Selasa, 12 Maret 2013

Cinta Dalam Kata


Aku mungkin tak mengingat pasti kapan ketika Tuhan mempertemukan kita. Tapi aku tahu pasti bagaimana Ia membuatku menemukanmu diantara jutaan nama dalam dunia maya. Ketika suatu hari di sebuah pagi kita para penggiat social media baru saja membagikan berbagai status dari masing-masing identitasnya.
Mereka berlomba-lomba saling bercerita pada sebuah kotak yang hanya memuat seratus empat puluh karakter saja. Aku ingat ketika itu kau ikut menjawab satu pertanyaanku tentang salah satu berita yang menjadi pembicaraan di linimasa. Tak ada satupun reaksi berlebihan dariku dan dirimu saat itu. Kita hanya saling berdiskusi dan berbicara. Lalu janjimu kemudian akan membahasnya dalam laman blog yang kau punya. Aku tak menantikannya sama sekali, bahkan tak mengingat apapun janjimu ketika itu. Hingga sebuah tautan link bersama mention seorang kawan terkirim ke dalam linimasaku.
Aku sempat terkejut tapi tak urung bibirku tersenyum. Tak pernah terpikirkan dihati, aku merindukan debat yang beberapa waktu kita lakukan. Debat dengan beberapa teman tapi hanya dirimu yang terlihat begitu antusias. Aku membalas beberapa kata dan kamu dengan kecerdikanmu membuatku semakin membalas dan membuatku tak berkutik menyerah. Bukan, bukan antara menang dan kalah. Bukan juga antara siapa yang lebih cerdas, ini hanya menyerah karena kehabisan kata-kata. Aku mengingat jelas tawa yang tertulis itu, membayangkanmu tertawa terbahak-bahak di sana membuatku tak urung meringis geli. Aku pun akhirnya tak kuasa tertawa lepas di sini. Ah, hanya sebaris kata membuat aku mengenalmu. Membuat aku menjadikan kamu teman yang menyenangkan.
Iya, teman yang sangat menyenangkan. Setidaknya itulah yang kurasakan kala itu. Kemudian obrolan-obrolan kita berlanjut sesekali melalui sebuah kolom mention. Tak ada yang istimewa. Hanya sapaan ringan dan saling bertukar cerita saja. Selanjutnya semua pastilah takdir yang Tuhan tuliskan padaku. Aku mulai tergelitik mencari tahu siapa sebenarnya pemilik sebuah akun tanpa gambar citra yang sesungguhnya itu. Kutelusuri semua yang berkaitan dengan dirimu. Paman google membantu semua pencarianku. The Power of Googling, kataku.
Dan malam itu seluruh dunia seperti berkonspirasi kepadaku. Semua keyword yang kugunakan untuk mencarimu membuahkan banyak hasil, yang kemudian membuatku kembali tergugu di depan halaman blogmu. Membaca satu persatu goresan tulisan hasil buah pikiranmu. Semua detil cerita yang kau bagikan disana terkadang membuatku tertawa atau menitikkan air mata. Layaknya hujan yang turun deras, tulisanmu pun begitu deras memenuhi kalbuku menimbulkan berbagai inspirasi, memaksaku berimajinasi dan kemudian membuatku memberanikan diri menulis sedikit tentangmu.
Seperti yang aku bilang, aku sedikit saja memiliki keberanian menulis tentangmu. Tentang kepribadian dan siapa kamu dari kesimpulanku sendiri. Tentunya ini hanya menebak, tapi aku meyakini apa yang aku pikirkan tentangmu pasti benar adanya. Kamu seorang yang jujur, pemberani, suka membaca, menulis sudah pasti karena blog pribadimu tidak pernah sepi dan kamu seorang yang sedikit moody. Ah itu dia, aku harus pandai-pandai bergaul denganmu, sifatmu yanh seperti itu sungguh menjengkelkanku. Namun aku sudah terlanjur menyukaimu sabagai teman baruku. Kutulis lagi tentangmu dan sedikit terperanjat dengan kesimpulanku sendiri. Aku seperti telah mengenalmu dengan nyata. Aku ingin merengkuhmu di kala kamu menghadapi derita. Aku ingin mendekapmu di saat kamu merasa bahagia. Apakah aku jatuh cinta pada sosok yang aku ciptakan tentangmu?
Sepertinya memang bukan kepada sosok tokoh itu aku jatuh cinta, namun kepadamu yang merupakan inspirasi ketika aku mulai bercerita dan menuliskannya pada sebuah catatan di smartphone kesayanganku. Cinta memang tak pernah diketahui kapan datangnya. Begitupun kita tak pernah tahu kapan tepatnya sebuah cinta jatuh kepada diri kita.
Aku jatuh cinta pada goresan kata yang kau buat. Membacanya lekat-lekat setiap saat. Sedikitpun tak pernah membuatku bosan. Aku jatuh cinta sejak kalimat pertama pada sebuah tulisanmu dan kemudian tumbuh membesar tidak hanya kali itu saja, namun terus menerus hingga kalimat-kalimat balasan untuk tulisanmu juga ku rangkaikan.
Mungkin akan kubiarkan saja cinta ini mengalir dalam diriku saja. Biar aku saja yang jatuh cinta, kamu tak perlu mengetahuinya. Biarkan citra yang terbayang dalam anganmu adalah aku seorang teman yang menyenangkan, tak perlu kau tahu apa yang aku rasakan. Sehingga aku dapat mencintaimu terus dalam diamku tanpa rasa cemburu kepada semua yang mengagumimu.
Karena aku takut kehilangan sosokmu yang begitu menenangkan dan memberikan kedamaian. Biarkan hanya aku yang merasakan cinta itu, sehingga aku dapat terus membaca dan meresapi segala tulisanmu tanpa curiga berlebihan. Iya, aku jatuh cinta. Cinta pada rangkaian kata dan sosokmu yang ingin kulihat nyata. Namun cukuplah aku saja yang mencinta, karena aku tak ingin membuatmu menderita karena cinta yang buta.
Aku mencintaimu. Mencintaimu dalam diam, mengagumimu dan mulai tidak ingin kehilanganmu. Aku merasakan perasaan ini seorang diri dan tak ingin berbagi. Tidak mungkin kenyataan semanis ini. Tuhan tidak ingin segala hanya manis saja bukan? Aku mulai mencemburuimu kala ada sosok lain yang memujamu secara nyata. Aku mulai merutuki mereka yang memuji keberanian dan kecerdasanmu. Aku mulai terusik dengan kenyataan yang menakutkan. Aku takut kamu menghilang dan meninggalkan aku. Aku mulai berbagai cara bersifat manja kepadamu. Aku hanya ingin kamu tahu, aku mulai mengharapkan balasan perasaan itu. Entahlah aku mulai kecanduan akan kehadiranmu disisiku, dihariku yang aku rasa mulai hampa. Aku menceritakan hari-hariku berharap kamu ikut merasakan semuanya. Aku memandang potret yang terpampang di blog pribadimu. Sungguh senyum itu membuat aku ingin berlari mengejarmu.
Setelah sekian lama, Tuhan seperti memberi jalan kepada kita. Pertemuan yang menjadi impianku pun akan menjadi nyata. Aku membaca dengan jelas apa yang kamu tulis, kamu akan bertolak ke Kota dimana aku kini tinggal. Aku tahu kamu bukanlah sengaja ingin menemuiku. Aku juga tahu kamu ke kota ini pun mungkin tanpa mengetahui keberadaanku. Aku memberanikan diri untuk mengundangmu menikmati senja. Aku tak tahu apa jawabmu. Kamu menghilang tanpa terlihat lagi. Aku tidak tahu yang ada dihatimu kini tentangku. Sesosok asingkah atau sesosok nyata yang pantas berdiri disisimu.
Ah, aku sebenarnya tak mau peduli apa yang kau pikirkan tentangku. Biar saja terserah apapun pendapatmu, apakah kau menganggapku sosok yang kemudian menjadi lebih dekat atau malah ingin kau jauhi saja. Sehari setelah undanganku, akhirnya aku menemuimu. Pertemuan yang tak terlupakan itu, aku bahkan dapat menghitung berapa waktu yang kita miliki di hari itu. Entahlah, aku begitu merasakan kebahagiaan yang tak terkira ketika akhirnya bertemu denganmu. Dan aku hampir saja menangis ketika senja datang terlalu cepat dan memaksa aku dan kau berpisah. Aku mencoba untuk lupa bahwa waktu telah bergulir mengejarku begitu rupa dan perjumpaan antara kita akan segera mereda.
Aku tak tahu mengapa Tuhan masih memberikan aku segala ingatan tentangmu. Setelah pertemuan itu aku begitu takut untuk tetap melaju bersamamu. Kututupi semua harapan padamu, namun kenangan akan dirimu ketika itu tetap kokoh diam dalam ingatan. Raka Aria Wisesa, lafal namamu hingga kini pun tak berani kusebutkan. Kau kusimpan rapat dari dunia. Tak ingin mereka akhirnya tahu siapa kau yang telah membuatku terduduk menunggu.
Masih seperti dahulu, aku meyakini ini pastilah takdir yang membuatku jatuh cinta padamu dan tetap mengingatmu. Aku ingat saat kamu mengatakan perasaanmu padaku, aku sangat bahagia. Namun aku begitu takut, sungguh ketakutanku mungkin tak beralasan. Aku juga menyukaimu dan ingin mengenalmu lebih jauh kedepan. Tapi aku begitu pengecut untuk melangkah. Aku menerima perasaan diawal, aku memberi kesejukan akan hadirmu. Tapi tidak, mimpi itu tidaklah nyata. Aku tak ingin semua tentang kita musnah jika aku nekat melanjutkan langkah. Hatiku tak bisa melupakanmu.
Aku ingin tetap memilikimu selamanya, tapi haruskah semua khayalan ini berakhir? Aku tak ingin senyum manismu, tawa manjamu dan semua perasaanmu menguap diterjang angin kenyataan. Tidak aku tidak sanggup membayangkan semua itu. Aku hanya bisa memberimu luka tanpa kau sadari. Luka yang saat ini takkan membuatmu terlalu menderita selamanya. Aku hanya bisa menekan jejak cinta antara aku dan kamu. Aku mencintaimu. Mungkin perasaan cinta ini lebih dalam dan lebih menyakitkan, tapi aku tidaklah seberani dirimu.
Aku memandang semua jejak perasaan ini. Dengan semua luka yang ada di dada ini aku berjalan menjauh. Aku menderita membiarkanmu terluka dalam asa. Aku sungguh mengutuki hatiku yang membiarkan kamu terluka karena rasa. Maafkan aku, Shifa, aku hanya bisa menjadikanmu sahabat baikku. Sahabat sejatiku. Tak berani lebih dari itu.
Tulisan Kolaborasi dengan http://meutiashafira.wordpress.com/author/meutiashafira/
Share this:

0 komentar: