuk membuka. Aku takut jika paket itu berupa undangan atau apapun yang mungkin mengabarkan hari bahagiamu. Rasa-rasanya aku takkan sanggup melihatnya nanti. Tapi jika aku tak membuka dan melihat apa isi paket yang kamu kirimkan itu, aku akan terus menerus seperti ini. Memikirkanmu, mengingatmu, mengenangmu tanpa aku ketahui apa yang sebenarnya terjadi. Sepagian hingga siang ini saja pun pikiranku sudah dibuat berantakan olehmu.
Akan kuberanikan saja diriku membuka paket apa yang sedang ada di hadapanku ini sebenarnya dari pada aku penasaran dan hanya menebak-nebak saja.
Kutimbang beban ini. Paket yang rasa rasanya mustahil dari dirimu kalau tidak membaca nama dan alamat pengirim. Aku tahu karena untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku saja kamu enggan kalau aku tidak merengek dan mengancam mendiamkan kamu selama satu tahun. Kini setelah aku dan kamu berpisah kamu mengirimi aku sebuah paket. Sangat mustahil bagiku mempercayai ini.  Kupandangi saja karena karaguan masih menggelanyut .
Hmm, baiklah tidak akan membuatku terluka apapun ini isinya. Bahkan kalau ini undangan pun aku tinggal melemparkan ke tong sampah saja. Dengan perlahan aku membukanya. Mataku melotot, Aku sudah akan berteriak histeris untunglah aku cepat membungkam mulutku dengan tangan. Sebuah novel! Sebuah novel yang dua tahun lalu sangat ingin kubeli. Syok tidak menyangka paket yang membuatku menjadi kehilangan diriku selama seharian itu ternyata sebuah buku. Tunggu! Ada amlop putih didalamnya. Dadaku berderdetak kencang lagi … Undangan? Ingin langsung aku lemparkan saja amplop itu andai aku tidak membaca kalimat didepannya. “Jangan kamu lempar.” Ah sial! Kamu masih mengingat kebiasaanku.
Kubaca surat itu dengan perlahan. Air mata kali ini jatuh bukan untuk penyesalan. Air mata jatuh karena aku bahagia. Penantianku selama ini tidak sia sia, aku membaca kaliamat yang tertulis dalam suratmu. “Maaf kamu menunggu terlalu lama. Novel ini yang aku kirim sebagai awal memulai segalanya dari awal. Aku tidak tahu apakah kamu membeli novel ini sendiri atau tetap menunggu aku yang membelikan seperti janjimu sewaktu kamu mengancamku. Mengancam marah satu tahun kalau aku tidak membelikanmu.  Nomor telponku tidak pernah berubah. Tolong kabari aku secepatnya.”
Mataku basah dan air mata tetap tak bisa kubendung. Penantianku berakhir, penantian cintaku yang berakhir manis.
Tulisan Kolaborasi bersama Indah Lestari 
A Week of Collaboration, Tema : Penantian

0 komentar: