Jumat, 01 Maret 2013

Pesta Untuk Rahmat


Baru pukul sepuluh pagi, tapi matahari telah mengganas, peluh mengucur dari kepala Rahmat yang tertutup helm. Kaos merah maroon yang berada di balik jaketnya pun telah basah dibanjiri keringat. Melihat cuacanya,  perjuangan ke Pasar Gembrong hari ini nampaknya akan melelahkan.

Daftar belanjaan untuk dekorasi pesta kali ini dipenuhi dengan berbagai jenis boneka. Anak manja! Rahmat sering tak habis pikir dengan klien kantornya yang rela menghabiskan puluhan juta rupiah hanya untuk merayakan ulang tahun anak yang masih terlalu kecil untuk mengerti arti dari sebuah pesta.

Kekesalan Rahmat sebenarnya tidak hanya berpusat pada angka nominal untuk pesta itu, melainkan karena didaftar belanjaan itu ada benda yang sangat Rahmat benci. Boneka! Sebenarnya dibayar berapapun dia tak akan sudi, tapi sekarang taruhannya bukan dibayar,tapi dia bisa dipecat dari kantor kalau tidak bisa memenuhi permintaan si klien yang dilihat karena isi dompetnya itu.

Rahmat mengelap peluh di dahinya, semakin panas saja. Bayangan boneka sudah menari nari dipelupuk mata. Ah Rahmat menarik napas, malu juga kalau sampai terdengar orang, pria dewasa sepertinya takut sama boneka.

Menelusuri hingga ke masa kecilnya, Rahmat masih tidak mengerti kapan dan mengapa dirinya mulai ketakutan akan mainan yang identik dengan anak perempuan itu. Bahkan sampai ke boneka cantik dan imut-imut seperti Barbie dan beruang Teddy pun menjadi momok tersendiri baginya. Sulit untuk menetralisir debar jantung saat menatap mata mereka yang meski berwarna biru gemerlap indah, tetap saja terasa menusuk jantung.

Motornya ia parkir di depan deretan penjual karpet. Meski toko langgannya berada di samping underpassmenuju Kampung Melayu, tapi area itu lebih aman untuk parkir karena pejaganya ia kenal baik.

Langkahnya terasa berat, ia siapkan mental untuk mengangkut beberapa boneka yang sudah dipesannya melalui telpon. Apalagi mengingat barang-barang tersebut harus disimpan di rumahnya terlebih dahulu karena kantor yang masih dalam proses renovasi.

Rahmat hanya membalas panggilan bang Karto, pemilik toko langganannya, dengan senyuman. Melihat Bang Karto mengumpulkan barang pesanannya, Rahmat bergidik ngeri. Boneka sialan. Dan siapa yang harus disalahkan dengan situasi ini? Si klien yang banyak mau, bos yang memerintah tanpa berpikir atau mungkin salahkan saja boneka boneka itu yang menerornya. Ah.. Rahmat mendesah,angannya melayang samar. Rumah duka ,kerenda,boneka…

“Mas!”

Rahmat terlonjak kaget mendapatkan tepukan bang Karto.

“Jangan bengong,entar kemasukan,disini kan bekas kuburan. Angker!”

Bang Karto menggoda Rahmat yang bengong di muka toko.

Setelah membayar Rahmat mengangkut barang-barangnya. Malas kembali kekantor, biarkan saja kalau mendapat teguran. Dia lelah, panas semakin menyengat namun hatinya seakan dingin, sepi dan dunia serasa tak bersuara. Hening seakan melingkupi lingkungan di sekitar Rahmat. Lalu lintas yang tengah macet, klakson yang bersaut-sahutan pun tak terdengar. Rahmat kebingungan dengan keheningan itu, seperti ingin berteriak tapi suaranya terasa kering.

Satu karung berisi boneka kemudian tersampirkan pada bagian belakang motornya. Rasanya itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Rahmat terdiam pucat. Hanya sampai besok pagi, besok pagi. Berulang dirapalkannya kalimat tersebut untuk menenangkan diri.

Sesampainya pada petakan rumah kontrakannya di bilangan cawang, wajahnya masih pucat memandang karung di atas motornya. Huffft. Pelan diangkatnya karung tersebut ke dalam rumah yang hanya terdiri dari dua ruangan. Di kamar atau di ruang tamu? Rahmat menimbang letak penyimpanan karung tersebut.

Batinnya sih berteriak untuk melempar karung itu di kanal depan gang tadi, biar saja terbawa banjir. Setelah meninbang-nimbang, Rahmat pun meletakkan karung itu di kamar tidurnya. Diruang tamu tidak aman, meskipun dia tidak pernah kemalingan tapi dia tidak mau mengambil resiko, harga sekarung boneka itu lumayan mahal. Rahmat menghempaskan tubuhnya di ranjang, matanya terpejam. Kesejukan mulai merambat membuat Rahmat tak ingin beranjak. Motor toh sudah dikuncinya.

Siang-siang di kontrakan memang sepi, paling cocok untuk tidur siang. Belum berapa lama ia terlelap, perutnya berbunyi. Beranjak dan berdiri tiba-tiba Rahmat menjadi merinding. Pria macam aku ini? Mudah sekali merasa ketakutan. Sering pertanyaan itu dia tanyakan.

Sambil meraba kantong belakang celananya untuk memastikan dompetnya masih ada di tempatnya, ia berjalan keluar kamar. Lalu kemudian menyadari, karung tersebut hilang!

Matanya meraba tiap sudut kamarnya. Ya ampun! Apa aku meletakkannya di ruang tamu? Bergegas ia keluar hanya untuk menemukan karung itu pun tak ada di sana. Ia lalu berusaha mengingat kronologis dari saat dia parkir motor di luar hingga ke kasurnya yang mulai kempis. Ia masih yakin kalau diletakkannya karung tersebut di dalam kamar.

Bukan panik karena harga sekarung boneka yang lebih besar dari gajinya sebulan, melainkan ketakutan bahwa karung tersebut melarikan diri sendiri dari ruang tidurnya. Konyol! Mana mungkin, pikirnya. Tapi tak urung opsi itu membuat bulu kuduknya merinding

Jengkel hati dan perutnya pun tak bisa menunggu. Rahmat percaya boneka-boneka itu sedang mempermainkan dirinya. “Kalian pikir aku takut?” Bentaknya kepada udara kosong. Wajahnya merah padam, gentar juga hatinya, bagaimana kalau tiba tiba boneka itu berlari mengejarnya? Rahmat menggeleng dan semakin merenung. Rahmat mengunci pintu, lebih baik makan saja toh percuma dia mencarinya sekarang.

Pelan ia langkahkan kakinya menuju warung Mbok Lasmi. Memesan makan siang yang sudah terlambat memang tidak perlu berburu-buru, selain pilihan makanan yang tinggal sedikit, antrianpun sudah tidak ada. Ditiban pulung, ternyata makanan sudah habis, yang terisisa hanya beberapa potong gorengan. Rahmat mengambil satu-dua potong tempe goreng sambil melamun disela-sela kunyahannya. Tiba-tiba ingatannya menyeruak. Ingatan yang sudah terkunci bertahun tahun itu perlahan membuka. Dia ingat kenapa dia membenci boneka, selama ini dia sudah tidak mengingat masalah itu karena tidak pernah bersinggungan lagi dengan boneka.

Di masa kecilnya, opa yang tinggal disebelah rumahnya meninggal, sedangkan Rahmat tidak pernah mau kalau disuruh melayat ke pemakaman siapapun. Tapi karena ingin menghargai opa yang telah baik padanya terpaksa dia menurut kemauan Ayahnya yang marah dan mengatakan seorang lelaki tidak boleh takut.

Tertinggal dari rombongan, Rahmat berjalan menunduk menuju rumah duka, tempat beberapa jenazah warga Tionghoa disemayamkan. Sesampainya di sana, Rahmat hanya duduk diluar salah satu selasar, diperhatikannya, tidak ada seroang pun yg dikenalnya, aneh.

Pelan, disingkirkannya rasa enggan, Rahmat kecil lalu masuk dengan takut-takut, tanpa menoleh ke sekeliling. Matanya terpaku pada peti mati yang terbuat dari kokohnya kayu jati mengalihkan tujuannya untuk hanya bersalaman dengan anak opa. Kemudian dia melongok ke peti mati.

Kaget! Terbaring di sana, seorang gadis kecil yang sangat cantik dan ditemani sebuah boneka disebelahnya. Mata boneka itu melotot tajam kepadanya, dengan bibir yang menyeringai keji. Rahmat kecil semakin merasa sepasang mata itu menariknya ke dalam peti, seringai itu meledeknya. Panik, dia menyambar boneka itu dan berlari lalu melemparkannya ke sungai.

Berdiri di pinggir sungai, jantungnya berdegup kencang, saat itulah Rahmat mulai membenci boneka. Dia bukan hanya dihantui rasa bersalah tapi sepertinya arwah gadis itu menyatu dengan bonekanya.

Ingatan itu terkuak, karena degup jantung yang sama dirasakan Rahmat sekarang. Pada sekarung kumpulan boneka yang menghilang.

Brengsek!

Tidak akan dibiarkannya mereka menakut-nakuti aku seperti ini lagi. Mereka hanya kumpulan wajah dan mata yang dijahit atau dicetak secara masal. Lekas ia letakkan uang untuk dua potong tempe goreng di atas meja lalu berjalan menuju rumahnya.

Pintu depan dibukanya kasar, mereka pasti masih ada di kamar. Harus masih ada di sana! Mereka tidak boleh kemana-mana. Mereka hanya boneka. Tidak lebih.

Kakinya merasakan cairan aneh di depan kamarnya. Sedikit lengket. Ia kemudian menyalakan lampu pada kamar yang telah gelap dimakan sore. Kini ia tahu, cairan itu berwarna merah. Dan di atas kasurnya yang kempes, terbaring tubuhnya, ya tubuhnya!
1315235607_Cute_Doll
Lalu ia bisa merasakan gadis kecil di samping tubuhnya yang terbaring menoleh, gadis yang sama seperti di peti mati. Dikelilingi boneka yang seharusnya berada dalam karung yang dibawanya dari Pasar Gembrong. Dengan seringai yang mirip boneka yang terlempar ke dalam sungai. Dan darah pada tangan yang mengenggam potongan jemarinya.

Kepalanya berputar, pening.. Dan semuanya tiba-tiba menjadi hening.

***

Thema : Hening
Partner: @sweetdhee12

0 komentar: