Kamis, 07 Maret 2013

Sepuluh Purnama


“Tahun baru kita bicara lagi ya. Edo mengundang kita. Kamu jangan lama-lama di sini. Bahaya. Punya ongkos pulang, kan?” ada ketergesaan dalam nada suaranya seraya pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan yang semakin menggelap, entah untuk memastikan apa.
“Lah, lama banget, dong? Kamu kenapa panik begitu, sih? Nggak ada yang tahu aku ke sini, kok.” Aku merasa heran melihat kepanikanmu. Tapi sempat sedikit tersinggung dengan pertanyaanmu, semiskin-miskinnya diriku tentu aku sanggup membiayai hidupku, apalagi ini hanya perihal uang transport. Aku melangkah meninggalkan kamu yang sedang terbengong sendiri.
Kakiku bersiap meninggalkan ruangan itu. Sinar mentari sore yang masuk dari celah pintu membuat bayang-bayang tubuhku  memanjang. Dalam hati aku berharap kamu beranjak dari sofa coklat tua itu dan menahan kepergianku.
Langkah berat namun tak membuatku berhenti menapak. Aku masih berharap kamu mengejarku. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, itu hanya menjadi mimpiku semata. Kamu tak mungkin melepaskan egomu untuk berlari dan aku tak mungkin berbalik lagi menatapmu lagi.
Bayangan yang semakin menjulang kini menghilang digantikan gelap malam. Jalan yang remang kini diterangi lampu jalan, aku merenung. Tahun baru itu artinya tahun depan? Sepuluh bulan lagi aku harus menanti? Ah, sanggupkah aku? Pertanyaan demi pertanyaan membuatku melupakan langkah. Aku berhenti di persimpangan.
Kurogoh salah satu saku messenger bag-ku di mana tadi kuletakkan uang yang berhasil kukumpulkan tanpa sepengetahuan orang lain. Kuhitung lagi dengan cermat setiap lembarannya yang kini berada di tanganku. Ongkos untuk pulang.
Pulang adalah jawaban paling realistis yang harus aku terima dan lakukan saat ini.
Rumah? Bisakah tempat tinggal yang menampung aku tidur itu kusebut rumah? Bisakah mereka yang tinggal bersamaku itu kusebut keluarga? Bisakah makanan yang dihidangkan setiap aku lapar itu benar-benar mengenyangkanku? Aku bergelut dengan perasaanku. Aku berharap semua cepat berlalu. Tapi kamu tetap menyuruhku menunggu Tahun Baru hanya untuk sekedar berbicara.
Hatiku perih melihat sorot ketakutan dimatamu tadi. Aku  sebenarnya memahami ketakutan kamu yang seperti itu? Aku tak bisa mengenyahkan pikiranku yang harus bergantung dari keberanian kamu. Kemudian kulanjutkan lagi melangkah menuju halte bus sambil menggenggam uang yang cukup banyak untuk perjalanan pulang ini.
Bus besar berwarna biru muda yang mulai memudar warnanya dengan asap hitam membumbung ke langit itu akan membawaku ke rumah. Sengaja aku memilih transportasi ini karena aku ingin menikmati kebebasan,kebebasanku yang meskipun hanay sedetik.
Di saat jam pulang kantor begini rupanya masih ada bangku kosong yang tersisa untukku. Dengan satu hentakan keras yang dibuat si supir, bis yang kutumpangi pun melaju ke arah selatan.
Mataku terpejam dan ingin melupakan semua pembicaraan bersamamu tadi. Aku hanya berharap rasa yang pernah ada untukmu menguap seperti sifatmu yang pengecut. Tapi tidak bisa,aku tidak bisa menyuruh hatiku untuk membenci kamu. Kurasakan laju bus melambat dan berhenti,berjalan lambat. Aku masih tak membuka mata . Aku tenggelam dalam anganku, beberapa tahun lalu pertemuan kita . Aku melihatmu begitu tertarik memandangku. Aku tidak tersinggung dengan cara kamu memandangku. Aku sempat tergetar hebat melihat senyum menawanmu. Senyum yang bisa aku artikan senyum perkenalan itu. Saat itu aku merasakan getar dan membuatku tersenyum malu. Aku menyadari aku mulai menyukai kamu. Senyummu membuat aku melupakan siapa kamu dan siapa aku sebenarnya.
Kamu menjabat tanganku dan aku merasakan hangat genggamanmu,membuat aku merenggut kecewa saat kau menarik tanganku cepat karena Edo mengingatkan kamu untuk menjaga sikap. Kamu dan Edo, nama sahabatmu, memandangku seolah aku primadona di ruangan itu.
Edo! tersentak aku mengingat nama itu, hanya dia yang mengerti tentang kita. Aku tidak tahu ada apa denganmu kini. Ketakutan yang seharusnya sudah tidak membuatmu seperti itu? Apa sebenarnya yang meliputimu? Aku menahan diri beberapa tahun bertahan mengharapkan senyum dibibirmu tidak pudar.
Dan kedua mata itu yang dulu penuh pemujaan dan menjanjikan perlindungan bagiku atas semua kesulitan hidup yang kutanggung kini seperti menjauh.
Aku berhenti di depan rumah. Lagi aku berfikir apakah ini rumah? Aku berharap kamu membawaku menjauh. Kupandangi rumah mewah yang menjulang indah. Rumah seperti istana, tapi aku seperti terpenjara saja. Aku memandang pantulan wajahku dari cermin kecil. Kusut dan kuyu seperti tak berjiwa.
Kuusapkan bedak dan sedikit lipstik untuk membuatku tampak segar. Aku tak ingin dia tahu aku habis bertemu denganmu. Aku harus memasang senyum palsu untuk mengecohnya. Aku berlatih sebentar. Ah, aku sepertinya layak mendapatkan piala sebagai artis berbakat. Aku melangkah dan membuka pintu. Hati rasanya ingin menjerit. Aku harus memerankan peran ganda lagi.
Aku selalu menghibur hati ini. Tidak lama lagi aku akan pergi. Tahun baru tidak lama,seuluh bulan pasti akan cepat terlewati.
Belum lagi pintu pagar tuntas kudorong, seseorang sudah menumbukkan dirinya padaku. Kedua tangannya berusaha keras dilingkarkan pada pinggangku. Sesungging senyum manis kemudian membingkai wajahnya yang mungil.
Kubalas senyumnya. Ah, cintaku kamu menyambut mama . Kukecup pipi gembilnya yang selalu bersemu merah dan kuelus rambut hitam legamnya yang kini diikat dua. Andai kamu tahu karena dirimulah aku akan berjuang pergi dari sini. Andai kamu tahu penantian panjangku adalah untuk membesakanmu. Aku harus seterus bersabar untuk menunggu waktu.
Di ujung mataku, aku melihat pria yang tersenyum tipis memandangku. Senyum kemenangan. Apakah dia telah menerima laporan dari antek-anteknya tentang pertemuanku. Kamu dan Edo bisakah lebih cepat membebaskan aku dari lelaki penguasa tubuhku ini? Ah, kamu! Ingin menjerit aku melihat senyumnya yang munafik itu.
Kamu membiarkan aku menunggu lagi. Aku hampir menjerit menamparmu tadi. Kalau aku tidak tahu betapa berkuasanya lelaki ini pasti aku akan mengatakan kamu lelaki pengecut.
Aku membalas dengan senyum kaku. Aku tak ingin menyerah berjuang. Cukup lama penantianku, tak akan aku biarkan sia-sia dan menyerah dari kurungan nafsunya. Aku akan membuatnya menyesal telah menjadikan tubuhku ladang uang baginya. Aku akan bertahan dan bertahan untuk berjuang membebaskan diriku.
<>
Tulisan kolaborasi antara Pagita dengan Aini a.k.a @baelovesee dalam rangka menyemarakkan kegiatan #AWeekofCollaboration. Saya mengikuti acara ini pun sudah terlambat, dua hari sebelum tanggal kegiatan berakhir saya baru bergabung. Oleh salah satu penggagasnya, @wulanparker, saya dikenalkan dengan Aini *dadah-dadah kepada yang tinggal di Manado sana*
Bisa dikatakan dalam hitungan satu hari tulisannya sudah kelar. Sayangnya, saya ini banyak “mandek”-nya. Sementara Aini lancar jaya menuliskan setiap kalimat yang menjadi bagiannya. Panjang-panjang lagi.
Maka, demikianlah tulisan di atas itu lahir di bawah tema: penantian.

0 komentar: