Jumat, 15 Maret 2013

Setelah Senja


Sudah tiga puluh menit berlalu, bis yang sedari tadi kutunggu satu pun belum juga terlihat. Seluruh tubuhku sudah letih rasanya. Hari ini aku banyak bertemu klien dan masing-masing dari mereka berlokasi berjauhan. Seharian menyetir dari ujung timur kota menuju utara kota lalu berputar kembali ke kantor yang letaknya di timur untuk mengambil keperluan pemotretan yang tertinggal dan terakhir harus ke bagian selatan kota yang sangat macet. Beruntung aku memiliki stamina yang baik sehingga tak terlalu kelelahan saat siang tadi. Hanya saja kemudian aku tak sanggup lagi ketika mobilku mengalami mogok dan menyebabkanku harus mencari bis yang tercepat.
Halte tempatku menunggu bis mulai agak sepi karena memang hari sudah begitu malam, taksi pun tak ada yang kosong di jam seperti ini. Ah, Tuhan sedang mencandaiku sepertinya. Kumainkan kamera pribadiku untuk menghilangkan kejenuhan. Mencoba mencari objek menarik yang mungkin saja dapat aku abadikan. Di ujung halte di bawah tangga jembatan penyebrangan kameraku menangkap objek yang sangat menarik. Seorang perempuan dengan rambut terikat dan tas ransel di punggungnya yang kurus. Dia tak memperhatikan sekelilingnya karena ia terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di smartphone yang berwarna sangat mencolok.
Aku melangkah dalam kesendirian. Mencari alamat sepupu jauhku yang sudah lama tak pernah kunjungi adalah tujuan utamaku saat ini.  Perjalanan yang seharusnya aku lakukan dengan temanku terpaksa harus aku lakukan sendiri. Temanku membatalkan pada detik-detik terakhir keberangkatan. Aku yang sudah terlanjur membeli tiket dan semua kebutuhan traveling pertamaku tak mungkin membatalkan. Seperti gadis pada umumnya, ketakutan merasukiku. Apalagi malam sudah sedari tadi menampakkan wajahnya. Aku tetap tak berhenti menghubungi temanku, tapi sepertinya dia sedang melarikan diri atau sedang tak ingin kuganggu. Memang sesiangan tadi aku mencerca karena membatalkan janji. Namun saat ini aku benar-benar membutuhkan dia untuk menjelaskan arah mana yang terdekat. Aku tersesat di kota orang. Aku masih menunduk sambil berjalan ke halte terdekat.

Ransel berat dipunggungku sudah tak kurasakan lagi. Euphoria perjalanan pertama pun sudah menguap sejak tadi. Harusnya dari bandara tadi aku naik taksi dan langsung menuju rumah sepupuku saja. Rutukku menyesali kecerobohanku yang dengan santainya menaiki bis damri. Dan terdamparlah aku disini, di kota besar yang begitu ramai. Semestinya aku tak perlu merasa khawatir tersesat karena banyak orang-orang di sekitar yang mungkin dapat ku tanya tentang alamat yang kucari. Namun tetap saja aku merasa cemas jika mereka tak sebaik yang kuduga.

Aku melangkah dan mataku silau oleh kilatan. Aku sempat mematung dan ingin berteriak. Mana mungkin langit malam yang sangat bersih seperti ini ada kilat. Mataku bertemu dengan mata seseorang. Salah, bukan mata seseorang, tapi lensa kamera. Aku termenung sebelum kupercepat langkahku. Enak saja mengambil foto orang tanpa ijin. Aku berlari mendekati sesosok pria yang masih mengintipku lewat kamera.

Perempuan yang ternyata berwajah sangat manis itu tiba-tiba saja menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat terkejut dan kebingungan. Dia baru saja menyadari kalau aku sedang mengambil gambar dirinya tanpa ijin. Kuturunkan kamera dari depan wajahku dan melihat dia berjalan dengan sedikit berlari ke arahku. Pasti ia akan mendamprat kekurangajaranku memotretnya secara diam-diam. Aku tertawa dalam hati memperhatikannya yang setengah berlari dengan tas ransel besar itu. Tubuhnya yang kurus kecil itu ternyata kuat memanggul beban yang berat itu.
Aku masih ingin berlari secepatnya kearah pria itu sebelum dia berlari meninggalkan tempatnya. Tapi kemudian lariku mulai melambat, langkahku yang sedikit kuseret karena beban yang kugendong sedikit menghambat. Aku melihat seorang pria yang kini sudah menurunkan kamera dan menahan senyum. Aku mengibaskan kepalaku dan mengusir senyum menawan itu. Niat awal untuk menegur dan mengomel menguap. Otakku langsung bekerja sembari kakiku melangkah. Ini mungkin pertolongan Tuhan yang dikirim saat ini.

Beberapa langkah lagi tubuhku menggapai sosok pria itu, namun aku menghentikan langkah dan memandang sosoknya yang bisa dikatakan sangat tampan dengan senyum menggoda yang membuatku susah berkonsentrasi. Kukibaskan kepalaku lagi dengan kekuatan penuh hingga ekor kudaku mengayun dan mengenai pipiku. Aku melangkah mendekatinya.

Aku memang ingin meminta bantuannya dan mengharapkan dia bukan salah satu penjahat yang berkeliaran di kota ini. Setelah kupikir-pikir mana ada penjahat dengan penampilan keren dan berwajah tampan. Aku berharap dia malaikat penjaga yang Tuhan kirimkan untuk menolongku. Tapi aku tidak mungkin bersifat manis kan? Meskipun dia sangat aku butuhkan tapi aku tetap harus menegur kekurangajarannya. Aku berdebat dengan hati kecilku sebelum keputusan kuambil. Aku berdiri dihadapannya dan menantang dengan berani. Senyum masih tersungging di bibirnya. Uh…senyum sejuta pesona. Batinku menyoraki keindahan yang terpampang dihatadapnku.

Apa yang lebih indah dari memperhatikan perempuan berwajah manis yang kini sudah berdiri di depanku dan menantang senyum yang masih menggantung di bibirku? Dia bahkan tak dapat menutupi manis wajahnya dengan sikapnya yang dibuat seolah marah padaku. Kamu terlalu cantik dan manis untuk cemberut seperti itu, sayang.
“Hai,” sapaku dengan wajah tetap tersenyum.
“Siapa yang memberimu ijin untuk memotretku?” jawabnya dengan suara yang dibuat seperti marah namun terdengar sangat merdu dan indah.
“Tidak ada. Aku hanya ingin mengabadikan ciptaan Tuhan yang begitu indah.” aku tersenyum dan menatap matanya yang tidak bulat itu.
Ada gestur malu-malu dan salah tingkah dari bahasa tubuhnya. Sepertinya ia telah melupakan rasa marahnya.
Aku memang gadis yang naïf, mendengar ucapan pria yang tidak kukenal sama sekali itu bukannya marah malah membuat pipiku merona. Dasar diriku tidak bisa di ajak kompromi. Lagi-lagi aku memaki diri sendiri. Mendengar sapaannya yang penuh keramahan dan senyum yang tersungging itu sungguh membuat aku luluh dan lupa untuk memakinya. Bahkan aku menjadi gelagapan.

“Mas, eh Kak.” Kataku dengan kebingungan yang tak bisa aku tutupi lagi. Sebagai gadis jawa memanggil seorang pria dengan kata ‘Mas’ sudah biasa, tapi aku merasa dia tidak cocok jika aku panggil dengan sebutan itu bahkan sepertinya aneh dilidahku. Setelah kemarahan itu hilang aku menjadi gadis dungu dihadapannya. Tapi tunggu! Bukan berarti aku harus begini kan? Sudah berapa kali aku berdialog dengan hatiku dalam diam tentang pria yang tak kukenal itu.

“Kak,” kuberanikan lagi memanggil dirinya. Aku sudah tidak merasa takut lagi kalau dia penjahat. Aku sudah kelelahan dan ingin menemukan alamat sepupuku  karena  malam begitu cepat berlari sedang aku sudah benar-benar butuh beristirahat. Sial, pria ini bukannya langsung menjawab pertanyaanku dan membiarkan aku berlalu, dia malah seperti sengaja mengulur waktu. Sial sial sial! Jeritku dalam hati. Bukan tidak suka,tapi aku mulai gentar dan takut terpesona melihat senyumannya itu. Gila saja! Ini bukan kisah dalam sebuah novel ya! Aku merutuki dan mengomel lagi. Aku selalu berdialog dengan diriku sendiri, semoga dia tidak menggapku aneh karena sering mengibaskan kepala.

“Kak?” aku terperangah dengan sapaannya padaku. Di kota seperti ini masih ada orang yang memanggil dengan sebutan ‘Kak’. Entah sudah berapa abad tak ada yang memanggilku seperti itu.
“Kenapa?” dengan mimik wajah yang sangat lucu ia balik bertanya padaku.
“Kamu tahu, cantik, kamu itu lucu dan antik,”
Hampir saja aku tertawa terbahak-bahak jika saja aku tak mencuri lihat wajahnya yang berubah menjadi merah muda.
“Antik?!” si kuncir kuda yang imut itu nampak kesal sekali padaku. Wajahnya yang putih dan halus itu sudah benar-benar berubah warna menjadi merah muda dan itu sungguh membuatku tak dapat menahan tawa yang sedari tadi sudah kutahan.
“Kenapa sih Kak kok tertawa sendiri?” Aku berkata sambil memanyunkan mulutku. Kesal rasanya pria itu mentertawakanku. Apanya yang lucu coba? Tadi memotretku lalu tersenyum, sekarang malah menyebutku antik. Dia pikir aku sebuah barang tua yang aneh dan berdebu? Dasar otak udang.

“Mau menjawab tidak?” Aku bertanya lagi kepadanya.
Sudah terlanjur, kalau aku pergi pun belum tentu akan menemukan orang baik yang bersedia membantuku. Dia masih tertawa dan membungkuk tapi suaranya tetap pecah. Aku ingin menimpuknya dengan barangku yang super berat ini andai dia tidak segera menghentikan tawanya. Dia menatapku lagi dan membuatku merona. Kutepuk pipiku dengan tangan dan membuat dia tersenyum lagi.

“Sekali lagi tertawa dan tersenyum saya akan teriak kalau kakak pencuri!” Ancamku yang membuat dia menyerngit sebelum menjawab pertanyaanku tentang alamat yang kucari.

“Oke, oke. Semalam ini kamu bertanya pada orang asing mengenai sebuah alamat di kota yang sama sekali kamu tahu. Kalau aku orang jahat bagaimana?”
Dia tampak terkejut. Aku menahan senyum. “Aku terlihat jahat tidak?”
Ia menggelengkan kepalanya, sekali lagi kuncir rambutnya ikut bergoyang.
Aku hentikan sebuah taksi kosong berwarna biru dengan logo burung sebagai ciri khasnya. Tanpa berbicara langsung saja kutarik tangannya dan mendorongnya pelan masuk ke dalam taksi. Dia sedikit memberontak dengan tindakanku ini, pasti yang ada di pikirannya sekarang adalah aku orang jahat yang akan menculiknya.
Tiba-tiba saja sebelum aku menyadari apa yang terjadi, dia menarik tanganku dan mendorongku masuk ke dalam sebuah taksi. Aku memberontak dan berusaha untuk keluar lagi. Dia menahan tubuhku dengan tangannya dan tertawa.

Ah, gila! Apa-apaan ini maksudnya? Apakah dia sedang berusaha menculikku dan akan membawaku kabur entah kemana yang aku tak tahu tempatnya? Oh, Tuhan, harusnya aku tadi tidak begitu saja menemui dan bertanya padanya. Dia pasti akan berbuat jahat padaku dan sekarang aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Segala pikiran buruk berkecamuk di kepalaku dan berbagai scenario kejahatan mulai bermunculan dengan sangat derasnya. Aku diserang oleh ketakutan pikiranku sendiri. Dan lagi-lagi tanpa kusadari, aku berteriak kencang di dalam taksi yang sedang melaju di sebuah jalan tol yang sudah mulai sepi. “TIDAAK!”

Tiba-tiba perempuan kecil itu berteriak sangat kencang. Taksi yang kami tumpangi mendadak berhenti ke pinggir jalan tol, untung saja sopir taksi tidak terlalu cepat mengendarai taksi tersebut sehingga tidak membuat kami mengalami kecelakaan.
“Hey, kenapa kamu berteriak seperti itu sih?”
Ya ampun, ternyata tadi itu aku sungguh-sungguh berteriak, aku pikir teriakan itu hanya ada di pikiranku saja. Malu yang teramat sangat langsung menghinggapiku dan aku merasa wajahku ini entah sudah berwarna seperti apa. Aku langsung terdiam dan memeluk tas ranselku yang kutaruh di pahaku. Samar kudengar sopir taksi berbicara dengan pria itu yang kemudian membuatnya melanjutkan laju mobil taksinya. Pria itu menoleh ke arahku yang terduduk tepat di sebelahnya. Aku masih saja terdiam dan merasa sangat bodoh sekali.
“Aku tidak akan menculikmu, kalau kamu ingin tahu,” aku menoleh padanya dan melihatnya terdiam sambil memeluk tas ransel birunya itu. “Aku ingin mengantarmu ke alamat yang kamu tanyakan tadi. Kebetulan aku hapal daerah itu,” lanjutku.
“Maaf, aku hanya merasa takut,” dengan suara yang lemah aku meminta maaf padanya
“Takut? Memang wajah gantengku ini mirip penjahat yah?” aku mencandainya, dia memperhatikanku, lalu kemudian tawa kami berdua pecah di dalam taksi yang mulai melaju cepat.
Perempuan  kurus itu kemudian mengoceh tidak jelas panjang lebar, meminta maaf lagi, berbicara tentang suara-suara di pikirannya dan teriakan yang sangat tidak ia sangka akan keluar dari mulutnya. Aku baru menyadari kalau ternyata dia begitu cerewetnya. Perempuan yang sangat unik namun begitu cantik. Dari obrolan kami, aku mengetahui kalau namanya adalah Diva Prameswari. Nama yang cantik secantik wajahnya. Aku tersenyum setiap kali menyebut namanya dalam hati. Tuhan ternyata begitu baik menghapuskan lelahku hari ini dengan pertemuan tak sengaja dengan Diva. Semoga setelah ini dia tidak akan memarahiku lagi jika aku tiba-tiba mendatanginya di rumah sepupunya itu.
Ternyata dia pria yang baik. Maksudku pria tampan dengan senyum mematikan yang sangat baik. Namanya pun terdengar tampan dan gagah, Aryo Dava Wiguna. Aku baru menyadari ternyata nama kami terdengar mirip Dava- Diva. Ah, kebetulan sekali, suatu kebetulan yang menyenangkan. Entah mengapa setelah pembicaraan kami -oke, maksudku pembicaraan yang didominasi olehku- aku merasakan kenyamanan yang tidak bisa aku jelaskan. Tuhan mungkin sedang mencandaiku dengan teramat manis melalui pertemuanku dengannya, dan semoga pertemuan ini tak akan berakhir setelah aku turun dari taksi ini saja.
Tulisan Kolaborasi dengan Shafira

0 komentar: