Minggu, 14 Juli 2013

Kenangan Terindah



Aku dan kamu menegenal satu sama lain memang belumlah lama. Tapi bagiku perkenalan denganmu seperti sudah bertahun-tahun lalu. Mungkin aku dan kamu adalah sepasang kekasih dikehidupan sebelumnya. Ah aku melantur lagi.

Pertemuanku denganmu dirumah sakit. Ya aku dan kamu sedang menjalani perawatan. Kamu sungguh terlihat bersemangat saat aku melihatmu. Bermain bersama anak-anak kecil itu membuatku penasaran akan sosokmu. Sepertinya detik itu juga aku jatuh cinta padamu. Dengan bantuan adik kecil yang ku ketahui bernama Minha aku berkenalan denganmu. Ah dan detik itu juga aku memanggil kamu dengan sebutan gadis ceria . karena kamu tampak bersinar luar biasa. Senyummu seolah mengabarkan kepada dunia tak ada kesedihan yang mampu mengusikmu. Bahkan penyakit yang sekarang sedang duduk manis didalam tubuhmu tak bisa mengalahkan senyum bahagia yang kamu hiaskan.

Perkenalan singkat namun sungguh berkesan. Aku dan kamu menjadi akrap satu sama lain. Seluruh penghuni panti ini seolah memberi restu untukku dan kamu. Mereka ikut menari riang mendengar kebersamaan kita.

Ada peristiwa yang tak kuceritakan. Aku sekarang menjadi seorang tuli . karena kecelakan mobil kepalaku terbentur cukup keras. Dan semenjak itu aku kehilangan pendengaranku. Namun sekarang aku bisa mendengar sekitarku berkatmu Sunny. Karena kamu berkata “ ketulian tak menghentikan kita untuk mendengar. Kalau kita benar-benar mencintai hidup kita pasti bisa mendengar dengan hati.” Ah semenjak itu aku selalu berusaha mencintai hidupku dan mendengarkan sekitar. Suara yang sempat menghilang dari kehidupanku seolah kembali mengalun merdu. Seperti ada simfoni musik yang mengiringi setiap langkahku.

“ Sunny peristiwa apa yang paling membahagiakan dalam hidupmu?” Aku bertanya saat kita menikmati senja berdua diteras dan hanya mendapatkan senyuman manis yang membuatku semakin melayang.

Aku dan kamu berbagi kebahagiaan bersama dengan adik-adik yang sepertimu. Mereka hidup dalam penyakit namun tak sedetikpun mereka membiarkan kesedihan menghantui hati mereka. Mereka sadar kehidupan yang singkat harus diisi dengan kebahagiaan. Berpetualang dalam segala hal. Karena hidup adalah petualangan atau tidak akan berarti apa-apa.

Setiap tawa yang hadir saat bersamamu akan selalu membuat dunia ikut bergetar. Namun saat seperti itu kadang terusik dengan kenyataan. Kenyataan yang harus kita hadapi.
Aku bersedih saat tiba-tiba kondisimu menurun. Kamu menangis dipelukanku dan meracau dengan segala ketakutanmu.

“Jangan tinggalkan aku Rey. Aku tak ingin kamu tinggalkan aku.” Isakmu saat itu. Aku memelukmu dan berjanji jika tak bisa hidup bersama maka aku dan kamu akan meninggal bersama.  Namun saat rasa sakitmu menghilang kamu akan berkata sebaliknya.
“Bagaimana kalau kita memilih hidup bersama daripada mati bersama? Aku tidak takut dunia ini berakhir tapi aku takut dunia ini tak dimulai.” Ah Sunny kamu memang gadisku. Gadis ceria yang penuh semangat luar biasa.

Aku dan kamu tak ingin melewati waktu dengan sia-sia. Setiap mimpi adalah aku dan kamu. Mimpi jadi kenyataan. Aku ingin melihat cermin dari surga bersamamu karena aku dan kamu akan bahagia. “ Maukah kamu menikah denganku Sunny? Aku tahu setiap orang memiliki mimpi masing-masing. Dan aku membutuhkan kamu untuk mewujudkan mimpiku.”

Aku dan kamu sedang mempersiapkan pernikahan . Ku lihat wajahmu yang berseri-seri seperti biasanya. Aku menatap cermin dan berbisik dalam hatiku . Aku akan mempertahankan senyum itu tetap dibibir mungilmu. Hidupku dan kamu akan selalu bahagia selamanya.

Tapi takdir tak memberi waktu lebih . Saat puncak kebahagiaan yang sebentar lagi akan terucap, janji sehidup semati yang akan kami ikrarkan tinggal sedetik, kamu menghembuskan napas terakhir. Kamu sangat cantik seperti sedang  tertidur . Sangat cantik dan terlihat damai mengenakan baju pengantinmu. Aku menjerit dan memanggil namamu. Memanggilmu untuk kembali . Namun kamu tetap diam dan aku hanya bisa mendekap tubuhmu dengan erat.

Aku tahu, akhir seperti ini akan terjadi. Tapi aku tidak menyesal, karena kehadiran kamu akan selalu menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan yang tak mungkin aku lupakan. Kebahagian singkat yang pernah kita miliki bersama. Aku terisak didepan batu nisanmu.

*

Rey jangan menangis. Jangan menangis. Aku belum memberitahumu. Hal yang membahagiakan dalam hidupku adalah bisa menikah denganmu. Aku bahagia karena kini aku melihat dalam cermin di surga.

#14DaysofInsoiration Tema : Kebahagiaan




Kamis, 11 Juli 2013

Tentangmu




Rindang melepas kacamata dan memejamkan mata. Jalan yang macet membuatnya bisa memejamkan mata walau hanya sekejap. Puasa pertama namun beban yang pernah dipikulnya seolah kini berdesakan untuk dilepaskan. Pikirannya melayang pada masa yang bisa disebut titik balik hidupnya.
Tiga tahun lalu serasa baru sekejap mata. Rindang hanya bisa mendesah dan melepaskan napas yang sampai kini masih sering membuatnya sesak. Saat itu hari rabu dan seolah tak akan pernah Rindang lupakan semasa hidupnya.

Rin apa kabar?

Rindang sedikit kaget dengan sapaan yang dilontarkan Samuel. Kekasihnya. Ah, masihkan bisa disebut kekasih sedangkan sudah kurang lebih  dua bulan komunikasi antara dirinya dan Samuel seakan berhenti sama sekali.

Rindang masih terdiam, karena tak tahu har
us menjawab apa. Hampir dua bulan ini hatinya tak menentu, namun diamnya langsung terusik dengan pertanyaan Samuel selanjutnya.

Rin, kenapa kamu diam saja?

Aku baik-baik saja Sam. Kenapa kamu menelponku?

Kamu sahur dengan apa hari ini?

Rindang memutar bola matanya, heran dengan Samuel yang tak langsung menjawab pertanyaannya. Namun dituruti saja permainan Samuel. Menjadi kekasih pria itu selama enam tahun membuatnya mengerti sifat Samuel. Saat Samuel tak menjawab pertanyaan dan membalikkan pertanyaan baru, saat itu pasti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Rindang sudah hapal betul.

Kenapa Sam? Kamu sudah menikah? Rindang terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkannya sendiri. Namun melihat gelagat Samuel yang tidak seperti biasanya membuatnya tak ingin terlalu lama menebak. Samuel terdiam yang membuat Rindang semakin yakin atau semakin mendekati kalau tebakannya benar.

Kapan?

Rindang hanya mendengar desahan napas Samuel sebelum suara pria itu menggema di pendengarannya.

Sehari sebelum puasa. Maaf Rindang tapi kita masih bisa berteman kan? Aku tak mungkin bisa melupakan dirimu.

Rindang tak membalas ocehan dan permintaan maaf Samuel. Hatinya sakit, selama enam tahun dan harus berakhir seperti ini? Samuel memutuskan hubungan dengannya hanya melalui telpon di pagi buta. Rindang masih berharap tak mendengar semua dugaannya benar. Kalaupun Samuel akan menikah setidaknya sehabis lebaran. Bukan sebelum puasa. Namun semua telah terlambat untuk menyesali.

Baiklah, semoga kamu bahagia.

Kita masih bisa ketemu kan Rin? Rindang ingin membalas masih bisa karena cintanya pun masih besar untuk Samuel. Tapi dengan mengeraskan hati Rindang hanya menjawab singkat.

Kamu egois Rin. Kamu tahu tidak kenapa aku menikah dengan wanita lain? Karena selama bersamaku tak sekalipun kamu mengungkapkan cinta. Aku laki-laki pun butuh kepastian Rin.

Selama enam tahun dan kamu meragukan cintaku? Rindang hampir menjerit meneriakkan kata makian. Namun ditahannya, Samuel butuh orang untuk disalahkan. Samuel butuh pembenaran atas tindakannya.

Aku menikah, kamu tahu? Karena wanita itu memintaku. Dan aku menyetujuinya. Karena kamu tidak pernah merespon sinyal yang aku berikan.

Tidak pernah merespon dia bilang? Ah apakah aku salah mendengar? Bukankan tiga bulan lalu sebelum kami ribut dan putus komunikasi Samuel berkata ingin melamarku? Mengapa sekarang seolah hanya diriku yang bersalah.

Dibiarkan Samuel menumpahkan keluh kesahnya selama bersamanya dan menyalahkan atas semua pilihannya.

Kita masih bisa ketemu kan? Pertanyaan itu lagi, namun kali ini Rindang menjawab dengan tegas.

Tidak! Dan setelah telpon ini kututup, aku dan kamu tidak ada hubungan apa-apa lagi. Jangan pernah hubungi aku ataupun menemuiku lagi!
Kamu memang egois. Kudengar Samuel berkata sebelum menutup telponnya. Setelah telpon ditutup air mata Rindang mengalir. Rindang menangis, cintanya yang  dijaga harus kandas.

**

Rupanya janji Rindang yang tak membiarkan Samuel menghubungi adalah janji yang tak bisa ditepati. Saat Samuel menelpon dengan sedikit sedih Rindang menjawabnya. Namun Samuel tidak ingin menyerah. Samuel ingin bertemu dengan Rindang sebagai teman. Rindang tak ingin menemui Samuel. Rindang tak mempercayai hatinya. Rindang tak yakin saat pertemuan terjadi dia bisa mengendalikan hatinya. Rindang tak ingin berselingkuh dari pria yang kebetulan masih dicintainya. Benar kata Samuel Rindang pengecut karena tak berani menemuinya.

Lebaran kali ini Rindang harus menahan sakit hati karena pengkhianatan Samuel. Rindang tak ingin mengenang Samuel, namun hati mana bisa ditipu. Hati Rindang seolah menjerit karena merindukan kehadiran Samuel. Selama ini Samuel selalu menemani, meskipun tak selalu disisinya namun Samuel selalu menemani saat Rindang ketakutan. Telpon setiap malam membuatnya kecanduan.

Karena melamun saat menyetir Rindang tak bisa mengendalikan mobilnya. Rindang tak bisa menjelaskan apa yang dirasakan. Ia Hanya mengingat seperti melayang dan tiba-tiba semua telah berhenti. Benturan mobil dan tembok membuat Rindang terdiam. Dengan ketenangan yang rindang sendiri tak tahu datangnya dari mana namun membuatnya bisa mengambil keputusan. Rindang langsung meminta bantuan dan menelpon ke rumah. Ayahnya menjemput namun hanya memandang dengan wajah datar. Rindang berharap ayahnya tak marah dengan kerusakan yang diperbuatnya.

Kamu bisa menyetir sampai Rumah? Rindang mengangguk dan kemudian menyetir mobil yang depannya sudah hancur. Rindang wajib berbangga dengan ketenangan yang dimilikinya.

**

Rindang memangis sejadi-jadinya. Kenapa dia harus melamun dan memikirkan Samuel lagi. Rindang frustasi dan tak bisa menahan emosinya. Belum dua bulan semenjak ditinggal Samuel lagi-lagi dia terkena musibah. Kali ini tak sadarkan diri dan harus dilarikan ke rumah sakit. Rindang harus dirawat karena lambungnya terluka.
Rindang  harus melupakan Samuel kalau tak ingin tersiksa. Maminya mendekati dan berkata bahwa hidup itu pilihan, saat kita memilih melupakan seseorang, lupakan dia dengan tuntas. Jangan ragu untuk menghapus kenangan itu. Hidup masih panjang, ketika orang yang kita cintai meninggalkan kita rasa sedih wajar ada, namun anggaplah kita sedang kehilangan mainan. Kamu tidak mencintai dia dari hatimu, kamu  sedih karena kamu kehilangan mainan itu.

Rindang ingin tertawa mendengar ucapan maminya. Mana mungkin cinta seperti diibaratkan mainan. Namun setelah dipikir-pikir itu hanya sebuah kata kiasan bukan? Kata mainan hanya untuk menunjukkan kalau kita akan mendapatkaan pengganti cinta yang baru bukan? Rindang tersenyum dalam tangisnya.

Semua seperti ditakdirkan. Beberapa bulan setelah kejadian menyakitkan Rindang harus memutuskan prioritas hidupnya. Kalau dia masih bertahan di Jakarta  pasti akan selalu diteror oleh Samuel. Kebetulan promosi dari kantornya seperti jalan keluar bagi Rindang. Rindang sudah lelah dengan kelakuan Samuel yang setiap malam menelponnya lagi mengajaknya bertemu. Rindang takut Samuel nekat menemui dan berdiri dihadapannya.

Mi, Rindang mau pindah. Mau keluar pulau dan mungkin hanya setahun pulang ke Jakarta. Ijinnya kepada orang tuanya. Orang tuanya hanya mengangguk dan mengiyakan.

Mami bangga sama kamu Rin, kamu berani mengambil resiko untuk jauh dari keluarga. Mami hanya bisa berdoa semoga kamu bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Mami percaya kalau kamu sudah memutuskan sesuatu kamu akan menjalani dengan segala resikonya. Jangan biarkan omongan orang mempengaruhi keputusanmu Rin. Karirmu saat ini sedang bagus, mami senang. Namun saat kamu menemukan seseorang yang sesuai menikahlah. Jangan korbankan pernikahan untuk karirmu. Namun jangan sekali-kali kamu menikah karena hanya mengejar status dan mengorbankan karirmu. Rindang mengangguk dan mencatat semua ucapan maminya.

***

Din din
Suara klakson mengagetkan Rindang dari lamunannya. Tiga tahun seperti terhempas kembali ke masa kini. Tangannya dengan cekatan melepaskan hand rem dan segera memasukkan kopling dan menginjak gas dengan pelan.
Rindang tersenyum, saat ini kehidupannya baik-baik saja. Keberanian untuk meninggalkan zona nyaman yang dulu ditakutkan ternyata berbuah manis. Langkah yang dulu berat untuk memutuskan jauh dari orang tuanya sepertinya tak akan pernah disesali. Ridang semakin tersenyum lebar ketika bayangan seorang pria yang kini menjadi kekasihnya melintas dalam benaknya.

Ya, Rindang mendengarkan apa kata Samuel tiga tahun lalu, seorang pria pun butuh kepastian, apakah wanita yang dicintainya juga mencintai. Maka dengan keberanian  yang sedikit membuatnya bergetar Rindang mengungkapkan cintanya kepada pria yang kini mencuri hatinya. Dan tanpa disadarinya rasa sakit karena ditinggal Samuel kini tak pernah dirasakan lagi.


#14DaysofInspiration tema : Keberanian

Sabtu, 18 Mei 2013

REVIEW PAPER ROMANCE




Penulis  : Lia Indra Adriana
Penerbit : Haru
Hal : 376
Cetakan : April 2013
sipnosis :

KEV MIRROW, PENULIS BESTSELLER PULANG KE INDONESIA DAN MENEMUKAN INSPIRASINYA KEMBALI DARI SEORANG WANITA!


To: Arie@majalahStarIndonesia.com

From: Kev@kevmirrow.com

Mengenai artikel yang Anda tulis, saya ingin meluruskan beberapa hal:
Saya tidak pernah kehilangan ide menulis, saya hanya vakum menulis sementara
Eliana Candra, cewek yang mengaku sebagai pacar saya sebenarnya adalah asisten saya. Namanya saya gunakan sebagai tokoh utama di novel terbaru saya karena saya ingin menghukumnya (saya tidak ingin membahasnya)
Saya masuk ke rumah sakit karena kecelakaan mobil beruntun, bukan karena tidak konsentrasi saat menyetir!


Kev Mirrow membaca ulang email yang hendak ia kirim. Dahinya berkerut, ia berpikir keras. Lalu sambil mendengus ia menghapus semua hasil ketikannya, menggantinya dengan sebaris tulisan:

Terima kasih telah menepati janji Anda mengirimkan hasil wawancara. Tidak ada yang salah, Anda boleh memuatnya di majalah.

Fufufu... Selesai juga baca Paper Romance, butuh beberapa hari karena kesibukan .

Hmm Sudah lama Lia tidak menulis seting indonesia. Dan saya sudah hampir melupakan kalau dia pun akan menulis lagi seting yang berlatar di Indonesia.  Saya sungguh penasaaran dengan isi novel ini saat Lia berkata, tidak ada Korea-Korea nya.
Namun menurut saya yang ngakunya fans setia ini, tetap ada cita rasa Koreanya. Saya  tetap membayangkan para tokoh adalah orang Korea. Dan 3 kata mewakili ungkapan saya , suka sama ceritanya.

Paper Romance sendiri  menceritakan seorang penulis yang angkuh dan arogan. Untunglah penulis yang bernama Lia ini ga seangkuh Kev.

Kev Mirrow sang tokoh utama mengingatkan saya sama tokoh novel lain terjemahan penerbit Haru, 4 WAYS to GET a WIFE . Arogan,keren,songong namun saya dibuat jatuh cinta sama karakter ini. jarang-jarang lo saya bisa jatuh cinta sama tokoh utama yang di tulis Lia.

Diceritakan Eli yang sedikit agak-agak… ,apa ya bahasa yang pas buat menggambarkan Eli ? Penakut atau malas ribut, atau anak yang baik hati saja. Kalau boleh jujur saya membayangkan Eli adalah penjelmaan Lia si penulis. Peluk-peluk dari Manado yang kangen sama si penulis satu ini. ( Ini kelakuan pambaca yang sarap, mohon maklum yah ).

Oh iya sebelum lupa, saya juga sukaaa banget sama mas manajernya. Hadri Setiawan. Lagi lagi mas Setiawan muncul, apakah dia masih saudara sama Fre Setiawan? ( Mariying Aids ) ngareep sih ya.

Fokus Ai ! Kembali ke awal.

Novel ini  menceritakan seorang penulis novel yang sombong, keras kepala dan mau menang sendiri. Tidak mau mengucapkan kata maaf kalau berbuat salah. Tukang perintah atau menurut saya sih sebenarnya dia orang yang malas mengetik cerita sendiri ya? Menggunakan alasan cidera tangan , Jadi membutuhkan seorang asisten atau seorang juru ketik tepatnya.

Cerita dimulai saat Kev Mirrow berteriak kepada Eli dan menjadikan asistennya untuk menyelesaikan novel terbarunya.
Eli sungguh sangat benci sama karakter Kev. Meskipun menurut Tiffany sahabat baiknya,Kev adalah aktor yang berbakat,romantis dan ramah. Tiffany adalah fans beratnya Kev.
Saat Kev mengamuk dan menyuruh Eli untuk ke kantor di hari minggu, tak sengaja Eli mengucapkan doa yang tidak baik terhadap Kev. Dan doa Eli terkabul saat dia mendapat telepon dari rumah sakit yang mengabarkan Kev kecelakaan.

Kesalah pahaman terjadi. Kev yang kehilangan ingatan pun salah mengenali Eli sebagai kekasihnya. Karena dalam novel yang ditulis adalah nama Eli. Kev mengatakan Eli adalah inspirasinya.
Demi tidak membuat Kev bingung, Hadri sang manajer meminta tolong dan Eli menyetujuinya.

Di perjalanan kisah mereka ,Eli bertemu Nathan Black seorang pria bule,setengah bule yang ramah dan mudah bergaul membuat Eli nyaman. Nathan yang sedang belajar untuk menjadi sutradara dan ingin memperlancar bahasa indonesia. Bersama Nathan Eli bisa tertawa lepas dan tak ada sikap canggung seperti terhadap Kev. Ini  membuat Kev cemburu setengah mati.

Saat ingatan Kev kembali, dia tetap tak mengungkapkan . Alasannya dia tak tega menyakiti Eli.

Saat kebersamaan mereka sepertinya harus terusik lagi dengan kedatangan seseorang. Kev yang menghadiri pertunjukan yang dipimpin Tiffany karena ingin menyenangkan Eli namun malah mengecewakannya . Kev meninggalkan pertunjukan yang di tontonnya demi permintaan Nadia. Nama wanita yang pertama kali ditulis dalam novel Kev.
Saat novelnya diangkat ke layar lebar, Kev hanya akan mengijinkan kalau Nadia yang memerankan tokoh Eli. Bahkah Kev harus memohon dan menuruti semua permintaan Nadia.

Untuk asisten make up Kev melibatkan Eli, ini membuat Nadia memusuhinya.
Sungguh benci sama karakter Nadia yang sengaja membuat Eli menderita. Namun lebih membenci sikap Kev yang tidak bisa membela Eli dihadapan Nadia.
Kev membiarkan Nadia menyiksa Eli, namun tak pernah membantunya karena permainan konyol mereka.

Untunglah, segala penderitaan berakhir.
Permainan konyol antara Kev dan Nadia sudah berakhir.
Saya yang awalnya benci dengan Nadia menjadi berdecak kagum dengannya. Ah Nadia, kamu memang gadis manja dan selalu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Selalu penuh kejutan yang tak terduga mewarnai kisah ini.

Novel ini membuat perasaan beraduk-aduk. Persahabatan,cinta, keusilan,membuat kisah ini menjadi menarik. Saya tidak menebak bahwa Nadia dan Kev adalah.... Sudahlah, harus baca sendiri untuk mengerti kenapa saya jadi mengagumi Nadia. Kepingin ikut meniru permainan mereka. Tapi ga ada patnernya. 

Khusus untuk Hadri...pria pertama di novel ini yang mencuri hati saya.

Rabu, 08 Mei 2013

Rendezvous

                                       Lanjutan : Yang Tak Tersisa


 Minggu kedua bulan Desember. Hujan dimana-mana dan sedang dalam masa puncaknya. Sejak dahulu Kaira selalu menyukai hujan namun banyak peristiwa yang membuatnya merasa tak lagi mencintai hujan. Hujan seperti kenangan yang ditumpahkan langit kepadanya. Memori masa lalu selalu saja terbawa pada tiap tetes air hujan. Mungkin jika memori itu tak berkaitan dengan Saga, ia akan lebih bisa menikmati hujan. Tapi tidak, Saga adalah hujan yang memenuhi seluruh ingatan dan benaknya sekaligus menyesaki dadanya hingga ia tak pernah bisa bebas bernafas jika mengingat tentangnya.

 Sebatang rokok yang terselip di bibir mungilnya segera dilemparkannya ke tempat sampah. Saga, karena dialah yang membuatnya berhenti menghisap asap itu. Sedang apa kamu? Kaira bertanya dalam hati. Matanya tak berhenti menatap tetes air yang melewati jendela kaca besar di Galeri milik sahabatnya.
Tak pernah dia berniat melupakan sosok yang pernah memeluk hangat jiwanya. Saga satu nama yang selalu mengusik harinya namun tak mungkin dirasakan rengkuhan hangatnya lagi. Kaira membasahi bibirnya. Terasa hangat saat bayangan Saga yang dengan mesranya menyentuh dan memeluknya erat.

 Ah Saga, Haruskah aku menyesali segala pilihan yang aku buat tentangmu?

Telah hampir satu setengah tahun ia tak mendengar kabar apa pun tentang Saga. Keputusannya untuk menyudahi hubungan mereka yang tanpa ikatan itu membuatnya menghilang dari Saga. Berpindah apartemen dan kota berusaha untuk tak mengetahui segala macam yang berkaitan dengan pria itu, mencari ketenangan akan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa artinya.

Kaira menyadari apa yang dirasakannya sebelum dirinya meninggalkan Saga adalah sesuatu yang tak pernah ia sangka. Perasaan nyaman dan keinginan memiliki yang begitu besar membuat Kaira hilang kendali atas hatinya sendiri. Ia merasa gamang karena melihat sikap Saga yang tak sedikitpun menunjukkan keseriusan mengubah hubungan menjadi lebih besar.

Air mata menetes membasahi pipi Kaira. Cengeng. Satu kata yang selalu Kaira gunakan untuk membenarkan sikapnya kini. Semenjak perpisahan dulu Kaira menjadi seseorang yang lain. Selalu rapuh dan ingin menumpahkan segalanya dengan air mata. Kehilangan Saga membuat Kaira tak bergairah dalam menjalani kehidupan. Dia bekerja hanya untuk menuntaskan kewajiban. Dia makan dan minum pun karena itu yang mampu membuatnya bernapas. Kehadiran Saga dalam mimpi Kaira membuat Kaira mengingat segala kebersamaan yang pernah terangkai. Sebuah kenyamanan yang dulu didapat tak lagi terasa nyaman. Sebuah cinta yang hanya dia berikan namun tak pernah ia terima kembali. Mengenang Saga membuatnya berkali-kali menghela napas dengan berat.

"Na, aku balik yah," ucap Kaira dengan agak sedikit kencang kepada Nana sahabat barunya di kota itu.

"Masih hujan, Kai. Tunggu sebentar lagi deh." Nana berusaha melarang Kaira untuk tidak nekat menembus hujan. Namun rupanya Kaira memang tak dapat dilarang kali itu, entah mengapa seperti ada magnet yang menariknya untuk menyapa tetesan hujan di luar sana yang begitu derasnya.

Nana hanya melihatnya dari balik kaca jendela dengan wajah keheranan. Setahunya sejak berkenalan dengan Kaira, perempuan muda yang menjadi sahabatnya itu tak pernah menyukai hujan dan keadaan setelahnya. Ini pertama kali ia melihat Kaira berada di luar ditengah hujan yang membuat semua orang menepi di pinggir jalan atau singgah beberapa saat ke dalam sebuah Coffee Shop untuk sekedar menghangatkan tubuh dari rasa dingin yang menggigit hingga ke dalam tulang.

Kaira berlari menerjang tetesan air yang semakin deras. Kaira melangkah dengan sebuah gumaman yang hanya ditujukan untuk dirinya.

Aku membenci hujan , karena hujan telah mempertemukan aku denganmu. Kini aku akan menerjang hujan lagi. Andai ada kesempatan kedua, aku ingin bertemu denganmu Saga. Aku ingin bertemu denganmu di bawah hujan. Agar segala luka luruh dan terhanyut derasnya air. Kaira bergumam diantara desiran air yang menyentuh pipinya.

Sagaaa! Kaira menjerit dalam hati dan berakhir dalam sebuah Coffee Shop. Pakaiannya telah basah kuyup dan tubuhnya menggigil kedinginan. Haruskah aku melangkahkan kaki dan berharap berjumpa dengan Saga? Kaira mengibaskan rambutnya. Mimpi yang tak mungkin menjadi nyata.

***
Hujan masih begitu derasnya mengguyur bumi. Satu-satu wajah mereka menjadi kesal dan resah. Ada rasa cemas akan janji yang tak bisa ditepati, ada takut akan basah yang tak bisa dihindari, ada khawatir akan terlambat tiba di rumah masing-masing. Namun ada satu wajah yang begitu bahagia ketika air-air dari langit membasahinya kini. Senyum di wajahnya begitu jelas tergambar, ia seperti seorang anak kecil yang tak dilarang bermain hujan. Saga kini sangat menyukai hujan. Hujan mengingatkannya pada perempuan cantik yang selama setahun lalu pernah menemaninya. Perempuan yang tanpa ucapan selamat tinggal telah meninggalkannya begitu saja.

Saga berdiri diantara deretan orang-orang yang berteduh di pelataran sebuah Coffee Shop, matanya menangkap sesosok perempuan yang sedang mengibaskan rambutnya yang basah. Seluruh tubuhnya basah kuyup, disaat semua orang mencari tempat berteduh ia malah berlari di bawah air hujan. Perempuan yang sangat Saga kenal dan hafal, Kaira.

Saga tak mungkin salah mengenalinya. Perempuan yang menggigil itu Kaira, orang yang tak pernah bisa dilupakannya. Saga ingin menyapa dan merengkuhnya dalam pelukan. Namun segala rindu dia pendam. Rasa sakit atas kehilangan cinta membuat Saga mengurungkan niatnya. Dipandang tubuh mungil Kaira. Tidak ada yang berubah, kecuali kelihatan sedikit lebih kurus. Apakah Kaira masih mengingat kebersamaan yang dulu? Saga masih memandanginya bahkan saat Kaira melangkah memasuki Coffee Shop itu dan menghilang dari pandangannya. Saga bimbang, berlari menyusul Kaira atau membiarkan masa lalu tetap tersimpan di dalam memory terdalamnya.

***

Coffee shop, meja di dekat jendela dan hujan yang deras persis seperti pertama kali aku bertemu dengannya, itulah yang terlintas dalam benak Kaira. Aroma Cappucino yang hangat menyeruak masuk diam-diam dalam indera penciumannya, kembali membawa ingatannya akan Saga. Pria itu sangat menyukai Cappuccino sebuah sajian minuman kopi khas Italia yang terdiri dari espresso, susu cair dan busa susu di atasnya.

Menikmati secangkir Cappuccino hangat sejenak membuat tubuhnya yang menggigil karena air hujan itu juga menjadi hangat. Kaira menarik napas panjang beberapa kali dan menatap kearah luar jendela yang mengembun karena air hujan yang menetesinya. Sambil mengaduk-aduk kopi di hadapannya tatapannya menjelajahi Coffee Shop yang semakin ramai itu. Terdengar bunyi nyaring lonceng yang dipasang di pintu masuk, seorang pengunjung pria melangkah masuk dengan wajah kebingungan. Ketika Kaira baru saja menyadari siapa pemilik wajah itu, kedua mata pria itu sudah terarah lurus padanya yang mengakibatkan jantung Kaira berdebar sangat kencang. Dirasakan wajahnya menghangat karena itu semua. Ia berusaha menyembunyikan dirinya yang panik karena pertemuan yang tak terduga ini.

Saga, itukah kamu? tanya Kaira dalam hatinya.

Saga memandang ke satu arah. Seorang yang dirindukan siang dan malam kini tinggal sejengkal untuk digapai. Saga menatap lekat sesosok cantik dihadapannya. Tidak ada yang berubah, hanya kali ini Kaira menatap kosong. Tak ada sketsa yang di gambar. Tak ada earphone besar yang menutup telinganya. Hanya seorang perempuan yang duduk sendiri di dekat jendela dan sedikit menggigil. Seperti dejavu, semua melintas di kepala Saga. Saga melangkah dan mendekati Kaira yang masih asyik dengan lamunannya. Kaira kamu selalu terlihat cuek dengan sekitarmu. Saga tersenyum mengingat tentang Kaira.

Itu memang benar Saga, jawab hatinya sendiri. Kaira membuang pandangannya, ia tak mau Saga benar-benar menyadari bahwa dia lah yang sedang duduk di sini. Detak jantungnya semakin terasa kencang terutama ketika sosok itu kian mendekat dan tepat berdiri di samping mejanya. Saga menyapa dengan suara parau.

"Kaira."

Semua kejadian begitu cepat terjadi, bahkan jika saja tadi ada beberapa menit waktu untuknya lari menghindari pertemuan ini pasti akan Kaira lakukan. Namun ia sudah terlanjur terperangkap dalam sapaan Saga.

Kaira mengangkat kepalanya dan melihat Saga dengan wajah yang tak dapat dijelaskan dengan pasti. Kaira tersenyum takut-takut kepada Saga dan menyilahkannya untuk duduk di depannya.
"Kai, apa kabarmu?" tanya Saga terburu-buru seolah ia takut jika Kaira akan pergi lagi.

"Aku, baik Ga." jawab Kaira pendek.

Tanpa dipersilahkan lagi Saga menjatuhkan tubuhnya ke sebuah kursi tepat di depan Kaira.
"Kamu kurusan Kai?" Meskipun terkesan basa-basi namun Saga memang bertanya hal itu. Saga memandang Kaira lekat dengan tatapan menusuk. Segala kerinduan akan sosok perempuan yang dulu selalu didekapnya itu membuatnya kehilangan kata-kata lagi. Tak ada kata yang terucap. Hanya mata Saga telah mengungkapkan segala kecamuk yang ada dibenaknya. Kaira masih menggigil, entah karena air hujan atau karena tatapan Saga.

"Saga," Kaira memanggil Saga dengan lirih, "Kamu sedang apa di sini,Ga?" tanya Kaira kemudian.

Yang diberi pertanyaan hanya diam terpaku tanpa keinginan menjawab. Saga hanya terus memandang Kaira lekat-lekat, entah apa yang dipikirkannya saat itu. Kaira pun sama diamnya, ada kecanggungan luar biasa antara mereka seolah mereka tak pernah saling mengenal sebelumnya. Setelah beberapa bulan mereka berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing tanpa ada komunikasi apapun ternyata membuat mereka seperti menjadi orang asing. Mungkin itu memang yang terlihat sekilas dari mereka namun hati keduanya tidak seperti itu. Hati mereka saling bertanya tentang apa dan mengapa, tentang alasan dan sebab perpisahan, tentang rasa yang mereka sama-sama pendam tak terbilang.

"Aku...," sebuah jawaban keluar dari bibir Saga. Terdengar begitu berat dan seperti enggan terucap, menggantung di udara. Kaira menatap Saga diam-diam, ia begitu ingin mendengar kelanjutan dari jawaban pria itu. Namun Saga memilih untuk tak melanjutkan kata-katanya, ia malah memanggil seorang pelayan dan memesan Double Espresso.

Diliriknya Saga, wajah pria itu sepertinya menyimpan banyak pertanyaan dan jawaban sekaligus. Kaira benar-benar tidak siap dengan pertemuan ini, ia belum menyiapkan jawaban-jawaban yang bisa saja akan Saga tanyakan. Dan ia tak pernah siap untuk memberikan jawaban yang sebenarnya.
Saga menyesap Double Espresso pesanannya. Kali ini bukan Cappuccino yang menjadi favoritnya, ia butuh rasa pahit dari kafein yang lebih keras yang disajikan.

Kaira memperhatikan gerakan Saga, ia tersentak ketika sekilas terlihat ada benda melingkar di jari manis Saga ketika dirinya mengangkat cangkir kopinya. Jantung Kaira berdetak lebih kencang dari pertama kali ia melihat Saga di kafe ini. Tapi bukan detak berirama yang menyenangkan, melainkan detak tak berirama yang membuatnya sakit dan merasakan sesak di bagian dadanya.

Bagi Saga tak ada yang lebih pahit karena ditinggalkan Kaira begitu saja tanpa pesan ataupun kabar dan bertemu kembali di saat seperti ini, saat ketika ia memutuskan melupakan Kaira dan mencoba menjalani hubungan baru dengan perempuan lain, Dinda. Double Espresso ini hanyalah sebuah candu yang ia suntikkan setiap kali mengingat Kaira, bahwa sepahit apapun yang dirasakan akan selalu ada penawarnya.
Suara musik yang mengalun di seluruh ruangan membuat Kaira semakin sesak. Ia merasakan sekelilingnya seperti berputar. Segala emosi bercampur aduk di dada Kaira, berbagai skenario cerita tentang Saga berkecamuk dalam benaknya. Dan ia meyakini jika Saga sudah memiliki perempuan lain dalam hidupnya, cincin yang melingkar di jari manisnya adalah bukti nyata semua itu.

Ah, Saga, mungkin kali ini pun aku harus pergi kembali. Bukan karena aku takut mencintaimu, namun karena aku begitu sakit melihat kenyataan yang ada di hadapanku. Kamu memang tak pernah mencintaiku. Bahkan waktu disaat kita berpisah tidak membuatmu mencariku atau mengejarku mempertanyakan alasan mengapa aku pergi. Kamu tetap menjalani hidupmu dan menjalin hubungan dengan perempuan lain. Perempuan itukah, Ga? Nadia, yang pernah menemuimu dulu. Kalian ternyata berjodoh dan aku begitu bodoh masih mengharapkan kamu juga mencintaiku. Aku ikut bahagia kalau kamu bahagia, tapi benarkah aku akan bahagia jika kamu tak bersamaku, Ga? Ucap Kaira dalam hati.

"Aku pergi dulu, Ga. Ada urusan yang sangat penting yang harus aku datangi." Kaira membereskan tas dan menaruh sejumlah uang di atas meja. Saga terkejut namun tak bisa mencegah Kaira pergi dan berlalu meninggalkannya seperti dahulu. Ia hanya menatap kepergian Kaira dengan hati yang hancur untuk kedua kalinya. Bukan karena ia merasa Kaira tak pernah mencintainya namun karena ia tak mampu mengejarnya. Ada wajah Dinda yang terus membayanginya yang terpantul dari cincin tunangan yang dikenakan olehnya.

--

Tulisan Kolaborasi Aini W.K dengan Indah Lestari

Sabtu, 04 Mei 2013

Con Panna


Hiruk pikuk keramaian kota selalu menjadi santapan yg membosankan di kota yg penuh dengan kesibukan-kesibukannya yang monoton. Gedung-gedung tinggi dan kemacetan menjadi pemandangan setiap harinya. Remaja-remaja yang tak memiliki kesibukan selalu menikmati asyiknya menongkrong bersama teman sebayanya.
Menikmati senja dipinggir pantai membuat empat sahabat melupakan segala beban.
“Aku ingin terbang ke awan.” Ucap Elika yang hanya mendapatkan senyum simpul Shifa.
“Aku juga mau ikut.” Aizha pun tak kalah menimpali yang hanya mendapatkan tatapan galak Elika.
Banyak hal lain juga yang menjadi kesamaan diantara mereka. Mungkin itulah yang membuat mereka kemudian bersahabat. Memang, tidak melulu mereka kompak, ada kalanya mereka pun berselisih paham. Bagi Elika dan Aizha, tiap kali ada saja yang membuat mereka bertengkar.
Shifa hanya tersenyum melihat tingkah Elika dan Aizha. Ia masih duduk menikmati senja lalu tenggelam dalam keemasan yang indah itu.
“Ayo makan. Macaroni Schottel-nya sudah jadi,” ujar Eliza tersenyum bangga mempertunjukan hasil masakannya.
Ketiga wanita yang sedang menikmati senja itu kemudian berlomba menyerbu makanan yang di berikan oleh Eliza. Senja, makanan dan tawa adalah kompisisi sempurna di penghujung hari.
Eliza adalah adik Aizha. Umurnya masih 17 tahun dan baru lulus SMA namun ia punya bakat memasak yang hebat. Itulah yang membuatnya disayang oleh kakak dan teman-teman kakaknya.
Langit sore kian merubah warnanya menjadi hitam pekat. Semilir angin menyentuh lembut tubuh keempat perempuan yang tiada henti melakukan setiap keanehan tingkahnya.
“Hompimpa alaihum gambreng!” Seru mereka bersamaan. Tiga penampakan telapak tangan berlatar sama kecuali telapak tangan Aizha. Pertanda kalah dalam permainan yg sedang berlangsung.
“Aizha kalaaaahhh,” sorak Elika girang.
“Itu berarti besok kamu harus jadi pelayan di kafe selama satu hari penuh sesuai perjanjian kita tadi” tambah Elika yg kian gembira.
“Aaarrgh, kalian curang ya?” Aizha menatap kedua sahabat dan adiknya dengan garang. Mereka bertiga kompak tertawa.
“Kalian emang curang! Tapi baiklah, perjanjian tetap perjanjian, aku akan menjalaninya. Namun tetap ya, meskipun sebagai pelayan statusku tetap bos kalian.”
Aizah memanyunkan bibirnya.
Aizha melayani dengan riang. Beberapa pesanan kopi favorit sudah disajikan, salah satu yang merupakan andalan kafe mereka adalah Granita di caffe Con Panna, yang merupakan kopi dingin dengan es salju dan whipped cream di atasnya. Memang kafe mereka ini terkenal dengan racikan kopinya yang sangat nikmat. Shifa memang ahli dalam meracik dan membuat para pelanggannya kecanduan.
Aizha menuju meja yang baru terisi seorang pria dengan langkah ringan yang sengaja membuat Elika jengkel. Langkah Aizha terhenti. Seorang pria duduk membelakanginya, namun saat pria itu berpaling Aizha melihatnya. Jantungnya berhenti berdetak. Aizha segera memutar langkahnya.
“El , gantiin aku sebentar ya. Aku mau ke kamar mandi.”
Elika memandang Aizha dengan bingung namun berdiri dan mengambil buku menu. Siapa sih pria itu? Kenapa Aizha langsung berlari begitu? Gerutunya.
Aizha sedikit berlari menuju ke bagian belakang kedai namun bukan ke toilet seperti yang dia katakan pada Elika. Di bagian belakang terdapat sebuah tempat seperti balkon yang sudah ada sejak mereka beli dari pemilik pertama. Cafe itu memang dulunya adalah bangunan yang pernah dimiliki oleh sepasang suami istri berkebangsaan Italia. Mereka sengaja membangun tempat itu untuk tempat tinggal ketika mereka datang ke Indonesia. Sebuah bangunan yang sangat sederhana namun begitu cantik.
Aizha terduduk di sebuah sofa berbentuk huruf L yang sangat nyaman. Aizha terdiam dan pikirannya seperti menerawang entah kemana. Dia seperti memikirkan sesuatu yang begitu berat.
Elika mencoba menyampingkan kebingungannya. Ia lalu memasang senyum andalannya sambil menyodorkan daftar menu pada sang pria berkemeja biru terang itu, pria yang tiba-tiba tak ingin Aizha layani.
Silahkan, ingin pesan apa?” Pria itu tersenyum pada Elika sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Aizha kerja disini ya?” Elika terperanjat. Ternyata pria ini mengenal Aizha. Ia hanya mengangguk pelan.
“Sudah lama sekali aku tidak berjumpa dengan dia. Hmm. Aku pesan 1 double espresso plus pancake strawberry.”
Elika mencatat pesanan sang pria lalu memintanya untuk menanti. Semenjak berlalu dari sana, Elika masih saja sesekali melihat sang pria dengan potongan rambut pendek itu. Masih ada sejuta tanya yang menggantung di pikirannya.
“Ar… Kenapa kamu harus muncul lagi di kehidupanku? Kenapa kamu menampakan dirimu lagi setelah beberapa tahun kejadian yg cukup membuatku hampir gila karenamu? Kenapa Ar? Kenapa?”
Sesekali kali Aizha menyapu tumpahan air yg berasal dari matanya menggunakan telapak tangannya. Bahunya bergetar. Tangisnya tertahan. Aizha sengaja tak ingin mengeluarkan sedikit suara pun agar tak ada yg mengetahui ia sedang menangis.
“Aku ingin begini aku ingin begitu ini it-” Eliza menghentikan nyanyian dari salah satu soundtrack film kartun, juga tariannya yang seringkali mengundang tawa. Ia tertegun melihat muka kakak yg disayanginya dibanjari air mata. Ia sedikit menuruni badannya. Memfokuskan matanya pada wajah yg saat ini berada dihadapannya, memastikan apakah benar Aizha sedang menangis.
“Kak, lagi nangis ya? Kenapa kak?” 
Eliza bertanya membuat Aizha tertegun. Ia menggeleng dan memberikan senyum.
“Kamu masuk saja deh, banyak pesanan kan? Bentar lagi kakak masuk.” 
Eliza berlalu meninggalkan kakaknya. Namun dia tak kembali ke bilik pembuatan kue. Dia menuju arah Shifa. Eliza melihat kak Elika sedang melayani tamu menggantikan kak Aizha.
“Kak Shifa,” bisiknya yang membuat si gadis pendiam ini tersenyum.
“Ya dek?”
“Kak Aizha sepertinya menangis, memangnya tadi berantem sama kak Elika lagi ya?”
Kakak sih engga lihat mereka berantem. Lagian lagi rame begini kok. Tapi nanti kakak tanya deh.” 
Setelah memberi tahu tentang keberadaan Aizha, Eliza kembali membuat adonan kue. Resep terbarunya akan menjadi menu andalan kafenya.
Shifa yang sedari tadi sibuk meracik berbagai minuman terutama kopi mulai merasa terganggu dengan pertanyaan Eliza. Kesibukannya di belakang dapur membuatnya tak leluasa mengetahui apabila ada sesuatu yang terjadi dengan para sahabatnya atau pun dengan para pengunjung Kafe ini.
Rasa ingin tahu yang besar membuatnya meninggalkan pekerjaannya sesaat dan berjalan menuju balkon di bagian belakang Kafe. Tanpa harus berpikir kemana mencari Aizha, ia sudah hafal dimana sahabatnya itu berada. Dari depan pintu ia melihat Aizha yang masih berada di sana, sedang terisak berusaha menahan tangisnya agar tak menjadi kencang dan terdengar oleh sahabat-sahabatnya.
“Ai.., kamu kenapa?” Shifa berujar lembut sambil memegang pundak Aizha.
Aizha sontak kaget lalu menghapus butiran hangat yang menutupi wajahnya.
“Aku ndak kenapa-kenapa Fa. Agak capek aja mungkin.”
“Jangan simpan sendiri Aizha. Kamu tahu masih ada kami untuk berbagi. Jangan lama-lama disini. Kafe sudah mulai ramai di dalam.”
Shifa mengerlingkan mata sambil tersenyum kepada Aizha yang hanya memandangnya dengan mata sembab. Ia lalu meninggalkan Aizha sendiri dibalkon itu. Dia butuh waktu untuk sendiri, batin Shifa.
Gelap mulai membungkus hari. Aizha menyesap udara dalam-dalam. Ia mengusap wajahnya lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri lalu kemudian kembali ke dalam kafe. Orang sudah mulai banyak berdatangan. Ia menyapukan matanya sekeliling, tak lagi dijumpainya pria yang membuatnya mengasingkan diri sejenak di balkon sepanjang senja tadi.
“Ai,” Aizha sedikit melompatkan badannya. Ia terkejut akan kedatangan Elika yg menepuk pundaknya dari belakang.
“Cowok tadi siapa? Dia kenal kamu loh, Ai. Dia bilang sudah lama gak lihat kamu,” tutur Elika mencoba menjelaskan apa yg dialaminya sejak menggantikan Aizha melayani lelaki yg menjadi salah satu tamu di kafe mereka malam ini. Aizha tersenyum sesaat.
Ia menggelengkan kepalanya pelan.
“Arya. Dia Arya, mantanku dulu. Jauh sebelum dia meninggalkanku satu hari sebelum pernikahan kami dengan perempuan lain.”
Elika membelalakan matanya. Mulutnya sedikit terbuka ketika ia mendengar ucapan yg keluar dari mulut Aizha.
“Kak Ai, ini dibuatin teh sama kak Shifa. Minum dulu.” 
Tiba-tiba saja Eliza muncul ditengah percakapan Elika dan Aizha.
“Makasih ya dek. Bilang sama Kak Shifa nya.”
Eliza kembali berlari ke dalam.
“Eh beneran? Kapan itu? Kok kalian berdua gak pernah cerita?”
“Kejadiannya sudah lama kok. Dan tadi sepertinya El ga tau. Kalau tahu pasti dia sudah lemparkan panci ke mukanya.”
Aizha dan Elika tertawa bersama.
“Itulah kenapa aku sama Eliza sekarang tinggal bareng…. Eh eh,tumben kamu perhatian sama aku? Ada maunya? Jangan bilang mau minta gaji nambah ya. No way!” 
Mendengar kebawelan Aizha yang sudah kembali Elika tertawa dan menariknya berdiri.
“Hari ini hari hukuman kamu, jadi nanti kamu yang mesti beresin meja kursi sebelum tutup. Kan aku sudah gantiin kamu tadi.”
Kedua sahabat itu kembali masuk sambil tertawa.
“Shifa, makasih ya.” Aizha memeluk Shifa yang membuatnya tersenyum.
Shifa menyambut pelukan Aizha dengan hangat seolah dengan begitu Aizha akan merasa bahwa masih ada mereka yang akan selalu menyayanginya. Namun dibalik semua senyum dan pelukan hangat yang diberikannya, pikiran Shifa mengingat-ingat sebuah nama yang tak sengaja ia dengar ketika akan memberikan teh manis kepada Aizha yang dititipkan pada Eliza.
Arya, sepertinya nama itu sangat familiar di telinganya. Sebuah wajah sedikit demi sedikit tergambar di benak Shifa.
Sesosok yang enerjik dan selalu penuh kejutan. Yang selalu bisa menjadimoodboster Shifa selama masa kuliahnya di jenjang S1. Yang membuat Shifa uring-uringan lantaran kangen yang terlampau besar. Dan yang juga pergi menghilang tanpa kabar apapun. Tapi bukan Arya namanya, bukan. Nama Aryodia Pramseha, yang semua orang di kampus, kecuali Shifa memanggilnya Aryo. Shifa sendiri memanggilnya dengan sebutan Yodi. Entah kenapa ia suka saja memangilnya begitu.
Yodi adalah mahasiswa senior jurusan jurnalistik. Ia pertama kali bertemu Shifa dalam acara amal di fakultas Shifa. Mereka mulai dekat dan bersepakat untuk memadu kasih. Selang tahun berlalu, rasanya sebuah cinta menjadi tak lagi cukup untuk merekatkan dua keping hati yang terlanjur patah.
“Ah! Mikir apa aku ini. Kerjaan masih menumpuk,” sesegera mungkin Shifa menghancurkan lamunannya. Ia tak ingin hari ini menjadi runyam lantaran harus bertambah lagi orang yg menangis karena lelaki di kafe ini. Ia memutuskan untuk mencuci mukanya. Agar tiada lagi diingatnya ingatan beberapa tahun silam. Shifa berlari-lari kecil menuju dapur.
Bruuukkk! Pranggg! 
“Kak Shifa!”
Beberapa pecahan piring dan gelas berserakan di lantai. Semua mata tertuju kesana. Shifa tak menyadari, bahwa ada Eliza yg berlawanan arah dengannya sedang membawa nampan pesanan pelanggan. Tubuh nya gemetar.
“E-el, ma-maaf aku gak sengaja. Maaf, El.”
Aizha melongok dari balik ruangannya. Setelah kembali bersama Elika dia kembali berkutat dengan tugasnya. Menghitung pengeluaran dan pemasukan untuk hari ini.
“Eh kalian ngapain?” Nada judesnya telah kembali.
Aizha melihat Shifa yang seperti kebingungan. Kenapa dia? Perasaan tadi baik baik saja ? Malah membuatkan aku minuman kesukaanku. Aizha menarik Shifa ke ruangannya.
“Gantikan kak Shifa dulu ya!”
Perintahnya kepada asisten Shifa.
“Kamu kenapa?” Aizha memang tidak bisa selembut Shifa dalam berucap.
“Aku tidak apa-apa, Ai,” jawab Shifa dengan tenang.
Iya dia memang sudah seharusnya tenang seperti itu, toh apapun yang terjadi antara dirinya dengan Yodi itu sudah menjadi bagian dari masa lalu yang harus dilupakan. Dan semestinya hal tersebut tidak sepatutnya diketahui oleh sahabat-sahabatnya itu, walaupun apa yang terjadi itu jauh sebelum mereka saling mengenal.
Namun Aizha sepertinya tidak merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh Shifa. Ada sebuah tanda tanya besar yang menghimpit pikirannya, ingin sekali ia mengetahui ada apa dengan Shifa.
“Kamu yakin, Shifa?” Aizha bertanya dan mencari-cari kejujuran di kedua mata Shifa. Shifa mengangguk pelan.
“Aku lapar. Ayo makan Ai.” Aizha mengekor Shifa menuju pantry. Disana sudah ada Elika yang duduk manis menghadap meja. Sesekali ia menjepret makanan dengan handphonenya lalu kemudian tersenyum sendiri menatap layar handphone.
“Eliza mana?” Aizha berujar sambil melayangkan mata keseluruh ruangan.
“Tuh, diluar. Lagi nerima telepon!”
Elika menunjuk dengan bibirnya ke arah luar. Aizha mengarahkan matanya keluar tepat dimana Eliza sedang duduk dengan muka yang tak kelihatan baik-baik saja dengan sebuah telpon genggam yang menempel di pipinya. Aizha tahu betul akan arti dari setiap ekspresi yang dikeluarkan oleh muka adiknya. Terjadi sesuatu terhadap Eliza saat ini.
“Mari makaaaannnn!” Sorak Elika sembari mengangkat garpu dan sendok nya ke atas.
“Kalian duluan aja, aku mau ke Eliza dulu.”
Aizha memundurkan kursinya dan beranjak pergi dari meja makan menghampiri Eliza adiknya. Elika dan Shifa tetep melanjuti mengunyah makan yang telah dimasak Eliza sebelumnya.
“Iya, Yah..,” ucap Eliza lirih.
“Siapa?” Bisik Aizha yg penasaran akan seseorang dibalik telpon itu.
“Ayah,” hanya gerakan mulut yg ditunjukkan Eliza, tak bersuara.
Oh. Ayahnya sudah mulai menerror adiknya lagi. Selalu seperti itu. Semenjak kejadian yang dulu di altar, Ayahnya marah pada Aizha dan melarang keras adiknya itu mengikuti jekak kakaknya. Namun Eliza tak menggubris. Apalagi Alizha memberikan kegiatan yang sangat dia sukai. Memasak adalah hobi yang sungguh unik untuk anak seusia Eliza. Harusnya ayahnya itu bangga dengan anak bungsunya, bukannya malah menekan dan mengancam. Ah memang Ayahnya begitu keras. Aizha menepuk bahu adiknya.
“Kakak tunggu didalam.” Aizha menggerakkan bibirnya dan mendapatkan anggukan Eliza.
Masih didengarnya Eliza beradu argumen dengan Ayahnya. Aizha bangga kepada adiknya. Namun dia ingin tersenyum, karena dia dan adiknya itu sungguh sangat mirip Ayahnya. Berkemauan keras.
“Siapa yang telpon sih?” Elika bertanya disela-sela kunyahannya.
“Biasa Tuan Besar yang berkuasa.” Jawab Aizha cuek, meski hatinya sakit.
Shifa tersenyum saja melihat kejengkelan Aizha terhadap ayahnya. Ah, Ayah. Beruntung sekali Aizha dan Eliza, sekeras apapun laki-laki yang mereka panggil Ayah itu setidaknya beliau masih ada diantara mereka. Shifa menatap Aizha dengan perasaan yang bercampur aduk. Sudah terlalu lama memang Shifa tak merasakan bagaimana bercanda, tertawa bahkan bertengkar dengan seseorang yang disebut Ayah. Hampir satu dekade dia merindukan sosok Ayah yang menjadi panutannya. Selama ini hanya Ayah lah orang yang paling disayang olehnya sekaligus orang yang paling dekat dengan dirinya, bukan Ibu.
Shifa menarik nafas dalam. Dia tiba-tiba rindu masa kala sang ayah masih ada. Dan kala dia rindu ayah, dia rindu lagi pada Yodi. Sifat-sifat ayahnya seakan tertransfer seutuhnya pada Yodi dan kebersamaan mereka selama masa kuliah bukanlah sesuatu yang bisa cepat Shifa tepikan begitu saja dari ingatannya. Air mata sudah menggantung di sudut matanya hingga tiba-tiba Elika meneriakinya dengan keras dari belakang. Ia segera mengerjapkan mata dan bercermin memastikan ia terlihat baik-baik saja.
“Kenapa El, aku disini,” ujar Shifa menjawab teriakan Elika.
“Fa, kamu tahu gak di sini tempat jual baju pesta yang oke?”
“Tahu. Coba nanti aku hubungi teman aku ya. Dia punya butik, baru buka. Bajunya juga bagus-bagus. Kamu ada acara ya?”
Elika tersenyum lebar, pipinya memerah.
“Sepupunya Dave menikah minggu depan disini. Aku diajak dia ke sana. Aku harus tampil oke dong Fa. Hahaha.”
“Iya, nanti kita ke sana ya. Senin besok kamu bisa kan?”
“Boleh, thanks ya!”
“Cieee.. ada yang sudah mau dikenalin nih.”
Aizha menimpali dari belakang. Elika kaget dan mukanya memerah. Rupanya sedari tadi percakapannya terdengar oleh Aizha dan itu bahaya karena sepanjang hari dirinya bisa menjadi sasaran pembullyan paling empuk. Tapi tidak untuk kali ini.
“Biarin! Sudah seharusnya begitu sih Ai. Lah kamu kapan diajak? Udah punya calon belum?? Weeek!!!”
Aizha menatap Elika tajam. Sudah memasang kuda-kuda, bersiap mengejar Elika. Elika yang sudah hafal betul apa yang akan terjadi kemudian berlari cepat sambil tertawa penuh kemenangan.
“Elikaaaaaaa!!”
Shifa tersenyum simpul melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Bulir air mata tiba-tiba saja keluar dari pelupuk matanya. Ia sendiri disana. Tak akan ada yg tahu kalau dia sedang menangis saat ini.
Shifa tak ingin larut dalam duka serta luka dalam yang telah lama ia kubur dalam-dalam. Ia sesegera mungkin menyapu airmatanya.
Suara dentingan sendok yang beradu dengan cangkir saat mengaduk kopi memenuhi dapur. Dapur yg beberapa jam lalu dikuasai oleh Eliza kini telah diambil alih Shifa. Ia sangat mengetahui bahwa ketika disaat seperti ini, disaat senyum tawa dan tangis menjadi satu, duduk santai sembari menyeruput secangkir capucino hangat adalah suguhan yang sangat pas.
Elika berlari dan tertawa saat melihat Aizha berteriak memanggilnya. Elika tahu bahwa Aizha ada masalah bahkan dengan kehadiran pria yang membuat Aizha melarikan diri. Namun mulutnya tak berhenti untuk usil. Elika memandang langit dan bintang betebaran di langit yang luas. Ah aku ingin ke awan bisiknya. Elika terduduk di pasir pantai dan memandang ke sekeliling. Sudah larut malam untuk duduk sendirian. Namun hatinya sedang berbunga-bunga siap dihinggapi kupu-puku cantik. Bibirnya tersenyum tak hentinya. Hidupnya kini penuh warna.
***
Malam itu Elika benar-benar bahagia, akhirnya Dave mengajaknya untuk ikut dalam acara keluarga besarnya. Pernikahan sepupunya akan menjadi gerbang awal Elika mengenal seluruh keluarga besar Dave. Mama, Papa, kakak dan adik Dave sudah ia kenal sebelumnya. Dave sempat mengundangnya dua kali kesempatan makan malam bersama di kediamannya. Dan kali ini keluarga besarnya lah yang akan dikenalnya lebih dekat. Dia sangat bersemangat malam itu.
***
Hari minggu yang cerah. Matahari belum juga terlalu tinggi posisinya. Terlihat Shifa, Aizha, Elika dan Eliza sedang duduk di meja bundar persis menghadap ke laut, larut dalam cerita. Kafe hari ini sengaja mereka tutup karena ingin menikmati waktu bersama yang sudah lama tidak mereka lakoni. Aroma laut berhembus lembut membelai cerita setiap pribadi. Kafe yang sudah berdiri lima bulan ini pasti punya cerita tersendiri pagi mereka berempat dan semua yang pernah berkunjung. Semua kerja keras, tawa canda lalu air mata yang pernah mereka kecap bersama menjadi kenangan yang berhasil mereka rangkai dengan cantiknya. Kafe ini seolah menjadi saksi bisu bagi setiap kisah. Ada semburat merah dipipi karena bahagia, ada kesedihan yang mematung karena berjumpa masa lalu, ada kekerasan hati untuk mengejar masa depan, ada harapan dalam aroma kopi yang disesap, ada rindu yang tertahan dalam senja. Ada yang datang kemudian ada yang pergi.
Ya itulah hidup. Semua orang selalu punya kisah sendiri dan hanya mereka yang paling tahu bagaimana rasanya.
Matahari sudah mulai terik. Mereka berempat kemudian memutuskan untuk berteduh di dalam Kafe sambil melanjutkan obrolan yang seperti tiada habisnya. Perjalanan masih sangat panjang, tak ada yang tahu apa kejutan apa yang siap menghampiri.
Tulisan kolaborasi denga Aini W.K , Indah Lestari dan Masya Ruhulessin