Rabu, 08 Mei 2013

Rendezvous

                                       Lanjutan : Yang Tak Tersisa


 Minggu kedua bulan Desember. Hujan dimana-mana dan sedang dalam masa puncaknya. Sejak dahulu Kaira selalu menyukai hujan namun banyak peristiwa yang membuatnya merasa tak lagi mencintai hujan. Hujan seperti kenangan yang ditumpahkan langit kepadanya. Memori masa lalu selalu saja terbawa pada tiap tetes air hujan. Mungkin jika memori itu tak berkaitan dengan Saga, ia akan lebih bisa menikmati hujan. Tapi tidak, Saga adalah hujan yang memenuhi seluruh ingatan dan benaknya sekaligus menyesaki dadanya hingga ia tak pernah bisa bebas bernafas jika mengingat tentangnya.

 Sebatang rokok yang terselip di bibir mungilnya segera dilemparkannya ke tempat sampah. Saga, karena dialah yang membuatnya berhenti menghisap asap itu. Sedang apa kamu? Kaira bertanya dalam hati. Matanya tak berhenti menatap tetes air yang melewati jendela kaca besar di Galeri milik sahabatnya.
Tak pernah dia berniat melupakan sosok yang pernah memeluk hangat jiwanya. Saga satu nama yang selalu mengusik harinya namun tak mungkin dirasakan rengkuhan hangatnya lagi. Kaira membasahi bibirnya. Terasa hangat saat bayangan Saga yang dengan mesranya menyentuh dan memeluknya erat.

 Ah Saga, Haruskah aku menyesali segala pilihan yang aku buat tentangmu?

Telah hampir satu setengah tahun ia tak mendengar kabar apa pun tentang Saga. Keputusannya untuk menyudahi hubungan mereka yang tanpa ikatan itu membuatnya menghilang dari Saga. Berpindah apartemen dan kota berusaha untuk tak mengetahui segala macam yang berkaitan dengan pria itu, mencari ketenangan akan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa artinya.

Kaira menyadari apa yang dirasakannya sebelum dirinya meninggalkan Saga adalah sesuatu yang tak pernah ia sangka. Perasaan nyaman dan keinginan memiliki yang begitu besar membuat Kaira hilang kendali atas hatinya sendiri. Ia merasa gamang karena melihat sikap Saga yang tak sedikitpun menunjukkan keseriusan mengubah hubungan menjadi lebih besar.

Air mata menetes membasahi pipi Kaira. Cengeng. Satu kata yang selalu Kaira gunakan untuk membenarkan sikapnya kini. Semenjak perpisahan dulu Kaira menjadi seseorang yang lain. Selalu rapuh dan ingin menumpahkan segalanya dengan air mata. Kehilangan Saga membuat Kaira tak bergairah dalam menjalani kehidupan. Dia bekerja hanya untuk menuntaskan kewajiban. Dia makan dan minum pun karena itu yang mampu membuatnya bernapas. Kehadiran Saga dalam mimpi Kaira membuat Kaira mengingat segala kebersamaan yang pernah terangkai. Sebuah kenyamanan yang dulu didapat tak lagi terasa nyaman. Sebuah cinta yang hanya dia berikan namun tak pernah ia terima kembali. Mengenang Saga membuatnya berkali-kali menghela napas dengan berat.

"Na, aku balik yah," ucap Kaira dengan agak sedikit kencang kepada Nana sahabat barunya di kota itu.

"Masih hujan, Kai. Tunggu sebentar lagi deh." Nana berusaha melarang Kaira untuk tidak nekat menembus hujan. Namun rupanya Kaira memang tak dapat dilarang kali itu, entah mengapa seperti ada magnet yang menariknya untuk menyapa tetesan hujan di luar sana yang begitu derasnya.

Nana hanya melihatnya dari balik kaca jendela dengan wajah keheranan. Setahunya sejak berkenalan dengan Kaira, perempuan muda yang menjadi sahabatnya itu tak pernah menyukai hujan dan keadaan setelahnya. Ini pertama kali ia melihat Kaira berada di luar ditengah hujan yang membuat semua orang menepi di pinggir jalan atau singgah beberapa saat ke dalam sebuah Coffee Shop untuk sekedar menghangatkan tubuh dari rasa dingin yang menggigit hingga ke dalam tulang.

Kaira berlari menerjang tetesan air yang semakin deras. Kaira melangkah dengan sebuah gumaman yang hanya ditujukan untuk dirinya.

Aku membenci hujan , karena hujan telah mempertemukan aku denganmu. Kini aku akan menerjang hujan lagi. Andai ada kesempatan kedua, aku ingin bertemu denganmu Saga. Aku ingin bertemu denganmu di bawah hujan. Agar segala luka luruh dan terhanyut derasnya air. Kaira bergumam diantara desiran air yang menyentuh pipinya.

Sagaaa! Kaira menjerit dalam hati dan berakhir dalam sebuah Coffee Shop. Pakaiannya telah basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan. Haruskah aku melangkahkan kaki dan berharap berjumpa dengan Saga? Kaira mengibaskan rambutnya. Mimpi yang tak mungkin menjadi nyata.

***
Hujan masih begitu derasnya mengguyur bumi. Satu-satu wajah mereka menjadi kesal dan resah. Ada rasa cemas akan janji yang tak bisa ditepati, ada takut akan basah yang tak bisa dihindari, ada khawatir akan terlambat tiba di rumah masing-masing. Namun ada satu wajah yang begitu bahagia ketika air-air dari langit membasahinya kini. Senyum di wajahnya begitu jelas tergambar, ia seperti seorang anak kecil yang tak dilarang bermain hujan. Saga kini sangat menyukai hujan. Hujan mengingatkannya pada perempuan cantik yang selama setahun lalu pernah menemaninya. Perempuan yang tanpa ucapan selamat tinggal telah meninggalkannya begitu saja.

Saga berdiri diantara deretan orang-orang yang berteduh di pelataran sebuah Coffee Shop, matanya menangkap sesosok perempuan yang sedang mengibaskan rambutnya yang basah. Seluruh tubuhnya basah kuyup, disaat semua orang mencari tempat berteduh ia malah berlari di bawah air hujan. Perempuan yang sangat Saga kenal dan hafal, Kaira.

Saga tak mungkin salah mengenalinya. Perempuan yang menggigil itu Kaira, orang yang tak pernah bisa dilupakannya. Saga ingin menyapa dan merengkuhnya dalam pelukan. Namun segala rindu dia pendam. Rasa sakit atas kehilangan cinta membuat Saga mengurungkan niatnya. Dipandang tubuh mungil Kaira. Tidak ada yang berubah, kecuali kelihatan sedikit lebih kurus. Apakah Kaira masih mengingat kebersamaan yang dulu? Saga masih memandanginya bahkan saat Kaira melangkah memasuki Coffee Shop itu dan menghilang dari pandangannya. Saga bimbang, berlari menyusul Kaira atau membiarkan masa lalu tetap tersimpan di dalam memory terdalamnya.

***

Coffee shop, meja di dekat jendela dan hujan yang deras persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya, itulah yang terlintas dalam benak Kaira. Aroma Cappucino yang hangat menyeruak masuk diam-diam dalam indera penciumannya, kembali membawa ingatannya akan Saga. Pria itu sangat menyukai Cappuccino sebuah sajian minuman kopi khas Italia yang terdiri dari espresso, susu cair dan busa susu di atasnya.

Menikmati secangkir Cappuccino hangat sejenak membuat tubuhnya yang menggigil karena air hujan itu juga menjadi hangat. Kaira menarik napas panjang beberapa kali dan menatap kearah luar jendela yang mengembun karena air hujan yang menetesinya. Sambil mengaduk-aduk kopi di hadapannya tatapannya menjelajahi Coffee Shop yang semakin ramai itu. Terdengar bunyi nyaring lonceng yang dipasang di pintu masuk, seorang pengunjung pria melangkah masuk dengan wajah kebingungan. Ketika Kaira baru saja menyadari siapa pemilik wajah itu, kedua mata pria itu sudah terarah lurus padanya yang mengakibatkan jantung Kaira berdebar sangat kencang. Dirasakan wajahnya menghangat karena itu semua. Ia berusaha menyembunyikan dirinya yang panik karena pertemuan yang tak terduga ini.

Saga, itukah kamu? tanya Kaira dalam hatinya.

Saga memandang ke satu arah. Seorang yang dirindukan siang dan malam kini tinggal sejengkal untuk digapai. Saga menatap lekat sesosok cantik dihadapannya. Tidak ada yang berubah, hanya kali ini Kaira menatap kosong. Tak ada sketsa yang di gambar. Tak ada earphone besar yang menutup telinganya. Hanya seorang perempuan yang duduk sendiri di dekat jendela dan sedikit menggigil. Seperti dejavu, semua melintas di kepala Saga. Saga melangkah dan mendekati Kaira yang masih asyik dengan lamunannya. Kaira kamu selalu terlihat cuek dengan sekitarmu. Saga tersenyum mengingat tentang Kaira.

Itu memang benar Saga, jawab hatinya sendiri. Kaira membuang pandangannya, ia tak mau Saga benar-benar menyadari bahwa dia lah yang sedang duduk di sini. Detak jantungnya semakin terasa kencang terutama ketika sosok itu kian mendekat dan tepat berdiri di samping mejanya. Saga menyapa dengan suara parau.

"Kaira."

Semua kejadian begitu cepat terjadi, bahkan jika saja tadi ada beberapa menit waktu untuknya lari menghindari pertemuan ini pasti akan Kaira lakukan. Namun ia sudah terlanjur terperangkap dalam sapaan Saga.

Kaira mengangkat kepalanya dan melihat Saga dengan wajah yang tak dapat dijelaskan dengan pasti. Kaira tersenyum takut-takut kepada Saga dan menyilahkannya untuk duduk di depannya.
"Kai, apa kabarmu?" tanya Saga terburu-buru seolah ia takut jika Kaira akan pergi lagi.

"Aku, baik Ga." jawab Kaira pendek.

Tanpa dipersilahkan lagi Saga menjatuhkan tubuhnya ke sebuah kursi tepat di depan Kaira.
"Kamu kurusan Kai?" Meskipun terkesan basa-basi namun Saga memang bertanya hal itu. Saga memandang Kaira lekat dengan tatapan menusuk. Segala kerinduan akan sosok perempuan yang dulu selalu didekapnya itu membuatnya kehilangan kata-kata lagi. Tak ada kata yang terucap. Hanya mata Saga telah mengungkapkan segala kecamuk yang ada dibenaknya. Kaira masih menggigil, entah karena air hujan atau karena tatapan Saga.

"Saga," Kaira memanggil Saga dengan lirih, "Kamu sedang apa di sini,Ga?" tanya Kaira kemudian.

Yang diberi pertanyaan hanya diam terpaku tanpa keinginan menjawab. Saga hanya terus memandang Kaira lekat-lekat, entah apa yang dipikirkannya saat itu. Kaira pun sama diamnya, ada kecanggungan luar biasa antara mereka seolah mereka tak pernah saling mengenal sebelumnya. Setelah beberapa bulan mereka berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing tanpa ada komunikasi apapun ternyata membuat mereka seperti menjadi orang asing. Mungkin itu memang yang terlihat sekilas dari mereka namun hati keduanya tidak seperti itu. Hati mereka saling bertanya tentang apa dan mengapa, tentang alasan dan sebab perpisahan, tentang rasa yang mereka sama-sama pendam tak terbilang.

"Aku...," sebuah jawaban keluar dari bibir Saga. Terdengar begitu berat dan seperti enggan terucap, menggantung di udara. Kaira menatap Saga diam-diam, ia begitu ingin mendengar kelanjutan dari jawaban pria itu. Namun Saga memilih untuk tak melanjutkan kata-katanya, ia malah memanggil seorang pelayan dan memesan Double Espresso.

Diliriknya Saga, wajah pria itu sepertinya menyimpan banyak pertanyaan dan jawaban sekaligus. Kaira benar-benar tidak siap dengan pertemuan ini, ia belum menyiapkan jawaban-jawaban yang bisa saja akan Saga tanyakan. Dan ia tak pernah siap untuk memberikan jawaban yang sebenarnya.
Saga menyesap Double Espresso pesanannya. Kali ini bukan Cappuccino yang menjadi favoritnya, ia butuh rasa pahit dari kafein yang lebih keras yang disajikan.

Kaira memperhatikan gerakan Saga, ia tersentak ketika sekilas terlihat ada benda melingkar di jari manis Saga ketika dirinya mengangkat cangkir kopinya. Jantung Kaira berdetak lebih kencang dari pertama kali ia melihat Saga di kafe ini. Tapi bukan detak berirama yang menyenangkan, melainkan detak tak berirama yang membuatnya sakit dan merasakan sesak di bagian dadanya.

Bagi Saga tak ada yang lebih pahit karena ditinggalkan Kaira begitu saja tanpa pesan ataupun kabar dan bertemu kembali di saat seperti ini, saat ketika ia memutuskan melupakan Kaira dan mencoba menjalani hubungan baru dengan perempuan lain, Dinda. Double Espresso ini hanyalah sebuah candu yang ia suntikkan setiap kali mengingat Kaira, bahwa sepahit apapun yang dirasakan akan selalu ada penawarnya.
Suara musik yang mengalun di seluruh ruangan membuat Kaira semakin sesak. Ia merasakan sekelilingnya seperti berputar. Segala emosi bercampur aduk di dada Kaira, berbagai skenario cerita tentang Saga berkecamuk dalam benaknya. Dan ia meyakini jika Saga sudah memiliki perempuan lain dalam hidupnya, cincin yang melingkar di jari manisnya adalah bukti nyata semua itu.

Ah, Saga, mungkin kali ini pun aku harus pergi kembali. Bukan karena aku takut mencintaimu, namun karena aku begitu sakit melihat kenyataan yang ada di hadapanku. Kamu memang tak pernah mencintaiku. Bahkan waktu disaat kita berpisah tidak membuatmu mencariku atau mengejarku mempertanyakan alasan mengapa aku pergi. Kamu tetap menjalani hidupmu dan menjalin hubungan dengan perempuan lain. Perempuan itukah, Ga? Nadia, yang pernah menemuimu dulu. Kalian ternyata berjodoh dan aku begitu bodoh masih mengharapkan kamu juga mencintaiku. Aku ikut bahagia kalau kamu bahagia, tapi benarkah aku akan bahagia jika kamu tak bersamaku, Ga? Ucap Kaira dalam hati.

"Aku pergi dulu, Ga. Ada urusan yang sangat penting yang harus aku datangi." Kaira membereskan tas dan menaruh sejumlah uang di atas meja. Saga terkejut namun tak bisa mencegah Kaira pergi dan berlalu meninggalkannya seperti dahulu. Ia hanya menatap kepergian Kaira dengan hati yang hancur untuk kedua kalinya. Bukan karena ia merasa Kaira tak pernah mencintainya namun karena ia tak mampu mengejarnya. Ada wajah Dinda yang terus membayanginya yang terpantul dari cincin tunangan yang dikenakan olehnya.

--

Tulisan Kolaborasi Aini W.K dengan Indah Lestari

0 komentar: